Arman pulang lebih awal hari itu, membawa sebungkus nasi uduk dari warung langganan di ujung gang. Langit Jakarta mulai kelabu, awan mendung bergulung di kejauhan, dan udara terasa lengket di kulitnya. Ia membuka pintu rumah kecil mereka, berharap melihat Zahra di ruang tamu, mungkin sedang melipat baju atau membaca Al-Qur’an seperti biasa. Tapi rumah terasa hening. Hanya suara azan Ashar dari masjid tetangga yang menyelinap masuk melalui jendela.
“Zahra?” panggil Arman, meletakkan tas kerjanya di kursi kayu yang sudah mulai goyah. Tidak ada jawaban. Ia melangkah ke dapur, berpikir mungkin istrinya sedang memasak, tapi meja dapur kosong, hanya ada piring kotor dari sarapan tadi pagi. Di kamar, ranjang mereka rapi, tak ada tanda-tanda Zahra. Arman menghela napas, mencoba menepis rasa kesal yang mulai menggerogoti. “Mungkin di majelis lagi,” gumamnya, meski ada nada getir di suaranya.
Ia duduk di sofa, membuka ponselnya, dan melihat pesan terakhir dari Zahra: Aku ke majelis dulu, Mas. Pulang sebelum Maghrib, insyaAllah. Pesan itu dikirim tiga jam lalu. Arman mengangguk kecil, mencoba meyakinkan diri bahwa ini biasa. Zahra memang semakin sering ke majelis taklim ibu-ibu sejak dua bulan terakhir, sejak tetangga mereka, Bu Nia, mengajaknya ikut. Arman tidak keberatan—malah bangga melihat istrinya semakin taat. Tapi akhir-akhir ini, ia merasa ada jarak yang tak bisa dijelaskan. Zahra seperti menjauh, bukan hanya dari sentuhannya, tapi juga dari percakapan mereka yang dulu hangat.
Di kompleks masjid dua jalan dari rumah mereka, Zahra duduk di barisan depan ruang majelis. Lantai bercorak marmer terasa dingin di bawah sajadah yang ia bawa dari rumah. Di depannya, Habib Albar berdiri, suaranya lembut namun berwibawa, mengalir seperti air yang menenangkan tapi juga membius. Ia sedang menjelaskan tentang cinta kepada Allah, tentang bagaimana hati yang suci bisa menjadi jembatan menuju surga. Zahra menunduk, jari-jarinya memainkan ujung jilbab syar’i yang kini selalu ia kenakan. Dulu, ia hanya memakai kerudung sederhana, tapi kini pakaiannya lebih tertutup, gamis panjang dengan warna-warna lembut yang menutupi seluruh lekuk tubuhnya.
“Wahai ukhti sekalian,” kata Habib Albar, matanya menyapu ruangan, “cinta sejati adalah ketika jiwa dan tubuh kita berserah sepenuhnya kepada Allah. Tubuh ini hanyalah wadah, tapi ruh di dalamnya harus selalu kita sucikan.” Zahra merasakan getaran aneh di dadanya. Suara Habib itu seolah meresap ke dalam pori-porinya, membuat bulu kuduknya berdiri. Ia mencoba fokus pada kata-kata itu, tapi pikirannya melayang ke wajah Habib—kulitnya yang cerah, janggutnya yang rapi, dan sorot matanya yang seolah bisa melihat ke dalam jiwa.
Majelis selesai menjelang Maghrib. Para ibu-ibu berhamburan keluar, beberapa berbisik tentang betapa khusyuknya ceramah hari ini. Zahra berlama-lama, membantu Bu Nia merapikan sajadah dan buku-buku kecil yang dibagikan. Saat ruangan hampir kosong, Habib Albar mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ukhti Zahra, terima kasih atas semangatnya hari ini,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan.
Zahra tersenyum malu, menunduk. “Saya yang berterima kasih, Habib. Ilmunya selalu membuat hati saya tenang.” Ia merasakan wajahnya memanas, dan ia berharap jilbabnya menyembunyikan rona merah di pipinya.
“Jika ada waktu, mungkin Ukhti bisa datang ke sesi khusus besok malam. Hanya beberapa jamaah terpilih. Kita akan membahas penyucian hati secara lebih mendalam,” kata Habib, tangannya menyentuh lengan Zahra sekilas, gerakan yang begitu cepat namun terasa seperti sengatan listrik.
Zahra mengangguk, tak mampu menolak. “InsyaAllah, Habib. Saya akan usahakan.”
Malam itu, Zahra pulang ke rumah dengan langkah ringan, tapi ada beban aneh di hatinya. Arman sudah di rumah, duduk di meja makan dengan piring nasi uduk yang sudah dingin. “Kamu lama sekali,” katanya, nada suaranya datar tapi ada nada kecewa yang terselip.
“Maaf, Mas. Tadi membantu merapikan di majelis,” jawab Zahra, menghindari tatapan Arman. Ia melepas jilbabnya, rambut panjangnya yang hitam tergerai, dan untuk sesaat, Arman teringat betapa ia dulu suka mengelus rambut itu saat mereka baru menikah. Kini, rambut itu selalu tersembunyi di balik kain.
“Zahra, kita jarang ngobrol akhir-akhir ini,” kata Arman, mencoba mencari celah untuk mendekat. “Aku kangen kamu yang dulu.”
Zahra tersenyum tipis, tapi matanya tidak bertemu dengan mata Arman. “Aku cuma ingin jadi istri yang lebih baik, Mas. Untukmu, untuk Allah.” Ia berbalik, masuk ke kamar untuk mengambil pakaian ganti, meninggalkan Arman dengan perasaan yang semakin kosong.
Di kamar mandi, saat air mengguyur tubuhnya, Zahra merasa pikirannya kacau. Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan wajah Habib Albar yang terus muncul. Tapi kemudian, ponselnya berbunyi. Ia buru-buru mengeringkan tangan dan mengambil ponsel dari atas wastafel. Sebuah pesan masuk dari nomor yang ia simpan sebagai “H. Albar.”
Ukhti Zahra, ruh dan tubuhmu adalah anugerah. Antara keduanya, ada jalan yang harus disucikan. Besok malam, datanglah. Kita akan mulai perjalanan itu. – Habib Albar
Zahra menatap pesan itu, jantungannya berdegup kencang. Ia merasa berdosa, tapi ada bagian dalam dirinya yang tersanjung, merasa istimewa. Jari-jarinya gemetar saat ia membalas: InsyaAllah, Habib. Saya akan datang.
Malam itu, setelah Arman tertidur di sampingnya, Zahra tak bisa memejamkan mata. Ia bangun pelan, mengambil sajadah dari sudut kamar, dan duduk di depan cermin kecil yang tergantung di dinding. Cahaya bulan menyelinap melalui celah-celah jendela, menyinari wajahnya yang pucat. Ia memakai gamis tipis berwarna putih yang biasa ia kenakan untuk salat malam. Kain itu menempel di kulitnya, memperlihatkan siluet payudaranya yang penuh dan pinggangnya yang ramping. Ia menatap bayangannya, merasakan getaran aneh yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Zahra menyalakan ponselnya, membuka kembali pesan dari Habib Albar. Ia membaca kata-kata itu berulang-ulang, dan tanpa sadar, tangannya mulai bergerak. Jari-jarinya menyentuh lehernya sendiri, meluncur perlahan ke bawah, ke arah dada. Payudaranya terasa hangat di bawah kain tipis, putingnya mengeras saat ia membayangkan suara Habib yang lembut, membisikkan ayat-ayat suci. Ia menutup mata, napasnya mulai tak teratur.
Tangan Zahra meluncur lebih jauh, menyentuh perutnya, lalu berhenti di antara pahanya. Jembutnya yang lebat terasa di ujung jari, dan ia merasakan kelembapan di bibir vaginanya. Ia tersentak, menyadari apa yang ia lakukan, tapi tubuhnya seolah tak mau berhenti. Ia membayangkan tangan Habib, bukan tangannya sendiri, yang menyentuhnya. Dalam imajinasinya, Habib berdiri di belakangnya, tangannya yang hangat dan kuat menjelajahi setiap inci kulitnya. Ia membayangkan penis Habib, keras dan hangat, menekan pantatnya dari belakang, sementara suara lembut itu berbisik di telinganya, “Ini adalah jalan menuju kesucian, Ukhti.”
Zahra menggigit bibirnya, mencoba menahan desahan. Jari-jarinya bergerak lebih cepat, menggosok bibir vaginanya dengan ritme yang semakin mendesak. Ia membayangkan dirinya berbaring di hadapan Habib, kakinya terbuka lebar, vaginanya terbuka dan basah, menanti sentuhan yang ia yakini sebagai bagian dari “penyucian.” Dalam imajinasinya, Habib tidak terburu-buru. Ia mencium perutnya, lidahnya menjelajahi lekuk pinggulnya, sebelum akhirnya mencium bibir vaginanya dengan penuh kelembutan. Zahra merasakan tubuhnya menegang, getaran kenikmatan menyebar dari pusat tubuhnya ke seluruh saraf.
Saat orgasme datang, Zahra menahan napas, tubuhnya gemetar hebat. Ia membuka mata, melihat bayangannya di cermin—wajahnya memerah, rambutnya sedikit acak-acakan, dan gamisnya kusut di bagian pinggul. Ia menutup wajahnya dengan tangan, rasa bersalah menyerang seperti ombak. “Astaghfirullah,” bisiknya, air mata mengalir pelan. Tapi di balik rasa bersalah itu, ada rasa lega yang aneh, seolah ia baru saja melepaskan sesuatu yang selama ini terpendam.
Ia kembali ke ranjang, berbaring di samping Arman yang masih tertidur pulas. Zahra menatap wajah suaminya, mencoba mencari kehangatan yang dulu selalu ia temukan di sana. Tapi malam itu, wajah Arman terasa asing. Pikirannya kembali ke pesan Habib, ke janji “penyucian” yang membuat jantungannya berdetak tak karuan. Ia menutup mata, mencoba tidur, tapi bayangan Habib Albar terus menari di benaknya, seperti nyala api yang tak bisa ia padamkan.
Pagi harinya, Arman bangun lebih awal untuk salat Subuh. Ia melihat Zahra sudah duduk di sajadah, tapi ada sesuatu yang berbeda. Biasanya, Zahra akan tersenyum atau mengajaknya salat berjamaah. Kali ini, ia hanya menunduk, bibirnya bergerak membaca dzikir dengan intensitas yang membuat Arman merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
“Zahra, malam ini aku pulang cepat. Kita makan malam bareng, ya?” tanya Arman, mencoba mencairkan suasana.
Zahra mengangguk tanpa menoleh. “InsyaAllah, Mas. Tapi aku mungkin harus ke majelis lagi malam ini. Ada sesi khusus.”
Arman menghela napas, mencoba menahan rasa kesal. “Lagi? Kamu nggak capek, tiap hari ke sana?”
Zahra akhirnya menatapnya, matanya penuh keyakinan. “Ini untuk kebaikan kita, Mas. Aku ingin kita berdua selamat di akhirat.”
Arman tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, mengambil tas kerjanya, dan melangkah keluar. Di dalam hatinya, ia merasa Zahra semakin jauh, seperti burung yang terbang ke langit yang tak bisa ia jangkau. Dan di balik jilbab syar’i yang kini selalu Zahra kenakan, ia tidak tahu ada rahasia yang mulai tumbuh—rahasia yang akan mengubah segalanya.
Bersambung
Telegram t.me/sprachgewandt666
96Please respect copyright.PENANAWybkURuD2q