Hatiku hancur, benar-benar remuk, seperti debu yang tersapu angin, saat menyaksikan Fitri, istriku, dinikahi Habib Hamza dalam ijab kabul di restoran mewah itu, meski ia masih sah sebagai istriku. Ciuman mesra mereka, bibir Fitri yang disedot lidah Habib dengan penuh nafsu, dan sorak “sah” yang menggema, terpaku di pikiranku seperti mimpi buruk yang tak bisa kuhentikan. Aku, Ardi, duduk di sudut restoran, merasa dunia runtuh di sekitarku, tak mampu memahami bagaimana Fitri bisa begitu bahagia dalam pelukan pria lain, di depan laki-laki berjubah yang memujanya. Aku menanyakan pada diriku sendiri, dengan kepala pening dan hati perih: jangan-jangan seorang wanita boleh bersuami dua? Apa iya? Pikiran itu, meski absurd, mencerminkan keputusasaanku, mencari alasan untuk memahami pengkhianatan yang baru saja kulihat, tapi tak ada jawaban yang bisa meredakan luka ini.
Fahri, di sampingku, selesai dengan es krimnya, menatapku dengan mata polos, “Yah, Bunda selesai belum?” tanyanya, tak tahu bahwa ibunya baru saja “menikah” dengan pria lain. Aku tak bisa menjawab, mulutku terkunci, hanya mampu mengusap kepalanya dengan tangan gemetar. Aku tak sanggup lagi berada di restoran ini, di bawah lampu kristal yang menyaksikan kehancuran keluargaku. Dengan hati yang terasa mati, aku menggendong Fahri, tubuh kecilnya hangat di pelukanku, satu-satunya yang masih terasa nyata di tengah dunia yang kini asing. Aku melangkah keluar, meninggalkan aroma makanan mahal dan tawa Fitri yang masih sayup-sayup terdengar, menuju motor bebek tua yang terparkir di sudut jalan, kendaraan sederhana yang mencerminkan hidupku yang tak bisa menandingi Rubicon Habib Hamza.
Aku membonceng Fahri, menyalakan mesin motor dengan tangan yang masih gemetar, dan melaju meninggalkan restoran mewah itu. Jalanan kota M, yang kini mulai ramai dengan pedagang dan pejalan kaki, terasa seperti lorong tak berujung. Fahri memeluk pinggangku erat, kepalanya menempel di punggungku, mungkin merasakan kesedihanku meski tak mengerti sepenuhnya. Aku menatap jalan berdebu di depan, tapi pikiranku dipenuhi bayangan Fitri—gaun satinnya, senyumnya saat dicium Habib, dan anggukannya yang pasrah namun bahagia. Aku bertanya lagi dalam hati: apakah Fitri benar-benar istri kedua Habib sekarang? Apakah hukum atau agama membolehkan ini? Kegelisahan itu membuatku semakin tenggelam, seperti pria yang kehilangan pijakan di hidupnya sendiri.
Di tengah jalan, di bawah terik matahari yang membakar, air mata akhirnya mengalir tanpa suara. Aku menangis, isakku tenggelam oleh deru motor dan angin yang menyapu wajahku. Fahri tak bisa melihat wajahku, untungnya, karena aku tak ingin anakku tahu betapa hancurnya ayahnya. Rasanya ingin hilang dari dunia ini, lenyap bersama luka yang tak tertahankan ini, meninggalkan semua kenangan Fitri yang kini terasa seperti dusta. Aku membayangkan sofa di rumah, tempat kami bercinta dengan penuh cinta, kini hanya kenangan pahit; ranjang kami, tempat Fitri malam tadi memalingkan tubuhnya, kini terasa seperti makam pernikahan kami. Setiap kilometer yang kulalui, aku merasa semakin jauh dari Fitri, bukan hanya secara fisik, tapi juga dari hati yang dulu kami bagi.
Jalanan berliku kota M, dengan sawah hijau dan rumah-rumah sederhana, biasanya terasa hangat, tapi hari ini seperti mengejekku. Aku merasa kecil, seorang suami yang tak bisa memberikan kemewahan seperti restoran itu atau Rubicon yang membawa Fitri pergi. Rasa inferior yang sudah lama kurasakan kini berlipat ganda—aku tak bisa menandingi karisma Habib Hamza, kekayaannya, atau pengaruhnya yang membuat Fitri tersenyum seperti malam tadi di tenda putih. Aku bertanya-tanya, apa yang kurang dariku? Bukankah aku sudah memberikan nafkah lahir dan batin, mencintai Fitri dengan tulus, dan membesarkan Fahri bersama? Tapi semua itu terasa tak cukup, tidak ketika Fitri kini “dinikahi” pria lain, meninggalkanku dengan pertanyaan yang tak terjawab.
Fahri, di belakangku, mulai menguap, mungkin lelah setelah perjalanan ini. “Yah, Bunda pulang nanti, kan?” tanyanya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh deru motor. Aku tak bisa menjawab, hanya mengangguk, berbohong pada anakku sendiri, karena aku tak tahu apakah Fitri masih akan kembali sebagai istriku, atau sebagai wanita yang kini milik Habib Hamza. Aku terus melaju, melewati warung-warung kecil dan anak-anak yang bermain di pinggir jalan, tapi dunia terasa hampa. Air mata masih mengalir, membasahi pipiku, bercampur debu jalanan, dan aku merasa seperti bayangan, pria yang kehilangan separuh jiwanya, tak tahu bagaimana melangkah ke depan tanpa Fitri yang kucintai.
Saat mendekati rumah, aroma sawah dan suara ayam berkokok menyambut, tapi tak ada kehangatan yang kini kurasakan. Aku memarkir motor di bawah pohon mangga, menggendong Fahri yang mulai mengantuk, dan melangkah masuk ke rumah yang terasa kosong tanpa Fitri. Aku meletakkan Fahri di ranjang kecil kami, menatap wajah polosnya yang masih penuh harap, dan hati ini semakin perih. Aku duduk di lantai, menatap dinding, masih menangis tanpa suara, merasa seperti laki-laki yang gagal—gagal sebagai suami, gagal melindungi keluargaku. Bayangan Fitri yang dicium Habib Hamza, gaun satinnya, dan sorak “sah” itu terus menghantuiku, membuatku ingin lenyap, tapi Fahri, yang tidur di sampingku, adalah satu-satunya alasan aku masih bertahan.
Di dalam keheningan rumah, dengan udara pagi yang mulai panas, aku merasa terjebak dalam limbo. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan—mengejar Fitri lagi, menuntut penjelasan, atau menerima bahwa pernikahan kami mungkin sudah berakhir. Pertanyaan tentang apakah seorang wanita boleh bersuami dua masih bergema, meski aku tahu itu tak mungkin, tapi keputusasaan membuatku mempertanyakan segalanya. Aku menutup mata, berdoa dalam hati, “Ya Allah, tunjukkan jalan, kembalikan Fitri ke kami, atau berikan aku kekuatan untuk menghadapi ini.” Tapi doa itu terasa hampa, seperti berbisik ke udara kosong.
----------------
Sampai di rumah kecil kami di kota M, aku, Ardi, tergeletak di sofa tua ruang tamu, tubuhku lemas seperti tak lagi punya tulang. Cahaya matahari pagi yang menyelinap lewat jendela terasa menyengat, tapi tak mampu menghangatkan hatiku yang hancur. Aku membiarkan Fahri, anakku, bermain dengan mainan truk plastiknya di lantai, suara “brum-brum” yang ia buat terdengar samar di telingaku, seolah dunia ini sudah tak nyata lagi. Aku menatap plafon kayu yang lapuk, sofa ini—tempat aku dan Fitri biasa bercinta dengan penuh gairah—kini hanya menyisakan kenangan yang terasa seperti pengkhianatan. Bayangan Fitri, istriku, yang baru saja “dinikahi” Habib Hamza dalam ijab kabul di restoran mewah itu, menghantamku tanpa ampun, dan air mata kembali mengalir tanpa suara, membasahi pipiku yang sudah kering oleh debu jalanan.
Pikiran gelapku mengembara ke tempat yang tak ingin kusentuh, tapi tak bisa kuhindari. Aku membayangkan Fitri, dengan gaun satin biru tuanya yang memeluk lekuk tubuhnya, disetubuhi oleh Habib Hamza, “suami barunya.” Gambar itu begitu hidup—Fitri berbaring di ranjang mewah, rambutnya tergerai, matanya setengah terpejam seperti saat kami bercinta, tapi kini ia memeluk pria lain, tubuhnya bergoyang di bawah sentuhan Habib. Aku melihatnya dalam imajinasiku, desahannya yang dulu hanya untukku kini untuk pria yang mencium bibirnya di restoran tadi, tangan Habib menjelajahi setiap inci tubuh Fitri yang selama ini hanya milikku. Fantasi itu seperti racun, membuat dadaku sesak, tapi aku tak bisa berhenti, seolah pikiranku ingin menyiksa diriku sendiri.
Aku membayangkan mereka bermesra-mesraan, seperti malam tadi di tenda putih, tapi kini lebih jauh. Habib Hamza, dengan sorban dan jubahnya, memeluk Fitri dengan penuh nafsu, mengelus pinggul dan pahanya seperti yang kulihat, tapi kali ini tanpa batas, di kamar tertutup, dengan ciuman yang lebih dalam dari yang kulihat di restoran. Aku melihat Fitri tersenyum genit, seperti yang ia lakukan saat dipuji kecantikannya, membiarkan Habib menikmati tubuhnya yang indah, kulitnya yang putih mulus, dan lekuk pinggangnya yang selalu membuatku luluh. Gambar itu terasa begitu nyata, setiap sentuhan yang kubayangkan seperti pisau yang menikam, dan aku menangis lebih keras, isakku pelan agar tak didengar Fahri, tapi tak bisa kutahan sepenuhnya.
Yang paling menyakitkan adalah bayangan peju laki-laki lain—Habib Hamza—masuk ke dalam rahim Fitri, wanita yang kucintai dengan seluruh jiwaku. Aku membayangkan tubuh Fitri, yang dulu hanya menerima cinta dan benihku, kini ternoda oleh pria lain, rahimnya yang pernah melahirkan Fahri kini menjadi milik “suami baru” yang ia terima dengan senyum bahagia. Pikiran itu menghancurkan setiap sisa harga diriku sebagai suami, membuatku merasa seperti laki-laki yang tak lagi punya hak atas istri yang selama ini kujaga. Aku mencengkeram kain sofa, tanganku bergetar, dan air mata mengalir deras, membanjiri wajahku. Aku ingin berteriak, menghapus gambar-gambar itu dari kepalaku, tapi mereka terus berputar, seperti film yang diputar ulang untuk menyiksaku.
Fahri, yang masih asyik bermain, sesekali melirikku, “Yah, Bapak kenapa?” tanyanya polos, tapi aku tak bisa menjawab, hanya menggeleng dengan wajah basah. Aku berusaha tersenyum, tapi bibirku kaku, dan aku kembali menatap plafon, tenggelam dalam kepedihan. Sofa ini, yang penuh kenangan malam-malam mesra dengan Fitri, kini terasa seperti tempat eksekusi, tempat aku menghadapi kenyataan bahwa Fitri mungkin sudah bukan milikku lagi. Aku teringat bagaimana ia memalingkan tubuhnya di ranjang tadi malam, menghadap tembok, dan kini, bayangan ia di pelukan Habib Hamza, menikmati keintiman yang seharusnya hanya untuk kami, membuatku merasa seperti pria yang tak lagi dibutuhkan, tak lagi dicintai.
Udara di ruang tamu terasa pengap, meski jendela terbuka dan suara jangkrik dari luar sawah masih terdengar. Aku menangis dalam hening, dadaku seperti dihimpit beban yang tak terlihat, dan rasa ingin hilang dari dunia ini kembali muncul, lebih kuat dari sebelumnya. Tapi Fahri, dengan truk mainannya yang berderit, adalah pengikatku ke dunia ini, satu-satunya alasan aku belum menyerah sepenuhnya. Aku menutup mata, berdoa dalam hati, “Ya Allah, hapus luka ini, atau bawa Fitri kembali sebagai istriku.”
----------------------------
Aku, Ardi, masih tergeletak di sofa tua ruang tamu, tenggelam dalam tangis yang tak kunjung reda, pikiran dipenuhi bayang-bayang Fitri yang kini “dinikahi” Habib Hamza, tubuhnya yang indah ternoda oleh pria lain. Suara Fahri yang bermain dengan truk mainannya di lantai menjadi satu-satunya pengikatku ke dunia ini, tapi bahkan itu terasa samar di tengah luka yang mencabik-cabik hati. Tiba-tiba, ketukan keras di pintu depan memecah keheningan, membuatku tersentak. Aku buru-buru menyeka air mata dengan lengan baju, mataku sembab dan merah seperti habis dipukuli, wajahku pasti tampak menyedihkan. Dengan langkah gontai, aku berjalan ke wastafel, mencuci muka dengan air dingin yang menyengat, berharap bisa menyembunyikan jejak tangis. Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, lalu membuka pintu, tak siap menghadapi siapa pun yang datang di saat aku begitu rapuh.
Di depan pintu berdiri orang tua Fitri, Bapak dan Ibu Suyono, dengan wajah ramah namun penuh makna yang sulit kuterka. Bapak Suyono, dengan kopiah hitam dan sarung yang rapi, tersenyum kecil, sementara Ibu Suyono, mengenakan kerudung cokelat sederhana, membawa tas kain berisi sesuatu. “Assalamualaikum, Ardi,” sapa mereka serentak, suaranya hangat tapi ada nada yang membuatku gelisah. Fahri, yang mendengar suara mereka, berlari dari ruang tamu, berteriak gembira, “Kakek! Nenek!” dan memeluk kaki mereka dengan riang. Aku memaksa diri tersenyum, mengangguk sopan, tapi bingung harus berkata apa. Pikiranku kacau, masih terbayang ciuman mesra Fitri dengan Habib Hamza di restoran, dan kini, kehadiran mertuaku membuatku semakin tak karuan, seperti ada rahasia besar yang belum terungkap.
Kami duduk di ruang tamu, di sofa yang penuh kenangan pahit itu. Ibu Suyono mengusap kepala Fahri, yang kini duduk di pangkuannya, sementara Bapak Suyono menatapku dengan sorot mata serius. “Ardi, kami ke sini karena ada kabar penting,” katanya pelan, suaranya berat. Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang, sudah menduga apa yang akan mereka katakan, tapi tak siap mendengarnya. “Fitri… dia sudah dinikahi Habib Hamza tadi pagi, dalam ijab kabul yang sah,” lanjutnya, dan dunia seolah runtuh di kakiku. Aku memandang mereka, mulutku terkunci, tak percaya bahwa mertuaku, yang selama ini kuhormati, kini berbicara tentang pernikahan Fitri dengan pria lain, seolah aku bukan suaminya. Ibu Suyono menambahkan, “Kami sudah merestui, Ardi. Habib Hamza orang terhormat, dan Fitri tampak bahagia.” Kata-kata itu seperti pisau, memotong sisa-sisa harapanku.
Aku terdiam, tanganku mencengkeram lutut, mencoba mencerna kenyataan yang begitu absurd. Lantas, apa statusku sekarang? Jika Fitri sudah jadi istri Habib Hamza, apakah aku masih suaminya? Apakah aku kini hanya orang asing dalam keluarga yang kubangun selama delapan tahun? Pikiranku berputar, mengingat ciuman Fitri dengan Habib di restoran, sorak “sah” yang menggema, dan senyum bahagianya yang kini terasa seperti pengkhianatan. Aku ingin bertanya, berteriak, meminta penjelasan, tapi suaraku hilang, hanya mampu menatap Bapak Suyono dengan mata sembab. “Tapi… Fitri masih istriku,” gumamku akhirnya, suaraku serak, hampir tak terdengar. Bapak Suyono menghela napas, “Kami tahu ini berat, Ardi, tapi ini demi kebaikan Fitri. Habib Hamza bisa memberikan lebih untuknya.” Kata-kata itu seperti tamparan, membuatku merasa seperti laki-laki tak berguna.
Fahri, yang masih riang bermain dengan neneknya, tak menyadari percakapan yang menghancurkan ini. Ibu Suyono mengeluarkan sebungkus kue dari tas kainnya, memberikannya pada Fahri, yang langsung tersenyum lebar. “Makan kue, Nak,” katanya lembut, tapi aku tahu kelembutan itu tak ditujukan padaku. Aku merasa seperti orang luar di rumahku sendiri, seperti tamu yang tak diundang dalam drama yang mereka rancang. Pikiranku kembali ke restoran, ke gaun satin Fitri, parfum mahal, dan ciuman yang tak bisa kulupakan. Ini bukan prank, meski rasanya seperti lelucon kejam yang dimainkan terhadap perasaanku. Fitri benar-benar mencium pria lain, menerima ijab kabul, dan kini, orang tuanya datang untuk mengesahkan semua itu, seolah pernikahan kami tak pernah ada.
Aku mencoba mencari logika dalam semua ini. Apakah Fitri benar-benar menikah lagi? Bagaimana bisa, sementara ia masih istriku secara sah? Aku teringat pertanyaanku sendiri di motor tadi, tentang apakah wanita boleh bersuami dua, tapi aku tahu itu tak mungkin dalam agama kami. Namun, restu dari Bapak dan Ibu Suyono membuatku ragu—apakah ada yang disembunyikan dariku? Apakah Fitri sudah menceraikanku tanpa sepengetahuanku? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar, membuat kepalaku pening, tapi aku tak berani bertanya lebih lanjut, takut jawabannya akan menghapus sisa harga diriku. Aku hanya menunduk, tanganku gemetar, merasa seperti pria yang ditinggalkan di tepi jalan, sementara Fitri melaju ke hidup baru yang tak kumasuki.
Bapak Suyono melanjutkan, suaranya kini lebih lembut, “Ardi, kami harap kamu bisa menerima. Fitri masih sayang sama Fahri, dia nggak akan ninggalin anaknya.” Tapi kata-kata itu tak menghibur, justru memperdalam luka. Jika Fitri masih sayang Fahri, lalu bagaimana denganku? Apakah aku hanya ayah dari anaknya, bukan suaminya lagi? Ibu Suyono menatapku dengan penuh simpati, tapi simpati itu terasa kosong, seperti belas kasihan pada pria yang kalah. Aku ingin protes, meminta mereka menjelaskan mengapa mereka merestui ini, tapi aku tak punya tenaga. Gambar Fitri yang dicium Habib Hamza, gaunnya yang dibeli pria lain, dan restu mertuaku bercampur jadi badai yang menghancurkan segalanya. Aku merasa seperti orang asing, tak dianggap, tak dihargai, dalam keluarga yang kucintai.
Fahri tiba-tiba naik ke pangkuanku, memamerkan kue yang diberikan neneknya, “Yah, enak, nih!” katanya riang, tak tahu bahwa dunia ayahnya sedang runtuh. Aku memeluknya erat, mencoba mencari kekuatan dari tubuh kecilnya, tapi air mata kembali menggenang, kutahan dengan susah payah. Bapak dan Ibu Suyono mulai berdiri, mengatakan mereka harus pergi, “Kami ke rumah Habib Hamza dulu, Ardi, untuk acara syukuran,” kata Bapak Suyono, dan aku hanya mengangguk, tak mampu berkata apa-apa. Mereka pamit, Fahri melambai gembira, tapi aku tetap duduk di sofa, terpaku, merasa seperti aktor dalam lelucon kejam yang bukan prank. Ini nyata—Fitri, istriku, kini milik pria lain, dan aku ditinggalkan dengan pertanyaan yang tak terjawab: apa statusku sekarang, dan mengapa aku diperlakukan seperti tak pernah ada?
1150Please respect copyright.PENANABEmoyvguDp
1150Please respect copyright.PENANAgmrEzGCy7Y
TO BE CONTINUED
ns216.73.216.97da2