Penguasa Rendah Hati
Dunia Lukas Taran adalah kanvas kemewahan dan kebebasan yang tak terbatas. Pada usia dua puluh delapan tahun, ia telah mencapai apa yang kebanyakan pria hanya bisa impikan: kekayaan yang melimpah, warisan dari orang tua yang visioner, dan kebebasan mutlak untuk mengejar hasratnya. Dan hasrat terbesarnya? Wanita dewasa. Bukan sekadar wanita, tapi wanita yang telah matang, yang menyimpan pengalaman hidup dalam sorot mata mereka, yang memiliki aura kekuatan dan pesona yang tak bisa ditiru oleh gadis-gadis muda. Lukas menyebut dirinya "Milf Hunter," sebuah julukan yang ia banggakan, sebuah gaya hidup yang ia jalani dengan penuh dedikasi.
Malam itu, seperti banyak malam lainnya, Lukas duduk di kursi gaming ergonomisnya yang seharga mobil mewah, dikelilingi oleh enam monitor melengkung yang menampilkan berbagai antarmuka game RPG fantasi. Aroma kopi hitam pekat dan pizza truffle yang baru dipesan memenuhi ruang gaming pribadinya yang kedap suara, sebuah benteng digital di tengah penthouse-nya yang menjulang di atas cakrawala Jakarta. Jari-jarinya menari di atas keyboard mekanik, mengeluarkan suara klik-klak yang ritmis, sementara matanya yang tajam memindai statistik karakter, strategi raid, dan build peralatan.
"Sialan, Aldric Brightblade," gumam Lukas, suaranya serak namun penuh konsentrasi. Di salah satu monitor, karakter pahlawan dari game RPG favoritnya, "Kronik Valthoria," sedang melancarkan serangan pamungkas ke bos terakhir. "Pahlawan klise. Selalu menang. Membosankan."
Lukas selalu punya kecenderungan untuk bersimpati pada antagonis, pada karakter yang berjuang melawan takdir, pada mereka yang dicap "jahat" hanya karena alur cerita menuntutnya. Zephyr Varnholt, antagonis utama di "Kronik Valthoria," adalah favoritnya. Seorang penguasa kastil yang terbuang, ditakdirkan untuk kalah di tangan Aldric Brightblade yang suci. "Padahal, kalau aku yang jadi Zephyr, ceritanya pasti beda," pikir Lukas, seringkali menghabiskan waktu berjam-jam merancang strategi alternatif untuk Zephyr, membayangkan bagaimana ia bisa membalikkan keadaan.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar hebat di meja samping. Layar menampilkan nama "Pengacara Handal," diikuti dengan serangkaian notifikasi berita yang masuk secara beruntun. Lukas mengabaikannya sejenak, terlalu asyik dengan pertarungan bos. Namun, getaran itu semakin intens, dan kali ini, sebuah nama lain muncul: "Ibu Negara."
Napas Lukas tercekat. "Sial," desisnya, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu ini akan datang, tapi tidak secepat ini. Skandal asmaranya dengan istri seorang pejabat tinggi negara, yang ia panggil dengan panggilan sayang "Madam X," akhirnya meledak. Ia sudah menduga bahwa hubungan rahasia mereka, yang penuh gairah dan risiko, suatu hari akan terbongkar. Tapi ia tidak menyangka akan sebrutal ini.
Ia mengangkat telepon dari pengacaranya, suaranya tenang, meskipun di dalam hatinya badai telah bergejolak. "Ya, Pak Budi?"
"Lukas, ini gawat! Video dan foto-fotomu dengan Madam X sudah tersebar luas. Media sosial, berita utama, semuanya. Suami Madam X sudah mengajukan gugatan pencemaran nama baik dan... dan ada ancaman fisik. Kamu harus segera pergi dari sini!" Suara Pak Budi terdengar panik, tidak seperti biasanya.
Lukas mengusap wajahnya. "Secepat ini?"
"Lebih cepat dari yang kita duga. Mereka tahu kamu di penthouse. Ada orang-orang bersenjata di bawah. Aku sudah mengatur jet pribadi, tapi kamu harus keluar sekarang juga!"
"Sialan," umpat Lukas. Ia melirik ke luar jendela penthouse-nya yang menampilkan pemandangan kota yang berkilauan. Benar saja, di jalanan di bawah, ia bisa melihat beberapa mobil hitam mencurigakan dan siluet orang-orang berbadan tegap. Mereka tidak main-main.
Panik mulai merayapi. Lukas bukan pengecut, tapi ia juga bukan orang bodoh yang mau menghadapi situasi tanpa persiapan. Ia seorang strategis, bahkan dalam hidup. Ia tahu kapan harus mundur untuk menyerang lagi. "Oke, Pak Budi. Aku akan bergerak. Terima kasih."
Ia mematikan telepon, otaknya berputar cepat. Pintu utama? Terlalu berisiko. Lift pribadi? Mungkin sudah diblokir. Ia harus mencari jalan keluar alternatif. Ia teringat akan sebuah ruangan rahasia di bawah lantai ruang gaming-nya, sebuah bunker kecil yang ia bangun sebagai tempat perlindungan terakhir, lengkap dengan pasokan darurat dan jalan keluar tersembunyi.
Lukas dengan cepat mematikan semua monitor, membiarkan kegelapan menyelimuti ruang gaming. Ia menekan tombol tersembunyi di bawah mejanya, dan sebagian lantai kayu berukir perlahan bergeser, menampakkan tangga spiral menuju kegelapan. Ia meraih tas ransel kecil yang selalu ia siapkan, berisi paspor, uang tunai, dan beberapa hard drive berisi data penting.
Saat ia menuruni tangga, suara sirene mulai terdengar samar dari kejauhan, semakin mendekat. Lampu darurat di bunker menyala otomatis, menampakkan dinding beton kokoh dan sebuah pintu baja di ujung ruangan. Ia tahu pintu itu menuju ke lorong servis yang jarang digunakan, yang pada akhirnya akan membawanya ke gang belakang gedung.
Namun, saat ia mendekati pintu baja, sesuatu yang aneh terjadi. Di tengah ruangan bunker yang sempit, di mana seharusnya hanya ada dinding beton, sebuah pusaran cahaya kebiruan mulai terbentuk. Awalnya kecil, seperti fatamorgana, lalu membesar dengan cepat, berputar dan berdenyut, mengeluarkan suara desisan rendah yang aneh.
Lukas berhenti, matanya menyipit. Ini bukan bagian dari rencana. Ini bukan bagian dari bunker. Ini... apa ini? Udara di sekitarnya terasa dingin, berbau ozon dan sesuatu yang asing, seperti logam yang dipanaskan dan hujan. Pusaran itu membesar, menjadi portal vertikal setinggi dua meter, dengan cahaya biru yang memukau dan tampak menarik segala sesuatu ke dalamnya.
Rasa ingin tahu Lukas, yang seringkali lebih kuat dari rasa takutnya, mengambil alih. Ini bukan efek halusinasi karena stres. Ini nyata. Dan entah kenapa, portal itu terasa... memanggilnya. Seperti sebuah pintu ke petualangan yang selama ini ia cari di dalam game-game fantasi.
Ia mendengar suara langkah kaki di atas, di ruang gaming. Mereka sudah masuk. Tidak ada waktu untuk berpikir. Ini adalah satu-satunya jalan keluar yang tidak terduga. Sebuah lompatan iman, atau mungkin, sebuah lompatan keputusasaan yang disamarkan sebagai petualangan.
"Baiklah, Valthoria," gumam Lukas, seringai tipis muncul di bibirnya. "Mari kita lihat apa yang kau punya."
Tanpa ragu, Lukas melangkah maju, langsung menuju pusaran cahaya biru itu. Sensasi yang ia rasakan sungguh luar biasa. Tubuhnya terasa seperti ditarik dari segala arah, dirobek-robek menjadi partikel-partikel, lalu disatukan kembali dalam sekejap. Cahaya membutakan, suara menderu di telinganya, dan kemudian... kegelapan.
Ketika kesadarannya kembali, ia merasakan dinginnya lantai batu di bawah tubuhnya. Aroma lembap, tanah, dan sesuatu yang busuk menusuk hidungnya. Suara-suara aneh, seperti desiran angin di koridor panjang dan tetesan air, terdengar di kejauhan. Ia membuka matanya perlahan, dan yang pertama kali ia lihat adalah langit-langit batu yang tinggi, dihiasi dengan lumut dan jaring laba-laba.
"Apa-apaan ini?" bisiknya. Ia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa lemas dan berbeda. Ia melihat tangannya. Bukan tangan halusnya yang biasa, melainkan tangan yang lebih besar, dengan bekas luka samar dan kuku yang sedikit kotor. Ia melihat pakaiannya. Bukan pakaian kasualnya yang mahal, melainkan tunik usang dan celana kulit yang lusuh.
Ia berdiri, terhuyung-huyung. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh celah cahaya samar dari sebuah jendela kecil berjeruji. Ia melihat sekeliling. Dinding batu, perabotan kayu tua yang rusak, dan sebuah cermin retak di sudut. Ia mendekati cermin itu, jantungnya berdegup kencang.
Yang ia lihat di pantulan cermin bukanlah Lukas Taran. Melainkan seorang pria muda dengan rambut hitam acak-acakan, mata tajam yang tampak lelah, dan rahang yang tegas. Wajah yang asing, namun terasa familiar.
"Zephyr Varnholt," bisik Lukas, mengenali wajah antagonis yang sering ia analisis dalam "Kronik Valthoria." Sebuah senyum pahit terukir di bibirnya. "Sialan. Aku benar-benar jadi dia."
Takdir telah menariknya ke dalam permainan yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Permainan di mana ia bukan lagi seorang gamer yang mengendalikan karakter, melainkan karakter itu sendiri. Dan ia, Lukas Taran, yang kini adalah Zephyr Varnholt, bertekad untuk menulis ulang nasibnya sendiri.
Kedatangan dan Perjuangan Awal di Valthoria
Zephyr Varnholt. Nama itu bergema di benak Lukas, memicu gelombang informasi dari novel "Kronik Valthoria" yang ia hafal di luar kepala. Zephyr, penguasa Kastil Duskmoor, seorang bangsawan muda yang arogan, kejam, dan ditakdirkan untuk kehancuran di tangan pahlawan Aldric Brightblade. Kastilnya sendiri, menurut novel, adalah sarang intrik gelap dan sihir terlarang, namun kini...
Lukas menoleh ke sekeliling ruangan. Ini seharusnya adalah kamar tidur utama Zephyr, tetapi kondisinya jauh dari kemewahan yang ia bayangkan dari penggambaran novel. Dinding batu yang retak, kelembapan yang menusuk, dan perabotan kayu yang lapuk menunjukkan kemiskinan yang mencolok. Debu tebal melapisi setiap permukaan, dan bau apek bercampur dengan aroma jamur. Jendela kecil di dinding, yang seharusnya menawarkan pemandangan indah, kini hanya menampilkan langit kelabu dan reruntuhan menara yang hancur.
"Ini lebih buruk dari yang kukira," gumam Lukas, mengusap wajahnya yang terasa kasar. Ia melangkah keluar dari kamar, menyusuri koridor gelap yang terasa dingin dan sepi. Langkah kakinya bergema di lorong yang panjang, menambah kesan angker pada tempat ini. Tidak ada pelayan yang menyambutnya, tidak ada ksatria yang berjaga. Kastil ini terasa mati.
Ia menemukan ruang perbendaharaan. Pintu kayu berat itu berderit saat dibuka, menampakkan ruangan kosong yang hanya berisi sarang laba-laba dan beberapa peti kayu usang. Tidak ada koin emas, tidak ada permata, bahkan tidak ada sebilah pedang yang layak. "Benar-benar bangkrut," desis Lukas, kekecewaan merayapi hatinya. Ini bukan sekadar kastil yang hampir runtuh, ini adalah puing-puing.
Lukas menghabiskan beberapa jam berikutnya menjelajahi Kastil Duskmoor. Ia menemukan dapur yang kotor dan kosong, barak ksatria yang hanya dihuni oleh beberapa pria tua yang tampak tidak termotivasi, dan perpustakaan yang dipenuhi buku-buku usang yang dimakan rayap. Aura sihir gelap "Bayang Takdir" yang disebutkan dalam novel memang terasa, tetapi lebih seperti sisa-sisa kekuatan yang memudar, bukan ancaman yang menakutkan.
"Bagaimana bisa seorang penguasa sepertiku diremehkan sampai begini?" pikir Lukas. Ia ingat bagian novel yang menyebutkan Zephyr sebagai penguasa yang dibenci rakyatnya, yang diperlakukan seperti budak kelas rendah oleh bangsawan lain karena kebangkrutan dan reputasi buruk kastilnya. Lukas, yang terbiasa dengan kemewahan dan dihormati di dunianya, merasakan harga dirinya tercubit.
Saat ia berjalan di halaman kastil yang ditumbuhi ilalang, sebuah suara serak dan berat mengagetkannya.
"Kau sudah bangun, Tuan Muda?"
Lukas menoleh. Di bawah naungan pohon tua yang layu, berdiri seorang pria berbadan besar dengan kulit hijau keabu-abuan dan taring yang menyembul dari bibir bawahnya. Matanya yang tajam menatap Lukas dengan campuran rasa ingin tahu dan kelelahan. Ini adalah Varkis, mantan ksatria orc yang diasingkan oleh Lady Arielle Nightshade, penyihir wanita kuat yang merupakan salah satu sekutu utama Aldric di novel. Varkis seharusnya menjadi salah satu pengikut setia Zephyr, tetapi ia juga digambarkan sebagai sosok yang lelah dan putus asa.
"Varkis," Lukas mencoba memanggil namanya, suaranya terdengar asing di telinganya sendiri. "Kastil ini... mengapa seperti ini?"
Varkis mendengus. "Mengapa? Karena kau, Tuan Muda. Kau menguras perbendaharaan dengan kesenanganmu, mengabaikan rakyatmu, dan membiarkan musuh menggerogoti kita. Sekarang, kita tidak punya apa-apa." Nada suaranya penuh keputusasaan, namun ada secercah kemarahan yang tersembunyi.
Lukas mengangguk pelan. Ia tahu ini adalah bagian dari alur cerita. Zephyr yang asli memang seorang bajingan. Tapi Lukas bukan Zephyr. Ia adalah Lukas. "Aku mengerti. Tapi itu akan berubah."
Varkis menatapnya dengan curiga. "Berubah? Bagaimana? Kita bahkan tidak punya cukup makanan untuk besok."
Tiba-tiba, suara langkah kaki kuda dan derit roda kereta terdengar dari gerbang utama kastil. Beberapa pria berbadan tegap dengan lencana serigala di dada mereka masuk ke halaman, dipimpin oleh seorang pria gemuk dengan wajah serakah. Rentenir. Lukas langsung mengenali mereka dari deskripsi novel. Mereka adalah kaki tangan Duke Corvus, bangsawan korup yang mengincar tanah Kastil Duskmoor.
"Zephyr Varnholt!" teriak pria gemuk itu, suaranya melengking. "Sudah waktunya membayar utangmu! Dan kali ini, kami tidak akan menerima alasan!"
Varkis mengepalkan tinjunya, ekspresinya gelap. "Mereka lagi."
Lukas melangkah maju, senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum yang biasanya ia gunakan untuk memikat wanita, kini ia arahkan pada para rentenir. "Selamat datang, Tuan-tuan. Ada apa gerangan?"
Pria gemuk itu tertawa sinis. "Ada apa? Jangan pura-pura bodoh, Zephyr! Utangmu sudah jatuh tempo! Kali ini, kami akan mengambil apa pun yang kami mau jika kau tidak membayar!" Matanya melirik ke arah Varkis yang tampak lemas. "Atau mungkin, kami akan mengambil budak orc-mu itu sebagai gantinya."
Varkis tersentak, matanya membelalak. Ia tahu nasibnya jika jatuh ke tangan Duke Corvus.
Lukas tertawa pelan, tawa yang penuh percaya diri, bukan tawa sinis Zephyr yang asli. "Budak? Oh, Tuan-tuan, Anda salah paham. Varkis bukan budak. Dia adalah kepala keamanan kastil ini. Dan tentang utang... saya rasa ada sedikit kesalahpahaman."
Pria gemuk itu mengerutkan kening. "Kesalahpahaman apa? Bukti tertulisnya jelas!"
"Tentu saja," Lukas mengangguk. "Tapi saya yakin Anda lupa detail kecil. Utang ini, jika saya tidak salah, adalah utang yang dibuat oleh ayah saya, bukan saya. Dan bukankah ada klausul dalam perjanjian lama yang menyatakan bahwa utang tersebut akan dibatalkan jika Kastil Duskmoor dapat menunjukkan tanda-tanda kebangkitan dalam satu bulan setelah kematian penguasa sebelumnya? Ayah saya baru meninggal sebulan yang lalu, bukan?"
Pria gemuk itu terdiam, wajahnya memucat. Ia memang tidak ingat klausul itu, atau mungkin ia sengaja melupakannya. Lukas, dengan pengetahuannya tentang novel, tahu persis detail kecil ini. Klausul itu adalah jebakan yang dibuat oleh ayah Zephyr untuk melindungi kastil, tetapi Zephyr yang asli terlalu bodoh untuk menyadarinya.
"Itu... itu tidak mungkin!" pria gemuk itu tergagap.
"Oh, itu mungkin," Lukas melanjutkan, suaranya tenang namun tegas. "Dan saya yakin Anda tidak ingin saya membawa masalah ini ke hadapan Raja, bukan? Mengklaim utang yang sudah dibatalkan, itu bisa dianggap penipuan besar. Dan saya yakin Duke Corvus tidak ingin reputasinya tercemar oleh tindakan bawahannya yang serakah."
Wajah pria gemuk itu kini benar-benar pucat pasi. Ia tahu ancaman Lukas bukan omong kosong. Reputasi Duke Corvus memang rapuh.
"Baiklah... baiklah, Tuan Zephyr," pria gemuk itu akhirnya menyerah, suaranya bergetar. "Kami... kami akan pergi. Tapi ini belum berakhir!"
"Oh, saya yakin begitu," Lukas tersenyum, senyum predator yang tersembunyi di balik keramahan. "Tapi untuk saat ini, selamat jalan."
Para rentenir itu buru-buru naik ke kereta mereka dan pergi, meninggalkan jejak debu di halaman kastil.
Varkis menatap Lukas dengan takjub. "Bagaimana... bagaimana kau tahu itu, Tuan Muda?"
Lukas mengangkat bahu. "Hanya sedikit membaca dokumen lama kastil. Kau tahu, hal-hal yang sering diabaikan." Ia tidak bisa mengatakan bahwa ia tahu karena ia telah membaca seluruh novel tentang dunia ini.
Sejak saat itu, Varkis melihat potensi dalam diri Lukas. Bukan potensi Zephyr yang kejam, melainkan kecerdasan dan karisma yang ia tunjukkan. Varkis, yang telah kehilangan harapan, mulai melihat secercah cahaya di Kastil Duskmoor. Ia mulai mengajari Lukas tentang seluk-beluk menjadi penguasa yang cerdas di Valthoria, menggabungkan sihir yang diwarisi Zephyr dengan kemampuan menjalin hubungan.
"Sihir Bayang Takdir," kata Varkis suatu sore, saat mereka berlatih di halaman belakang kastil. "Itu adalah sihir yang mengalir dalam darah Varnholt. Zephyr yang asli menggunakannya untuk kehancuran. Tapi kau... kau bisa menggunakannya untuk perlindungan, untuk ilusi, untuk memanipulasi bayangan musuh."
Lukas mempelajari sihir itu dengan cepat, menggabungkan pengetahuan teoritisnya dari novel dengan bimbingan praktis Varkis. Ia menyadari bahwa sihir ini, jika digunakan dengan cerdas, bisa menjadi alat yang sangat ampuh untuk strateginya.
Namun, di tengah semua ini, Lukas bergumul dengan dilema moral. Sistem perbudakan di Valthoria, peran "Pesona Mulia" yang manipulatif, dan intrik politik yang kejam. Semua itu bertentangan dengan nilai-nilai modernnya. Ia adalah seorang anti-hero, ya, tapi ia juga punya batas. Ia tidak ingin menjadi Zephyr yang asli. Ia ingin tetap rendah hati, tidak menarik perhatian, dan hanya membangun kembali kastilnya.
Tetapi setiap tindakan yang ia lakukan untuk menghindari nasib Zephyr justru membawanya lebih dekat ke peran "Penutup Takdir." Membalikkan keadaan dengan rentenir, menunjukkan kecerdasan yang tak terduga, dan mulai membangun kembali kastil... semua itu memicu rumor tentang "Penguasa Duskmoor yang Jenius." Ia mencoba menjaga profil rendah, tetapi karisma dan tindakannya secara tidak sengaja menarik perhatian. Ia merasa seperti kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya, memicu badai yang tak terduga.
"Sialan," gumam Lukas suatu malam, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. "Aku hanya ingin hidup tenang, membangun kastil, dan mengejar Milf. Kenapa takdir ini begitu keras kepala?"
Ia tahu bahwa langkah selanjutnya dalam alur novel adalah pertemuannya dengan Lady Beatrice Veyron, seorang bangsawan dominan yang seharusnya menjadi target "Milf Hunter" pertamanya. Ini adalah bagian dari rencananya untuk memperkuat aliansi, tetapi ia juga tahu bahwa setiap interaksi akan semakin mengikatnya pada takdir yang ingin ia hindari.
Interaksi dengan Lyria Varnholt
Beberapa hari setelah insiden rentenir, saat Lukas sedang memeriksa kondisi kuda di kandang yang reyot, sebuah suara lembut namun penuh kecurigaan menyapanya.
"Kakak Zephyr?"
Lukas menoleh. Di ambang pintu kandang berdiri seorang gadis muda, mungkin berusia sekitar enam belas tahun, dengan rambut hitam panjang yang sama seperti Zephyr dan mata abu-abu yang tajam. Wajahnya pucat dan kurus, mencerminkan kondisi kastil yang memprihatinkan, namun ada martabat yang tersisa dalam caranya berdiri. Ini adalah Lyria Varnholt, adik perempuan Zephyr. Dalam novel, Lyria digambarkan sebagai sosok yang pendiam, sering diabaikan dan bahkan ditakuti oleh Zephyr yang asli. Ia adalah saksi bisu kejatuhan keluarganya.
"Lyria," Lukas membalas, mencoba terdengar senormal mungkin. Ia tahu Zephyr yang asli jarang berinteraksi dengan adiknya, apalagi dengan nada yang ramah.
Lyria melangkah masuk, matanya memindai Lukas dari ujung kaki hingga kepala. Ada kerutan di dahinya. "Aku... aku mendengar apa yang terjadi dengan para rentenir. Kau... kau mengusir mereka?" Nada suaranya penuh ketidakpercayaan.
Lukas mengangguk. "Tentu saja. Mengapa tidak?"
"Tapi... kau tidak pernah melakukan itu sebelumnya," Lyria berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. "Kau biasanya... kau hanya akan mengamuk dan membiarkan mereka mengambil apa pun yang mereka mau."
Lukas merasakan hatinya mencelos. Zephyr yang asli memang begitu. "Aku... aku sudah berubah, Lyria. Aku menyadari bahwa aku tidak bisa terus seperti ini. Kastil ini, keluarga kita... kita harus bangkit."
Lyria menatapnya lama, matanya mencari kebohongan, mencari tanda-tanda kemarahan atau manipulasi yang biasa ia lihat dari kakaknya. Namun, yang ia temukan hanyalah ketenangan dan... sesuatu yang berbeda. Sebuah tekad yang sebelumnya tidak pernah ia lihat.
"Kau... kau membaca dokumen lama?" tanyanya lagi, masih ragu.
"Ya," jawab Lukas, tersenyum tipis. "Ada banyak hal yang tersembunyi di balik tumpukan debu, Lyria. Termasuk cara untuk menyelamatkan kita."
Lyria terdiam sejenak, lalu perlahan mengangguk. "Aku... aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, Kakak. Tapi... aku senang kau berubah." Ada sedikit senyum di bibirnya, senyum yang rapuh namun tulus.
Momen itu adalah titik balik. Lyria tidak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi pada kakaknya, tetapi ia merasakan perubahan itu. Ia mulai melihat Lukas bukan sebagai Zephyr yang kejam dan tak acuh, melainkan sebagai seorang kakak yang cerdas dan bertekad untuk menyelamatkan mereka. Meskipun masih ada kecurigaan samar di benaknya, rasa hormat mulai tumbuh. Ia mulai membantu Lukas dalam hal-hal kecil, membantunya menemukan dokumen lama, atau sekadar memberikan informasi tentang kondisi kastil dan para pelayan. Lukas menyadari bahwa Lyria bisa menjadi sekutu yang tak terduga, seseorang yang bisa ia percaya di tengah intrik Valthoria.
Pertemuan dengan Lady Beatrice Veyron
Desas-desus tentang "Penguasa Duskmoor yang Jenius" mulai menyebar seperti api. Bukan karena kekuatan sihirnya yang menakutkan, melainkan karena kecerdasannya dalam membalikkan keadaan finansial kastil yang nyaris bangkrut dan karismanya yang tak terduga. Reputasi Zephyr yang asli, yang kejam dan bodoh, perlahan digantikan oleh citra baru yang membingungkan sekaligus menarik perhatian. Dan di antara mereka yang tertarik, adalah Lady Beatrice Veyron.
Lukas tahu dari novel bahwa Lady Beatrice adalah seorang bangsawan dominan, seorang janda kaya yang memiliki pengaruh besar di wilayah selatan Valthoria. Ia digambarkan sebagai wanita yang cerdas, ambisius, dan memiliki selera yang tinggi, terutama dalam hal pria. Pertemuan dengannya adalah bagian krusial dari alur cerita Zephyr yang asli, meskipun Zephyr yang asli gagal memanfaatkannya. Bagi Lukas, ini adalah kesempatan emas untuk memulai "karir" Milf Hunter-nya di Valthoria, sekaligus mengamankan sumber daya dan pengaruh yang sangat dibutuhkan untuk membangun kembali Kastil Duskmoor.
Undangan datang dalam bentuk gulungan perkamen berhias emas, dibawa oleh seorang utusan berkuda dengan lencana keluarga Veyron. Lukas membacanya dengan senyum tipis. Sebuah pesta di kediaman Lady Beatrice, sebuah undangan yang tidak bisa ia tolak.
"Ini adalah kesempatan, Tuan Muda," kata Varkis, yang kini jauh lebih bersemangat. "Lady Beatrice adalah wanita yang kuat. Jika kau bisa memenangkannya, itu akan menjadi keuntungan besar bagi Kastil Duskmoor."
Lukas mengedipkan mata. "Memenangkannya? Oh, Varkis, itu adalah keahlianku."
Malam pesta tiba. Lukas, yang kini mengenakan tunik yang lebih bersih dan celana kulit yang baru dijahit Lyria dari bahan-bahan yang mereka temukan di gudang lama, merasa sedikit canggung. Ia merindukan setelan jas mewahnya, tapi ia harus beradaptasi. Ia membiarkan Varkis menemaninya, sebagai tanda hormat dan juga sebagai pengawal.
Kediaman Lady Beatrice adalah kontras yang mencolok dengan Kastil Duskmoor. Bangunannya megah, terawat, dan dipenuhi dengan cahaya lilin yang hangat. Aroma bunga-bunga eksotis dan anggur mahal memenuhi udara. Para tamu, bangsawan dan ksatria dari berbagai penjuru, tampak elegan dan berkuasa. Lukas merasa seperti ikan di antara hiu, tetapi ia menyembunyikan kegugupannya di balik senyum percaya diri.
Ia melihatnya. Lady Beatrice Veyron. Ia berdiri di tengah kerumunan, dikelilingi oleh para pengagum. Wanita itu jauh lebih memukau dari deskripsi novel. Usianya mungkin akhir tiga puluhan, dengan rambut merah gelap yang tergerai indah, mata hijau zamrud yang tajam, dan bibir penuh yang melengkung sensual. Gaunnya, terbuat dari sutra hitam dengan sulaman emas, memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan payudara yang berisi dan pinggul yang melengkung indah. Aura kekuasaan dan kematangan terpancar darinya, sebuah daya tarik yang tak terbantahkan bagi Lukas si Milf Hunter.
"Dia... dia luar biasa," gumam Lukas, lebih kepada dirinya sendiri.
"Hati-hati, Tuan Muda," Varkis memperingatkan. "Dia dikenal tidak mudah didekati."
Lukas hanya tersenyum. "Itu justru yang menarik."
Ia melangkah maju, perlahan namun pasti, menyusuri kerumunan. Ia tidak terburu-buru, membiarkan auranya yang tenang namun karismatik bekerja. Saat ia semakin dekat, ia bisa merasakan tatapan mata Lady Beatrice sesekali melirik ke arahnya. Wanita itu jelas penasaran dengan "Penguasa Duskmoor yang Jenius" yang baru ini.
Ketika ia akhirnya berada di dekatnya, Lukas tidak langsung menyapa. Ia hanya berdiri beberapa langkah di belakangnya, mengamati, membiarkan kehadirannya terasa. Lalu, ketika Lady Beatrice sedikit membalikkan tubuhnya, seolah merasakan tatapan Lukas, mata mereka bertemu.
Mata hijau zamrud itu menatapnya dengan campuran rasa ingin tahu, sedikit keraguan, dan sedikit... tantangan. Lukas membalas tatapan itu dengan senyum tipis, senyum yang tulus namun menyimpan sejuta makna. Senyum yang mengatakan, Aku tahu siapa dirimu, dan aku tertarik.
"Lady Beatrice," sapa Lukas, suaranya rendah dan hangat, seperti anggur yang telah lama disimpan. "Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan Anda."
Lady Beatrice mengangkat alisnya, senyum tipis terukir di bibirnya. "Lord Zephyr. Desas-desus tentang perubahan Anda telah sampai ke telinga saya. Saya harus mengakui, saya penasaran." Suaranya dalam, berwibawa, namun ada nada sensual yang tersembunyi.
"Perubahan?" Lukas terkekeh pelan. "Saya hanya mencoba menjadi penguasa yang lebih baik untuk rakyat saya, Lady Beatrice. Tidak ada yang istimewa." Ia merendah, sebuah taktik yang sering ia gunakan untuk memancing minat. "Namun, saya harus mengatakan, Anda jauh lebih memukau dari yang saya dengar."
Pujian itu, diucapkan dengan begitu tulus dan tanpa basa-basi, membuat pipi Lady Beatrice sedikit merona. Ia terbiasa dengan pujian yang berlebihan dan menjilat, tetapi pujian Lukas terasa berbeda. Ada kejujuran di dalamnya, dan itu membuatnya sedikit terkejut.
"Anda... Anda memang berbeda dari yang saya bayangkan, Lord Zephyr," katanya, matanya menelusuri wajah Lukas. "Saya mendengar Anda adalah seorang... Milf Hunter." Ada nada geli dan sedikit provokasi dalam suaranya.
Lukas tersenyum, senyum yang kini lebih lebar, menunjukkan sedikit taringnya. "Oh, itu hanya julukan yang diberikan oleh beberapa teman lama saya, Lady Beatrice. Saya lebih suka menyebut diri saya sebagai seorang pria yang menghargai kecantikan dan kebijaksanaan wanita yang telah matang." Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah, hanya untuk didengar oleh Lady Beatrice. "Dan saya harus mengatakan, Anda adalah definisi sempurna dari keduanya."
Ketegangan seksual di antara mereka terasa begitu kuat, hampir bisa dipotong dengan pisau. Mata Lady Beatrice melebar sedikit, napasnya tertahan. Lukas bisa melihat gairah yang tersembunyi di balik tatapan berwibawanya. Ia tahu ia telah memukul sasaran.
"Anda... Anda berani sekali, Lord Zephyr," bisik Lady Beatrice, namun ada senyum yang lebih jelas di bibirnya. "Saya suka itu."
"Saya hanya jujur, Lady Beatrice," Lukas membalas, matanya menari-nari di wajahnya, lalu turun ke lehernya yang jenjang, dan sedikit ke belahan dadanya yang menggoda. "Dan saya yakin, Anda juga menghargai kejujuran."
Interaksi mereka menjadi pusat perhatian. Para bangsawan lain yang mengagumi Lady Beatrice menatap Lukas dengan cemburu dan terkejut. Zephyr Varnholt yang dulu, tidak akan pernah berani berbicara seperti itu kepada Lady Beatrice. Reputasi Lukas sebagai "Penguasa Rendah Hati" yang jenius, kini mulai tercampur dengan julukan "Milf Hunter" yang berani. Ini adalah awal dari pergeseran reputasi yang akan terus berkembang.
Lukas menghabiskan sisa malam itu berbicara dengan Lady Beatrice, memikatnya dengan kecerdasannya, pengetahuannya tentang dunia, dan karismanya yang tak terbantahkan. Ia tidak hanya berbicara tentang politik atau aliansi, tetapi juga tentang hal-hal pribadi, tentang ambisi, tentang hasrat, dan tentang kesepian yang mungkin dirasakan seorang wanita berkuasa. Ia tahu bagaimana membuat wanita merasa didengar, dihargai, dan diinginkan, sebuah keahlian yang ia gunakan untuk membuka pintu pengaruh dan sumber daya yang Lady Beatrice miliki.
Ketika pesta berakhir, Lady Beatrice mengantar Lukas ke gerbang. Di bawah cahaya bulan, ia menatap Lukas dengan tatapan yang lebih lembut, namun masih penuh gairah.
"Lord Zephyr," katanya, suaranya serak. "Saya... saya tidak tahu apa yang harus saya pikirkan tentang Anda. Tapi saya ingin tahu lebih banyak."
Lukas tersenyum, meraih tangannya dan mencium punggungnya dengan lembut. "Kapan pun Anda mau, Lady Beatrice. Pintu Kastil Duskmoor selalu terbuka untuk Anda."
Lady Beatrice menarik tangannya perlahan, namun sentuhan itu terasa seperti sengatan listrik. "Saya akan mengingat itu."
Saat Lukas dan Varkis kembali ke Kastil Duskmoor, Lukas tahu ia telah membuat langkah besar. Ia telah menanam benih. Benih aliansi yang akan membawa sumber daya, benih romansa yang akan mengikat, dan benih reputasi yang semakin kompleks. Takdir memang keras kepala, tetapi ia, Lukas Taran, akan menari di atasnya, memanfaatkan setiap kartu yang ia miliki untuk membangun kembali kerajaannya.
Gairah yang Membakar
Malam itu, di kamar tidur pribadi Lukas yang kini terasa lebih nyaman, Lady Beatrice kembali berkunjung. Cahaya lilin menari-nari di dinding batu, menciptakan bayangan yang bergerak, menambah aura misteri dan gairah. Aroma incense yang sengaja Lukas bakar memenuhi ruangan, perpaduan sandalwood dan jasmine, menciptakan suasana yang menenangkan namun juga membangkitkan indra.
Lady Beatrice berdiri di dekat jendela, membelakangi Lukas, menatap ke kegelapan di luar. Gaun sutra hitamnya memeluk tubuhnya dengan begitu erat, menampilkan lekuk punggungnya yang mulus dan pinggulnya yang menggoda. Lukas mendekat, langkahnya pelan dan mantap, seperti predator yang mendekati mangsa yang ia inginkan. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdebar, dan ia yakin Beatrice juga bisa merasakannya.
"Lord Zephyr," bisik Lady Beatrice, suaranya serak, tanpa menoleh. "Apa lagi yang ingin kau tunjukkan padaku malam ini?"
Lukas tersenyum, senyum yang kini lebih gelap, lebih penuh janji. "Sesuatu yang lebih... pribadi, Lady Beatrice. Sesuatu yang akan membuat Anda melupakan semua intrik politik dan beban kekuasaan."
Tangannya perlahan terangkat, menyentuh bahu telanjang Beatrice. Kulitnya terasa halus dan hangat di bawah sentuhannya. Sebuah desah kecil lolos dari bibir Beatrice. Lukas membiarkan sentuhannya berlama-lama di sana, merasakan ketegangan yang mulai merayapi tubuh wanita itu. Jemarinya bergerak perlahan, membelai tulang selangka, lalu turun ke lekukan lehernya.
"Anda tegang, Lady Beatrice," bisik Lukas, suaranya dalam, tepat di telinga wanita itu. Aroma rambutnya yang harum memenuhi indra Lukas. "Biarkan saya membantu Anda rileks."
Ia membalikkan tubuh Beatrice perlahan, sehingga mereka kini berhadapan. Mata hijau zamrud itu menatapnya dengan campuran gairah dan sedikit ketakutan. Lukas tahu Beatrice adalah wanita yang terbiasa mengendalikan, dan ia menikmati melihatnya sedikit kehilangan kendali.
Tangannya bergerak ke wajah Beatrice, membelai pipinya yang lembut, lalu turun ke bibir penuhnya. "Bibir ini," bisik Lukas, ibu jarinya mengusap bibir bawah Beatrice, "terlalu sering mengucapkan perintah. Malam ini, biarkan bibir ini merasakan... kebahagiaan."
Ia menunduk, mencium bibir Beatrice. Ciuman itu dimulai dengan lembut, penuh bujukan, lalu semakin dalam, semakin menuntut. Lidahnya menjelajahi setiap lekukan bibir Beatrice, mengundang respons yang semakin intens. Lady Beatrice membalas ciumannya dengan gairah yang sama, tangannya melingkari leher Lukas, menariknya lebih dekat.
"Lepaskan gaunmu, Beatrice," bisik Lukas di sela ciuman, suaranya serak.
Dengan napas terengah-engah, Lady Beatrice melepaskan ikatan di belakang lehernya. Gaun sutra itu meluncur ke lantai, meninggalkan tubuhnya yang telanjang di bawah cahaya lilin. Lukas menarik napas tajam. Tubuh Lady Beatrice adalah sebuah karya seni, matang dan penuh, dengan payudara yang montok dan puting yang menegang karena gairah. Perutnya sedikit berisi, pinggulnya melengkung indah, dan bulu kemaluannya yang gelap terlihat jelas, mengundang sentuhan.
"Cantik," gumam Lukas, matanya menelusuri setiap inci tubuhnya. Tangannya bergerak, membelai payudara Beatrice, merasakan kelembutan kulitnya, kekenyalan dagingnya. Ibu jarinya mengusap puting yang menegang, memicu desahan dari wanita itu.
"Zephyr..." Beatrice mendesah, suaranya penuh kerinduan.
Lukas menunduk, mencium lehernya, lalu turun ke belahan dadanya, menyesap kulitnya, meninggalkan jejak basah yang membakar. Tangannya terus membelai payudaranya, meremas lembut, memijat, memprovokasi. Suara desahan Beatrice semakin keras, memenuhi ruangan.
"Aku ingin kau merasakan setiap sentuhanku, Beatrice," bisik Lukas, bibirnya bergerak ke perutnya, lalu ke pinggulnya. Ia berlutut di hadapan wanita itu, matanya menatap ke atas, ke wajah Beatrice yang memerah karena gairah. Tangannya bergerak ke paha bagian dalam, membelai lembut, mendekati pusat gairah wanita itu.
"Oh, Zephyr..." Beatrice menggeliat, kakinya sedikit terbuka.
Lukas tersenyum. Ia tahu ia telah mencapai titik di mana kontrol Lady Beatrice mulai runtuh. Jari-jarinya menyentuh bulu kemaluan Beatrice, merasakan kelembapan yang sudah mulai terbentuk. Ia membelai perlahan, lalu menyelipkan satu jari ke dalam, merasakan kehangatan dan kekencangan di sana.
"Kau sudah siap untukku, milady," bisik Lukas, suaranya penuh dominasi. Ia mendengar desahan keras dari Beatrice, tubuhnya bergetar.
Ia berdiri, menatap mata Beatrice yang kini berkaca-kaca karena gairah. Ia tahu saatnya telah tiba. Lukas membuka celana kulitnya, membiarkan kejantanannya yang sudah menegang penuh keluar, membusung di hadapan Lady Beatrice.
Lady Beatrice menatapnya, matanya melebar, napasnya tersengal-sengal. Ada sedikit ketakutan, namun lebih banyak lagi gairah yang membakar.
Lukas meraih pinggul Beatrice, menariknya mendekat. Ia merasakan kehangatan dan kelembapan wanita itu menempel pada kejantanannya. Perlahan, ia mendorong masuk.
Beatrice mendesah keras, mencengkeram bahu Lukas. Sensasi itu begitu intens, begitu penuh, begitu memuaskan. Lukas bergerak perlahan, merasakan setiap inci kejantanannya masuk ke dalam tubuh Beatrice yang hangat dan basah.
"Ah... Zephyr..." Beatrice mendesah, suaranya kini lebih keras, lebih vulgar, penuh kenikmatan.
Lukas mulai bergerak, perlahan pada awalnya, lalu semakin cepat, semakin dalam. Suara desahan dan erangan Beatrice memenuhi ruangan, bercampur dengan suara kulit yang bergesekan dan tempat tidur yang berderit. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam sensasi itu, merasakan gairah yang membakar di antara mereka, sebuah koneksi yang lebih dari sekadar politik atau kekuasaan. Ini adalah dominasi yang ia berikan, dan kenikmatan yang ia rasakan.
Klimaks Gairah: Penetrasi dan Ritme yang Membakar
Dengan setiap dorongan, Lukas merasakan vagina Beatrice meremas penisnya dengan kuat, seolah ingin menyerapnya sepenuhnya. Sensasi itu begitu memabukkan, memenuhi setiap sarafnya. Ia bergerak perlahan pada awalnya, memberikan waktu bagi Beatrice untuk menyesuaikan diri, merasakan bagaimana otot-ototnya meregang, bagaimana kehangatan wanita itu membalutnya.
"Kau... kau begitu ketat, Beatrice," bisik Lukas, napasnya terengah-engah, bibirnya menyapu leher Beatrice.
Beatrice mendesah dalam, kepalanya mendongak, rambut merahnya tergerai. "Aku... aku sudah lama menunggu ini, Zephyr. Penuhi aku."
Permintaan itu, diucapkan dengan suara serak penuh gairah, memicu sesuatu dalam diri Lukas. Ia meningkatkan ritme, dorongannya kini lebih dalam, lebih bertenaga. Setiap kali penisnya meluncur masuk dan keluar, suara basah dan desahan Beatrice semakin keras.
"Ah! Lebih dalam... ya, seperti itu!" Beatrice mengerang, pinggulnya bergerak mengikuti ritme Lukas, mencari gesekan yang lebih intens. Ia mencengkeram bahu Lukas dengan kuku-kuku jarinya, meninggalkan jejak merah samar di kulitnya. Tubuhnya melengkung, punggungnya sedikit terangkat dari tempat tidur, menunjukkan betapa intensnya sensasi yang ia rasakan.
Lukas tersenyum puas. Ia tahu ini adalah seninya. Membangun gairah, mengendalikannya, lalu melepaskannya dalam ledakan yang memuaskan. Ia mulai mempercepat gerakannya, dorongan demi dorongan, semakin cepat, semakin dalam. Suara benturan kulit yang basah memenuhi ruangan, seperti irama liar yang mengiringi tarian gairah mereka. Desahan Beatrice berubah menjadi lenguhan panjang, nyaris seperti ratapan kenikmatan yang tak tertahankan.
Ia melambatkan ritme lagi, hanya untuk sesaat, membiarkan Beatrice sedikit bernapas, merasakan sensasi penuh dari penisnya yang terdiam di dalam vagina Beatrice. Lalu, dengan satu tarikan napas dalam, ia kembali mempercepat, mendorong lebih dalam, lebih kuat, mencari titik-titik sensitif yang akan membawa Beatrice ke ambang batas.
"Nghhh! Oh, Tuhan... Zephyr!" Beatrice menjerit, suaranya nyaris hilang. Tubuhnya menegang, otot-ototnya berkedut hebat, dan ia meremas penis Lukas dengan kekuatan yang luar biasa, seolah ingin menghancurkannya dalam cengkeraman orgasmenya. Getaran hebat menyapu tubuhnya, dan Lukas bisa merasakan kontraksi bergelombang di dalam vagina Beatrice, menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kenikmatan.
Lukas merasakan gelombang panas menyapu tubuhnya. Ia mendorong satu kali lagi, dalam dan kuat, merasakan kontraksi di dalam vagina Beatrice yang mengisyaratkan klimaksnya sendiri. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam sensasi itu, melepaskan semua ketegangan, semua strategi, semua intrik. Hanya ada gairah murni, koneksi antara pria dan wanita.
Mereka berdua roboh di tempat tidur, napas terengah-engah, tubuh mereka saling berpelukan, basah oleh keringat. Lukas mencium kening Beatrice, merasakan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. Ia telah berhasil. Tidak hanya memuaskan hasratnya, tetapi juga mengikat Lady Beatrice lebih dalam ke dalam jaring pengaruhnya.
26Please respect copyright.PENANAybvMBZoEHg