Memprovokasi Sarang Tawon
Udara pagi di Kastil Duskmoor terasa segar, membawa aroma tanah basah dan kayu bakar yang baru. Namun, bagi Lukas, yang kini sepenuhnya merangkul identitas Zephyr Varnholt, aroma itu bercampur dengan bau mesiu yang tak kasat mata—bau konflik yang akan segera ia picu. Dengan dukungan Lady Beatrice Veyron dan Lady Seraphina, ia tidak lagi hanya bertahan; ia akan menyerang. Duke Corvus, sang lintah darat rakus yang mengincar tanah Duskmoor, akan segera merasakan murka seorang gamer yang tak suka diganggu permainannya.
"Varkis," panggil Lukas, saat mereka meninjau barak ksatria yang kini jauh lebih rapi dan ramai. Suara denting pedang dan teriakan latihan memenuhi halaman. "Bagaimana laporan dari para pedagang kita di perbatasan selatan?"
Varkis, dengan tubuh orc-nya yang kekar, memegang gulungan perkamen. "Mereka melaporkan peningkatan aktivitas Duke Corvus, Tuan Muda. Ia mencoba memblokir jalur perdagangan kita yang baru, menaikkan pajak tol, dan mengancam para pedagang yang berani melewati wilayahnya."
Lukas menyeringai tipis. "Bagus. Itu artinya dia mulai merasakan tekanan. Sekarang, saatnya kita menekan balik."
Strategi Lukas sederhana: memotong urat nadi keuangan Duke Corvus. Ia tahu Corvus adalah pria yang digerakkan oleh keserakahan, dan tanpa uang, kekuasaannya akan runtuh.
"Kirim utusan ke semua pedagang yang berani melewati wilayah Corvus," Lukas memerintahkan. "Tawarkan mereka perlindungan penuh dari ksatria Duskmoor, dan diskon dua puluh persen untuk setiap barang yang mereka jual di pasar kita. Katakan juga, perak dari tambang Lady Seraphina akan menjadi mata uang utama di sini, stabil dan berlimpah."
Varkis mengangguk, matanya berbinar. "Itu akan membuat mereka berbondong-bondong datang, Tuan Muda. Corvus akan meradang."
"Tepat sekali," Lukas mengangguk. "Dan untuk para rentenir yang bekerja untuknya, umumkan bahwa Duskmoor akan membeli semua surat utang yang mereka pegang, dengan harga yang adil. Tapi hanya jika mereka berhenti bekerja untuk Corvus. Jika tidak, mereka akan berurusan langsung denganku."
Ini adalah pukulan telak. Lukas menggunakan kekayaan Beatrice dan perak Seraphina untuk membanjiri pasar, membuat tawaran yang tak bisa ditolak. Para pedagang, yang selama ini diperas Corvus, mulai berbondong-bondong mengalihkan rute mereka ke Duskmoor. Pasar kastil yang dulunya sepi kini ramai, dipenuhi tawa dan hiruk pikuk transaksi. Pendapatan Duskmoor melonjak drastis, dan para rentenir Corvus mulai panik, melihat sumber pendapatan mereka mengering.
Di sisi militer, Lukas juga tidak tinggal diam. Ia memerintahkan pembangunan pos-pos pengawas baru di sepanjang perbatasan Duskmoor, terutama di titik-titik strategis yang menghadap wilayah Corvus. Ksatria-ksatria yang baru dilatihnya, yang kini mengenakan zirah yang lebih baik dan membawa pedang yang lebih tajam, berpatroli dengan bangga.
"Kita tidak mencari perang," Lukas menjelaskan kepada Varkis, saat mereka mengamati para ksatria yang berlatih. "Tapi kita akan menunjukkan bahwa kita siap untuk itu. Biarkan Corvus melihat kekuatan kita, biarkan dia tahu bahwa Duskmoor yang lama sudah mati."
Suatu sore, Lukas bahkan memerintahkan latihan militer skala besar di lapangan terbuka dekat perbatasan Corvus. Ratusan ksatria berbaris dalam formasi yang rapi, tombak mereka berkilauan di bawah sinar matahari, perisai mereka membentuk dinding baja. Lukas sendiri, mengenakan zirah hitam yang dihiasi lambang Varnholt yang diperbarui, memimpin latihan itu. Ia tidak lagi canggung dengan pedang; setiap gerakannya kini penuh presisi dan kekuatan. Desas-desus tentang "Zephyr yang baru" menyebar cepat, bahkan mencapai telinga Duke Corvus.
Di bentengnya yang megah namun suram, Duke Corvus melempar gulungan perkamen ke atas meja, wajahnya merah padam karena amarah. "Tidak mungkin!" raungnya, suaranya menggelegar di seluruh ruangan. "Para pedagang itu... mereka berani membelot kepadanya? Dan para rentenir itu... mereka pengecut!"
Penasihatnya, seorang pria tua kurus dengan wajah pucat, gemetar ketakutan. "Ampun, Yang Mulia. Zephyr Varnholt... dia menawarkan harga yang tidak bisa kami tandingi. Dan perlindungan militer yang nyata. Para pedagang itu... mereka hanya mencari keuntungan."
"Keuntungan?!" Corvus menggeram, matanya melotot. "Mereka akan tahu apa artinya keuntungan ketika aku menghancurkan mereka! Dan Zephyr itu... dia bermain api!"
Corvus tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia telah menganggap Zephyr yang asli sebagai boneka yang mudah dimanipulasi. Kebangkitan Duskmoor di bawah kepemimpinan Zephyr yang baru adalah tamparan keras di wajahnya. Ia telah kehilangan pendapatan, dan yang lebih buruk, reputasinya sebagai penguasa yang tak tertandingi mulai tercoreng.
"Kirim lebih banyak rentenir!" perintah Corvus. "Peras setiap koin terakhir dari rakyatnya! Bakar ladang mereka jika perlu! Aku ingin Zephyr itu berlutut!"
Namun, kali ini berbeda. Rentenir yang dikirim Corvus disambut oleh ksatria Duskmoor yang terlatih dan bersenjata lengkap. Beberapa mencoba memeras, tetapi mereka segera diusir dengan paksa, beberapa bahkan ditangkap dan dipenjara. Ladang-ladang yang mencoba dibakar dilindungi oleh patroli ksatria yang ketat, dan para petani yang berani melawan Corvus kini merasa aman di bawah perlindungan Zephyr.
Corvus semakin frustrasi. Ia mencoba menyabotase jalur perdagangan Duskmoor, mengirim bandit untuk menyerang karavan. Tetapi Lukas, dengan pengetahuannya tentang taktik perang gerilya dan jaringan mata-mata yang mulai ia bangun (dengan bantuan Countess Isolde yang kini mulai tertarik padanya), selalu selangkah lebih maju. Para bandit Corvus seringkali jatuh ke dalam jebakan, atau dihalau oleh ksatria Duskmoor yang sigap.
"Dia bukan lagi Zephyr yang dulu," Corvus bergumam pada dirinya sendiri, menatap peta Valthoria dengan tatapan penuh kebencian. "Dia... dia seperti pemain catur yang licik. Tapi aku akan menunjukkan kepadanya siapa penguasa sejati di sini!"
Di balik intrik politik dan militer, Lukas juga mengelola "harem" -nya dengan kecerdasan yang sama. Hubungannya dengan Lady Beatrice dan Lady Seraphina bukan hanya tentang seks, tetapi juga tentang kekuatan dan informasi.
Suatu malam, di kediaman Beatrice, Lukas berbaring di sampingnya di atas ranjang sutra yang mewah. Aroma melati dan keringat bercampur di udara. Beatrice membelai dadanya, kuku-kukunya yang panjang dan terawat menggores lembut kulitnya.
"Corvus semakin putus asa, Zephyr," bisik Beatrice, suaranya serak karena gairah yang baru saja mereka bagi. "Dia mencoba mendekati beberapa bangsawan kecil di wilayah timur, menawarkan mereka konsesi tanah sebagai imbalan atas dukungan militer."
Lukas tersenyum tipis, mencium kening Beatrice. "Biarkan saja, sayangku. Semakin dia putus asa, semakin banyak kesalahan yang akan dia buat." Ia menikmati kehangatan tubuh Beatrice yang menempel padanya, merasakan payudaranya yang penuh menekan lengannya. "Apa yang mereka katakan tentangku di istana?"
Beatrice terkekeh. "Mereka menyebutmu 'Pesona Mulia' yang baru, Zephyr. Pria yang bisa menaklukkan hati wanita dan tambang perak dalam satu malam." Ia mencubit perut Lukas dengan main-main. "Tapi ada juga yang curiga. Mereka bertanya-tanya, sihir apa yang kau gunakan untuk memikat kami."
"Sihirku adalah kejujuran, kecerdasan, dan... gairah, milady," Lukas berbisik, mendekatkan bibirnya ke telinga Beatrice. Ia menjilat daun telinganya, merasakan tubuh Beatrice sedikit menggeliat. "Dan aku berjanji, gairah itu hanya untukmu dan mereka yang berani melihat potensi sejatiku."
Beatrice mendesah, memejamkan mata. "Kau memang ahli dalam memutar kata, Zephyr. Tapi aku menyukainya."
Hubungannya dengan Seraphina juga semakin dalam. Setelah malam yang penuh gairah itu, Seraphina menjadi lebih terbuka, lebih rentan di hadapan Lukas. Ia tidak lagi hanya melihat Lukas sebagai mitra bisnis, tetapi sebagai pria yang bisa membangkitkan hasrat tersembunyi dalam dirinya.
Suatu pagi, Lukas dan Seraphina sedang menunggang kuda di sekitar tambang perak. Seraphina, yang biasanya kaku dan formal, kini terlihat lebih santai, rambut pirangnya sedikit terurai oleh angin.
"Corvus mencoba mengganggu jalur pasokan kita ke ibu kota," kata Seraphina, suaranya tenang namun ada nada kemarahan di dalamnya. "Dia mengirim beberapa pengganggu untuk menakut-nakuti karavan kita."
"Jangan khawatir, milady," Lukas menjawab, menepuk punggung kuda Seraphina. "Aku sudah mengantisipasinya. Ksatria Duskmoor akan mengawal setiap karavan perakmu. Dan aku akan mengirim pesan kepada Raja, melaporkan tindakan Corvus yang merugikan ekonomi kerajaan."
Seraphina menatapnya, matanya memancarkan rasa terima kasih yang tulus. "Kau... kau selalu selangkah lebih maju, Zephyr. Aku tidak pernah merasa seaman ini sebelumnya."
Lukas tersenyum, meraih tangan Seraphina di atas pelana. "Keamananmu adalah prioritasku, Seraphina. Dan juga... kepuasanmu." Ia meremas tangannya dengan lembut, dan Seraphina membalasnya. Ikatan mereka semakin kuat, bukan hanya karena perak, tetapi karena rasa saling percaya dan gairah yang membara.
Duke Corvus, yang semakin terpojok, akhirnya memutuskan untuk melakukan langkah berani. Ia mengirim utusan resmi ke Kastil Duskmoor, membawa gulungan perkamen yang dihiasi segelnya yang megah.
"Lord Zephyr Varnholt!" suara pengumuman menggema di arena. "Anda dituduh melakukan praktik perdagangan tidak adil, manipulasi politik, dan penggunaan sihir gelap untuk memikat bangsawan wanita!"
Lukas mendengarkan dengan tenang, senyum tipis tersungging di bibirnya. Ini dia. Permainan telah dimulai.
"Terima tantangannya," Lukas berkata kepada utusan itu, suaranya jelas dan tegas. "Katakan kepada Duke Corvus, Zephyr Varnholt akan datang. Dan dia akan menyesal telah menantang takdir."
Varkis menatap Lukas dengan cemas. "Tuan Muda, ini berbahaya. Corvus adalah petarung yang kejam. Dan tuduhan sihir gelap itu... bisa menghancurkanmu."
Lukas hanya terkekeh. "Biarkan saja, Varkis. Aku sudah menanti ini. Ini bukan hanya duel pedang, ini adalah pertarungan akal. Dan aku tidak akan kalah."
Ia tahu duel ini adalah panggungnya. Kesempatan untuk menghancurkan reputasinya Corvus di hadapan seluruh bangsawan Valthoria. Lukas mulai merencanakan setiap detail, dari pakaian yang akan ia kenakan, hingga kata-kata yang akan ia ucapkan. Ia akan menggunakan setiap trik dalam bukunya—pengetahuannya tentang psikologi manusia, karismanya, dan tentu saja, sedikit sentuhan sihir Bayang Takdir yang ia sembunyikan.
Konflik dengan Duke Corvus telah mencapai puncaknya. Ini bukan lagi tentang tanah atau uang, ini tentang kehormatan, kekuasaan, dan takdir. Lukas Taran, sang gamer yang bereinkarnasi, akan menunjukkan kepada Valthoria bahwa ia adalah penguasa yang tak terduga, seorang anti-hero yang akan menulis ulang setiap halaman takdirnya sendiri.
Rahasia Tersembunyi Keluarga Varnholt
Setelah menerima tantangan duel dari Duke Corvus, pikiran Lukas tidak hanya terpaku pada strategi pertarungan. Ada kegelisahan yang lebih dalam, sebuah pertanyaan yang terus mengusik: mengapa Zephyr Varnholt yang asli ditakdirkan untuk kalah? Mengapa keluarga ini, yang dulunya kuat, jatuh begitu dalam? Ia tahu jawabannya tersembunyi dalam sihir Bayang Takdir dan kutukan yang melekat pada garis keturunan Varnholt.
Lukas kembali ke perpustakaan tua Kastil Duskmoor, yang kini lebih terawat namun masih menyimpan banyak rahasia. Ia menghabiskan berjam-jam, siang dan malam, membaca gulungan-gulungan kuno yang nyaris hancur dan buku-buku tebal yang berbau apak. Varkis, yang melihat tekad Lukas, ikut membantunya, menerjemahkan naskah-naskah orc kuno yang mungkin memiliki korelasi.
Akhirnya, di antara tumpukan manuskrip yang terlupakan, Lukas menemukan sebuah catatan yang ditulis tangan dengan tinta yang memudar, disembunyikan di balik rak buku yang tersembunyi. Catatan itu milik leluhur Varnholt yang jauh, seorang penyihir yang kuat namun terasing.
"Sihir Bayang Takdir," bisik Lukas, membaca baris-baris itu dengan mata menyipit. "Bukanlah sihir kegelapan murni, melainkan... sihir yang terdistorsi. Sebuah cerminan dari ambisi dan hasrat terdalam penggunanya. Ia mengambil bentuk dari kegelapan hati, namun akarnya adalah... sihir penciptaan."
Varkis menggeram. "Sihir penciptaan? Itu... itu sihir para dewa, Tuan Muda. Tidak mungkin."
"Itu yang tertulis di sini," Lukas menunjuk. "Leluhur kita, dalam ambisi mereka untuk menguasai takdir, mencoba memanipulasi sihir penciptaan itu. Mereka ingin membentuk kenyataan sesuai keinginan mereka, tetapi mereka tidak memahami konsekuensinya. Sihir itu berbalik melawan mereka, memutarbalikkan hasrat mereka menjadi kehancuran, dan mengikat takdir mereka pada kekalahan."
Kutukan keluarga Varnholt bukanlah kutukan yang dilemparkan oleh musuh, melainkan efek samping dari sihir yang salah digunakan. Setiap generasi Varnholt yang mencoba menggunakan sihir Bayang Takdir untuk ambisi pribadi, akan secara perlahan kehilangan diri mereka, menjadi bayangan dari diri mereka yang sebenarnya, dan pada akhirnya, ditakdirkan untuk jatuh. Zephyr yang asli, dengan segala kegelapannya, adalah korban dari kutukan ini.
"Jadi, ini bukan hanya tentang Aldric Brightblade," Lukas menyadari, suaranya pelan. "Ini tentang siklus kehancuran yang diciptakan oleh keluarga ini sendiri."
Penemuan ini mengguncang Lukas. Ia telah menggunakan sihir Bayang Takdir untuk memanipulasi, untuk memikat, untuk mendapatkan kekuasaan. Apakah ia juga akan berakhir seperti Zephyr yang asli?
"Ada cara untuk mengendalikan distorsi itu," Lukas melanjutkan membaca, menemukan baris terakhir yang nyaris tak terbaca. "Dengan keseimbangan. Hasrat harus diimbangi dengan kerendahan hati. Ambisi dengan pengorbanan. Kekuatan dengan kebijaksanaan."
Lukas menutup gulungan itu, tatapannya kini lebih dalam. Ia adalah anti-hero. Ia tidak akan meninggalkan sihir ini. Sebaliknya, ia akan menguasainya, tidak hanya untuk mengubah takdirnya, tetapi untuk memutus siklus kutukan ini. Ia akan menggunakan sihir Bayang Takdir, bukan untuk kehancuran, tetapi untuk menciptakan takdirnya sendiri, dengan caranya sendiri.
Pengetahuan ini memberinya kejelasan baru. Duel dengan Corvus bukan hanya tentang kemenangan, tetapi tentang menunjukkan bahwa ia berbeda. Ia akan menggunakan sihirnya, ya, tetapi dengan kendali, dengan tujuan yang lebih besar dari sekadar keserakahan. Ini adalah pertarungan untuk jiwa Zephyr Varnholt, dan Lukas tidak akan membiarkan kegelapan menelannya.
Hari duel tiba. Arena kehormatan di ibu kota kerajaan dipenuhi oleh bangsawan dari seluruh Valthoria. Raja duduk di singgasana megahnya, dikelilingi oleh Dewan Bangsawan. Di antara kerumunan, Lukas bisa melihat Lady Beatrice dan Lady Seraphina, duduk di antara bangsawan lain, tatapan mereka penuh dukungan dan kecemasan. Ia juga melihat sosok Aldric Brightblade, berdiri di antara para ksatria kerajaan, matanya menatap Lukas dengan intensitas yang sulit diartikan.
Lukas melangkah ke arena, mengenakan zirah hitam yang dipoles mengkilap, lambang Varnholt yang baru terukir di dadanya. Pedang panjangnya tergantung di pinggangnya, sarungnya terbuat dari kulit naga yang mewah. Ia memancarkan aura tenang, namun penuh percaya diri.
Di sisi lain arena, Duke Corvus melangkah maju, mengenakan zirah emas yang mencolok, pedang besar di tangannya. Wajahnya bengkak karena amarah, matanya memancarkan kebencian. Ia adalah pria yang terbiasa menang melalui intimidasi dan kekuatan kasar.
"Lord Zephyr Varnholt!" suara pengumuman menggema di arena. "Anda dituduh melakukan praktik perdagangan tidak adil, manipulasi politik, dan penggunaan sihir gelap untuk memikat bangsawan wanita! Bagaimana Anda menjawab tuduhan ini?"
Lukas mengangkat tangannya, suaranya jelas dan lantang, terdengar di seluruh arena. "Saya tidak menyangkal bahwa saya telah mengubah Kastil Duskmoor. Saya tidak menyangkal bahwa saya telah membangun aliansi baru. Dan saya tidak menyangkal bahwa saya telah menggunakan pesona saya untuk itu. Tapi saya menolak tuduhan sihir gelap dan manipulasi. Saya hanya menawarkan apa yang Duke Corvus tidak bisa: visi, kemakmuran, dan kehormatan."
Corvus menggeram. "Omong kosong! Kau hanya seorang penipu yang menggunakan trik kotor!"
"Cukup!" Raja menginterupsi, suaranya tegas. "Duel kehormatan ini akan memutuskan kebenaran. Biarkan pedang berbicara!"
Lukas dan Corvus saling membungkuk, lalu mengambil posisi. Corvus menyerang lebih dulu, mengayunkan pedangnya dengan kekuatan brutal, bertujuan untuk mengakhiri pertarungan dengan cepat. Lukas dengan cekatan menghindar, pedangnya menangkis serangan Corvus dengan gerakan minimal. Ia tidak ingin membuang energi; ia ingin Corvus kelelahan.
"Kau hanya bisa menghindar, Zephyr?!" Corvus mengejek, terus menyerang dengan membabi buta. "Di mana kekuatanmu yang sebenarnya?!"
Lukas tersenyum tipis. "Kekuatanku ada di sini, Duke," katanya, menunjuk pelipisnya. "Bukan hanya di otot."
Saat Corvus menyerang lagi, Lukas menggunakan pengetahuannya tentang psikologi pertarungan. Ia melihat pola serangan Corvus, memprediksi setiap gerakannya. Ia juga menggunakan sedikit sihir Bayang Takdir yang ia sembunyikan. Bukan sihir yang terlihat, melainkan sihir yang memanipulasi persepsi. Ia menciptakan ilusi samar di sekitar dirinya, membuat gerakannya tampak sedikit lebih cepat, sedikit lebih tidak terduga dari yang sebenarnya.
Corvus mulai frustrasi. Setiap serangannya meleset. Setiap kali ia mencoba menyerang, Lukas selalu berada di tempat yang tidak terduga. Keringat mulai membasahi wajah Corvus, napasnya tersengal-sengal.
"Kau... kau menggunakan sihir!" Corvus berteriak, matanya melotot.
"Saya hanya menggunakan akal sehat, Duke," Lukas menjawab, suaranya tenang. "Mungkin Anda harus mencoba hal yang sama."
Lukas mulai menyerang balik, bukan dengan kekuatan, tetapi dengan presisi. Pedangnya bergerak seperti kilat, mengincar celah-celah di zirah Corvus. Ia tidak bertujuan untuk membunuh, tetapi untuk melumpuhkan. Ia mengincar sendi, titik-titik lemah, dan bagian-bagian yang tidak terlindungi.
Corvus, yang kelelahan dan panik, mulai kehilangan fokus. Ia tersandung, dan saat itulah Lukas melihat kesempatannya. Dengan gerakan cepat, ia mengayunkan pedangnya, bukan ke tubuh Corvus, tetapi ke pedang Corvus. Dengan suara clang yang memekakkan telinga, pedang Corvus terlepas dari genggamannya, melayang di udara, dan menancap di tanah arena.
Corvus terdiam, pedangnya hilang. Ia menatap Lukas dengan mata terbelalak, tidak percaya.
Lukas mengarahkan ujung pedangnya ke leher Corvus. "Menyerah, Duke. Atau kau akan kehilangan lebih dari sekadar kehormatan."
Corvus menelan ludah, wajahnya pucat. "Aku... aku menyerah!"
Kerumunan bersorak. Raja mengangguk, terkesan.
"Duke Corvus," Raja mengumumkan, suaranya lantang. "Anda telah kalah dalam duel kehormatan. Tuduhan Anda terhadap Lord Zephyr Varnholt dinyatakan tidak berdasar. Sebagai konsekuensinya, semua klaim Anda atas tanah Duskmoor dibatalkan. Dan Anda akan membayar ganti rugi atas gangguan perdagangan yang telah Anda lakukan."
Lukas tersenyum tipis. Kemenangan ganda. Ia tidak hanya mengalahkan Corvus secara fisik, tetapi juga menghancurkan reputasinya di hadapan seluruh bangsawan Valthoria. Tuduhan sihir gelapnya tidak terbukti, dan ia muncul sebagai penguasa yang cerdas dan terhormat.
Bayangan yang Memanjang
Di tengah sorak-sorai yang memekakkan telinga, Aldric Brightblade berdiri tegak, matanya yang biru tajam terpaku pada sosok Zephyr Varnholt. Pahlawan yang ditakdirkan itu merasakan gelombang emosi yang kompleks. Kemenangan Zephyr atas Duke Corvus, seorang pria yang dikenal karena kekejaman dan intriknya, seharusnya menjadi kabar baik. Namun, ada sesuatu yang mengganggu Aldric.
Dalam "Kronik Valthoria," Zephyr Varnholt digambarkan sebagai antagonis yang lemah, kejam, dan pada akhirnya, kalah telak di tangan Aldric. Tapi pria yang baru saja ia saksikan di arena itu... itu bukan Zephyr Varnholt yang ia kenal dari ramalan. Pria itu cerdas, licik, dan memiliki aura karisma yang tak terbantahkan. Cara ia bertarung, dengan presisi mematikan dan gerakan yang nyaris tak terlihat, membuat Aldric merinding. Ilusi samar yang ia gunakan, meskipun tidak terlalu jelas, cukup untuk membuat Corvus kebingungan. Itu bukan sihir gelap yang ia harapkan, melainkan sesuatu yang lebih halus, lebih berbahaya.
"Dia berubah," gumam Aldric pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar di tengah keramaian. Tangannya tanpa sadar mencengkeram gagang pedangnya, Lightbringer, yang seharusnya menjadi alat untuk memenuhi takdir.
Aldric selalu percaya pada takdir. Ia telah berlatih tanpa lelah, mempersiapkan diri untuk menghadapi kegelapan yang diwakili Zephyr. Tapi sekarang, garis antara terang dan gelap tampak kabur. Zephyr telah membawa kemakmuran ke Duskmoor, mengalahkan penindas, dan bahkan memikat bangsawan-bangsawan berpengaruh. Apakah ini masih antagonis yang sama? Atau apakah takdir itu sendiri sedang ditulis ulang?
Kecurigaan Aldric semakin dalam. Ia telah mendengar desas-desus tentang "Pesona Mulia" yang baru, tentang bagaimana Zephyr memikat Lady Beatrice dan Lady Seraphina. Ia melihat bagaimana kedua wanita itu menatap Zephyr di arena, dengan campuran kekaguman dan gairah yang jelas. Itu bukan sekadar manipulasi politik; ada sesuatu yang lebih pribadi, lebih kuat, yang mengikat mereka. Aldric, yang selalu menjunjung tinggi kehormatan dan keadilan, merasa jijik dengan apa yang ia anggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan pesona.
"Ada sesuatu yang salah," bisik Aldric kepada salah satu ksatria kepercayaannya, Sir Kael. "Zephyr Varnholt... dia bukan yang seharusnya."
Sir Kael, seorang ksatria tua yang setia, mengerutkan kening. "Dia memang berbeda, Tuan Muda. Tapi bukankah itu hal yang baik? Dia membawa kemakmuran ke Duskmoor."
"Mungkin," jawab Aldric, matanya masih terpaku pada Zephyr yang kini dikelilingi oleh para pengagumnya. "Atau mungkin ini adalah tipuan yang lebih besar. Sihir gelap bisa mengambil banyak bentuk, Kael. Dan manipulasi pikiran adalah salah satu yang paling berbahaya."
Aldric memutuskan. Ia tidak bisa lagi hanya menunggu takdir. Ia harus bertindak. Ia akan mulai mengumpulkan lebih banyak informasi tentang Zephyr Varnholt. Ia akan mengirim mata-mata ke Duskmoor, mencoba memahami sumber kekuatan dan perubahan Zephyr. Ia akan berbicara dengan para penyihir kerajaan, mencari tahu lebih banyak tentang sihir Bayang Takdir, dan apakah ada cara untuk melawannya.
Ia juga akan meningkatkan latihannya. Jika Zephyr Varnholt yang baru adalah lawan yang lebih tangguh dari yang diramalkan, maka Aldric harus menjadi pahlawan yang lebih kuat. Ia akan mengasah kemampuan pedangnya, memperdalam pemahamannya tentang sihir cahaya, dan mencari artefak kuno yang mungkin bisa membantunya.
Konfrontasi antara pahlawan dan antagonis, yang seharusnya menjadi takdir yang jelas, kini menjadi teka-teki yang kompleks. Aldric Brightblade, sang pahlawan yang ditakdirkan, kini menyadari bahwa ia tidak hanya berhadapan dengan Zephyr Varnholt, tetapi dengan seorang pria yang mampu mengubah takdir itu sendiri. Bayangan Zephyr yang baru, yang memanjang di arena, adalah bayangan yang akan terus menghantuinya, dan mempersiapkannya untuk pertarungan yang tak terhindarkan.
Lukas, di sisi lain arena, merasakan tatapan intens Aldric. Ia tahu pahlawan itu kini lebih dari sekadar curiga. Ia tahu Aldric sedang mengamati, mempelajari, dan mempersiapkan diri. Ini adalah bagian dari permainan. Ia telah berhasil menarik perhatian pahlawan. Dan ia akan memastikan, ketika saatnya tiba, Aldric Brightblade akan menghadapi takdir yang tidak pernah ia duga.
Dinamika Internal Pasca-Duel
Kemenangan Lukas atas Duke Corvus di arena kerajaan mengirimkan gelombang kejut ke seluruh Valthoria. Reputasinya sebagai penguasa yang cerdas, kuat, dan karismatik melonjak drastis. Desas-desus tentang "Pesona Mulia" yang baru, yang mampu menaklukkan bangsawan wanita berpengaruh, kini bukan lagi bisikan, melainkan obrolan hangat di setiap pesta dan pertemuan bangsawan. Bagi Lukas, ini adalah kesempatan emas untuk memperluas jaringannya, tidak hanya melalui aliansi politik formal, tetapi juga melalui ikatan yang lebih pribadi dan intim.
Lady Beatrice dan Lady Seraphina, yang menyaksikan duel itu dengan bangga, kini semakin terikat padanya. Kemenangan ini memvalidasi kepercayaan mereka pada Lukas. Beatrice, dengan jaringannya yang luas di selatan, semakin aktif mempromosikan perdagangan dengan Duskmoor dan menyebarkan berita tentang kehebatan Zephyr. Seraphina, dengan kendali atas tambang perak, memastikan aliran dana yang stabil, dan bahkan mulai memberikan informasi intelijen tentang pergerakan bangsawan utara yang mungkin tertarik pada kekuasaan Lukas.
"Kau membuatku bangga, Zephyr," bisik Beatrice suatu malam, saat Lukas kembali ke kediamannya setelah perayaan kemenangan. Ia memeluk Lukas erat, bibirnya mencari bibir Lukas dengan gairah yang membara. "Setiap wanita di istana membicarakanmu. Mereka ingin tahu, sihir apa yang kau gunakan."
Lukas tersenyum, membalas ciumannya. "Sihirku adalah membuat mereka merasa diinginkan, milady. Dan aku akan terus melakukannya."
Namun, dinamika harem mulai menjadi lebih kompleks. Beatrice dan Seraphina, meskipun setia, adalah wanita yang kuat dan mandiri. Ada rasa persaingan yang halus di antara mereka, masing-masing ingin menjadi yang paling penting bagi Lukas. Lukas harus menyeimbangkan perhatiannya, memastikan keduanya merasa dihargai dan tidak diabaikan. Ia sering menghabiskan malam bergantian di kediaman Beatrice dan Seraphina, memberikan perhatian penuh kepada masing-masing.
"Aku tahu kau sibuk dengan politik," kata Seraphina suatu pagi, saat Lukas bersiap untuk pergi. Ia menyentuh lengan Lukas, matanya memancarkan kerinduan. "Tapi jangan lupakan aku, Zephyr. Aku juga punya kebutuhan."
Lukas mencium bibir Seraphina, merasakan manisnya. "Aku tidak akan pernah melupakanmu, milady. Kau adalah bagian penting dari kekuatanku."
Kemenangan Lukas juga menarik perhatian wanita-wanita bangsawan lain yang selama ini hanya mengamati dari jauh. Beberapa dari mereka adalah istri-istri bangsawan yang sudah menikah, terperangkap dalam pernikahan tanpa gairah atau kepentingan politik yang dingin. Mereka melihat Lukas sebagai sosok yang membebaskan, seorang pria yang berani menentang norma dan menawarkan gairah yang telah lama mereka rindukan.
Lukas, dengan reputasinya sebagai "Milf Hunter" dari dunia asalnya, melihat ini sebagai kesempatan. Istri-istri bangsawan ini seringkali memiliki akses ke informasi rahasia, jaringan pengaruh, dan bahkan sumber daya yang bisa ia manfaatkan. Dan yang lebih penting, mereka haus akan perhatian dan kenikmatan yang tidak mereka dapatkan dari suami mereka.
Target pertamanya adalah Lady Livia, istri dari Baron Von Kael, seorang bangsawan kecil yang dikenal karena kesetiaannya pada Duke Corvus. Livia adalah wanita paruh baya yang elegan, dengan mata cokelat yang selalu tampak sedih dan bibir yang jarang tersenyum. Lukas telah mengamatinya di beberapa pertemuan bangsawan; ia selalu duduk diam di samping suaminya, tanpa ekspresi, seperti patung.
Lukas mendekatinya di sebuah pesta perayaan kemenangan di ibu kota, beberapa malam setelah duel. Musik mengalun, tawa memenuhi ruangan, tetapi Livia tetap terasing, duduk sendirian di sudut.
"Lady Livia," sapa Lukas, suaranya lembut, penuh perhatian. Ia membungkuk sedikit, senyumnya hangat. "Saya melihat Anda menikmati pesta ini sendirian. Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Anda?"
Livia terkejut, matanya sedikit melebar. Ia tidak terbiasa dengan perhatian seperti itu. "Lord Zephyr... tidak, saya hanya... menikmati suasana." Suaranya terdengar kaku, seperti ia jarang berbicara.
"Saya ragu," Lukas menjawab, suaranya merendah, lebih pribadi. "Mata Anda menceritakan kisah yang berbeda, milady. Ada kesedihan di sana. Dan saya percaya, seorang wanita seindah Anda, tidak pantas merasakan kesedihan."
Livia menatapnya, ada sedikit kilatan di matanya. "Anda... Anda berani sekali, Lord Zephyr."
"Saya hanya jujur," Lukas tersenyum, menawarkan tangannya. "Izinkan saya mengantar Anda ke taman. Udara segar mungkin bisa membantu menjernihkan pikiran Anda."
Livia ragu sejenak, lalu perlahan menerima tangannya. Lukas membawanya ke taman yang sepi, jauh dari keramaian pesta. Di bawah cahaya bulan, ia berbicara dengannya, bukan tentang politik atau perang, tetapi tentang impian yang hilang, tentang gairah yang terpendam, tentang kehidupan yang tidak terpenuhi. Ia membiarkan Livia berbicara, mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan simpati yang tulus.
"Suamiku... dia hanya peduli pada tanah dan kekuasaan," bisik Livia, suaranya bergetar. "Dia tidak pernah melihatku sebagai seorang wanita. Hanya sebagai alat untuk melahirkan pewaris."
Lukas meraih tangannya, membelai punggung tangannya dengan ibu jarinya. "Itu adalah tragedi, milady. Seorang wanita seindah Anda, dengan hati yang begitu dalam, pantas mendapatkan lebih dari itu. Anda pantas dicintai, diinginkan, dan dipuja."
Livia menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Anda... Anda sungguh-sungguh?"
"Setiap kata," Lukas berbisik, mencondongkan tubuh. "Saya melihat gairah yang tersembunyi di mata Anda, Lady Livia. Gairah yang menunggu untuk dilepaskan. Dan saya ingin menjadi pria yang melepaskannya."
Lukas tidak terburu-buru. Ia tahu Livia bukan wanita yang bisa dipaksa. Ia mencium punggung tangannya, lalu perlahan mengangkat tangannya ke bibirnya, menciumnya dengan lembut. Sentuhan itu ringan, namun penuh janji. Livia sedikit tersentak, matanya memejam. Ia bisa merasakan gairah yang membara di bawah kulitnya, namun juga keraguan yang dalam.
"Saya akan meninggalkan Anda sekarang, milady," bisik Lukas, suaranya dalam dan penuh godaan. "Tetapi saya akan menunggu. Saya akan menunggu sampai Anda siap untuk merasakan kebahagiaan yang pantas Anda dapatkan."
Ia melepaskan tangan Livia, memberikan senyum tipis, lalu berbalik dan menghilang ke dalam bayangan taman. Livia berdiri terpaku, jantungnya berdebar kencang. Ia merasakan sensasi geli di punggung tangannya, di mana bibir Lukas menyentuhnya. Kata-kata Lukas, penuh janji dan pengertian, bergema di benaknya. Ia tidak pernah merasa begitu diinginkan, begitu dipahami, oleh siapa pun. Malam itu, Livia kembali ke kamarnya dengan pikiran yang gelisah, benih-benih pemberontakan dan gairah yang baru tertanam di hatinya. Ia tahu ini baru permulaan.
Target selanjutnya adalah Countess Isolde, istri dari Duke Valerius, salah satu bangsawan paling berpengaruh di Valthoria, yang dikenal karena kekayaan dan jaringan intelijennya yang luas. Isolde adalah wanita cerdas dengan mata tajam yang selalu tampak menganalisis segalanya. Lukas telah lama mengincarnya, bukan hanya karena kecantikannya, tetapi karena informasi yang bisa ia berikan.
Lukas bertemu Isolde di sebuah jamuan makan malam formal di istana, beberapa minggu setelah duelnya. Isolde, mengenakan gaun sutra gelap yang elegan, duduk di samping suaminya, Duke Valerius, seorang pria paruh baya dengan tatapan dingin dan ekspresi perhitungan. Valerius adalah pemain politik yang ulung, dan mendekati istrinya adalah risiko besar.
Lukas menunggu kesempatannya. Saat Isolde menyendiri sejenak di dekat jendela, mengamati bintang-bintang, Lukas mendekatinya.
"Countess Isolde," sapa Lukas, suaranya rendah, nyaris berbisik agar tidak menarik perhatian. "Pemandangan malam ini sungguh indah, bukan?"
Isolde menoleh, matanya yang tajam menatap Lukas. Ada sedikit kejutan di sana, tetapi ia segera menguasainya. "Lord Zephyr. Memang. Anda juga menikmati keindahan malam ini?"
"Saya menikmati keindahan dalam segala bentuknya, Countess," Lukas tersenyut tipis, matanya menatap Isolde dengan intensitas yang sama. "Dan saya tidak bisa tidak memperhatikan bahwa keindahan Anda bersinar lebih terang dari bintang-bintang itu sendiri."
Isolde terkekeh pelan, tawa yang kering. "Anda memang ahli dalam memuji, Lord Zephyr. Saya sudah mendengar desas-desus tentang itu."
"Desas-desus seringkali hanya sebagian dari kebenaran, Countess," Lukas menjawab, suaranya kini lebih dalam, lebih pribadi. "Saya lebih suka menunjukkan kebenaran itu secara langsung."
Ia tidak mencoba merayu secara langsung. Ia tahu Isolde adalah wanita yang cerdas, yang tidak akan mudah jatuh pada rayuan kosong. Ia berbicara tentang politik, tentang intrik istana, tentang informasi. Ia menunjukkan bahwa ia menghargai kecerdasannya, bukan hanya kecantikannya.
"Saya mendengar Anda memiliki jaringan mata-mata yang luar biasa, Countess," Lukas berkata, suaranya penuh kekaguman. "Itu adalah aset yang tak ternilai di zaman seperti ini."
Mata Isolde berbinar. "Memang. Pengetahuan adalah kekuatan, Lord Zephyr."
"Dan saya percaya, kita bisa berbagi kekuatan itu," Lukas mencondongkan tubuh sedikit, menatap Isolde dengan tatapan penuh makna. "Kemitraan yang akan menguntungkan kita berdua. Anda memberikan informasi, dan saya akan memberikan... apa pun yang Anda inginkan. Perlindungan. Pengaruh. Atau mungkin... gairah yang telah lama terpendam di balik tembok-tembok istana ini."
Isolde terdiam, matanya menatap Lukas dengan intensitas yang sama. Ia melihat lebih dari sekadar pria yang ingin memanfaatkan dirinya. Ia melihat seorang pria yang memahami dirinya, yang melihat kebutuhan tersembunyinnya. Suaminya, Duke Valerius, hanya melihatnya sebagai alat untuk memperluas pengaruhnya. Lukas melihatnya sebagai seorang wanita yang cerdas, dan itu adalah sesuatu yang langka.
"Saya akan mempertimbangkannya, Lord Zephyr," bisik Isolde, suaranya serak.
Lukas tersenyum, meraih tangannya, mencium punggung tangannya dengan lembut. "Saya akan menunggu, Countess. Dan saya yakin, Anda tidak akan menyesal."
Beberapa hari kemudian, Isolde mengirim pesan rahasia kepada Lukas, berisi informasi tentang pergerakan pasukan Duke Corvus yang tersisa. Ini adalah langkah pertama. Lukas tahu ia harus bersabar dengan Isolde.
Bayangan Dendam Duke Corvus
Meskipun dipermalukan di hadapan Raja dan kehilangan sebagian besar kekuasaannya, Duke Corvus bukanlah pria yang akan menyerah begitu saja. Ia mundur ke Ravensburg, bentengnya yang kini terasa lebih seperti sangkar, dipenuhi amarah yang membara dan rasa haus akan balas dendam. Reputasinya hancur, kekayaannya menyusut, dan para pengikutnya yang oportunistik mulai meninggalkannya. Namun, ia masih memiliki sisa-sisa pengaruh di kalangan bangsawan yang konservatif, yang memandang jijik pada metode "modern" Lukas dan reputasinya sebagai "Pesona Mulia" yang menaklukkan wanita.
Corvus tidak lagi mampu melancarkan serangan militer terbuka. Ia tahu itu akan menjadi bunuh diri. Sebaliknya, ia beralih ke metode yang lebih licik, lebih gelap. Ia mulai menyebarkan desas-desus busuk tentang Zephyr Varnholt di antara para bangsawan yang tidak hadir di duel, menuduhnya menggunakan sihir terlarang untuk memanipulasi pikiran wanita dan menguasai tanah. Ia mencoba menabur benih kecurigaan dan ketidakpercayaan, berharap Raja atau bangsawan lain akan berbalik melawan Lukas.
"Dia bukan manusia biasa," Corvus akan membisikkan kepada siapa pun yang mau mendengar. "Dia adalah iblis yang menyamar, menggunakan sihir Bayang Takdir untuk merusak moral dan menghancurkan tatanan lama!"
Selain itu, ia diam-diam menghubungi kelompok-kelompok bandit dan tentara bayaran yang putus asa di perbatasan, menawarkan mereka sejumlah kecil emas untuk mengganggu jalur perdagangan Duskmoor. Ia tidak lagi mampu membayar mereka secara besar-besaran, tetapi cukup untuk menciptakan gangguan dan kerugian kecil, berharap dapat mengikis kepercayaan pada keamanan yang ditawarkan Lukas.
Lukas, yang memiliki jaringan mata-mata yang semakin kuat berkat Isolde, segera mengetahui intrik-intrik Corvus. Ia tidak terkejut. Ia tahu pria seperti Corvus tidak akan pernah menerima kekalahan.
"Varkis," Lukas memerintahkan, saat ia membaca laporan dari Isolde tentang desas-desus yang disebarkan Corvus. "Kirim utusan ke setiap bangsawan yang disebutkan di sini. Undang mereka ke Duskmoor. Biarkan mereka melihat sendiri kemakmuran yang telah kita ciptakan. Biarkan mereka berbicara dengan rakyat kita, dengan para pedagang kita. Kebenaran akan membungkam kebohongan."
Untuk mengatasi gangguan bandit, Lukas tidak hanya meningkatkan patroli. Ia menggunakan Lyria, yang bakat sihir airnya semakin kuat, untuk membantu melacak pergerakan bandit di hutan. Lyria, dengan kemampuannya memanipulasi air, bisa menemukan jejak kaki di tanah basah atau merasakan aliran air di bawah tanah yang mengindikasikan persembunyian. Lukas juga memerintahkan ksatria untuk tidak hanya menghalau bandit, tetapi juga menangkap beberapa dari mereka hidup-hidup.
"Aku ingin tahu siapa yang membayar mereka," Lukas menjelaskan kepada Varkis. "Dan aku ingin mereka mengatakan itu di depan umum."
Beberapa bandit yang tertangkap dibawa ke pasar Duskmoor dan dipaksa mengaku di hadapan kerumunan. Mereka mengungkapkan bahwa Duke Corvus yang membayar mereka. Pengakuan ini, ditambah dengan bukti kemakmuran dan keamanan di Duskmoor, semakin merusak reputasi Corvus di mata rakyat jelata dan bangsawan yang netral.
Lukas juga menggunakan pengaruhnya di istana. Melalui Lady Beatrice, ia memastikan bahwa Raja menerima laporan rutin tentang kemajuan Duskmoor dan kontribusi ekonominya terhadap kerajaan. Ia juga memastikan bahwa setiap tuduhan Corvus segera dibantah dengan fakta dan bukti yang kuat.
"Corvus hanya akan menghancurkan dirinya sendiri, Zephyr," Beatrice berkata suatu kali, sambil tersenyum. "Semakin dia mencoba, semakin dia terlihat seperti orang gila."
Lukas mengangguk. "Biarkan saja, milady. Aku akan memastikan dia mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan. Bukan dengan pedang, tetapi dengan kebenaran dan waktu."
Konsekuensi jangka panjang bagi Duke Corvus adalah isolasi politik dan ekonomi yang semakin parah. Ia menjadi sosok yang terpinggirkan, amarahnya melahap dirinya sendiri. Upayanya untuk membalas dendam hanya mempercepat kejatuhannya sendiri, karena setiap tindakannya yang putus asa justru menyoroti kehebatan Lukas. Bagi Lukas, ini adalah pelajaran tentang bagaimana mengelola musuh yang kalah: jangan biarkan mereka bangkit, tetapi juga jangan buang energi untuk menghancurkan mereka sepenuhnya jika mereka bisa menghancurkan diri sendiri. Ia hanya perlu terus membangun kekuasaannya, dan bayangan Corvus akan semakin memudar.
16Please respect copyright.PENANAkuiWoTimhH