
#1
115Please respect copyright.PENANAerRoXU3ObN
Dimas merebahkan tubuhnya yang penat di atas sofa empuk di lobi sebuah panti pijat. Lampu temaram, aroma melati bercampur kayu manis, serta suara alunan musik instrumental membuat suasana terasa seperti surga singkat setelah melewati kehidupan malam penuh hiruk-pikuk di Bali.
Pekerjaannya sebagai bartender di sebuah klub malam elite di kawasan Kuta memang melelahkan. Setiap malam Dimas menyaksikan orang-orang mabuk, tertawa tanpa makna, dan merayakan pelarian dari kenyataan dunia yang berat. Tapi malam ini, ia ingin tenang. Ia ingin memanjakan tubuhnya, lalu tidur panjang.
“Mas, silahkan ke kamar nomor tujuh,” kata resepsionis sambil tersenyum.
Dimas bangkit dari sofa, menggeliat sebentar, lalu berjalan santai menyusuri lorong sempit menuju kamar yang ditunjuk resepsionis. Lampu di lorong terlihat redup, temboknya berwarna cokelat tua dengan ornamen khas Bali.
Ketika masuk ke dalam kamar, aroma minyak pijat dan dupa langsung terasa. Ia duduk di pinggir tempat tidur dan menunggu terapis datang.
Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka perlahan. Seorang perempuan masuk dengan langkah kaki yang pelan.
“Selamat malam,” suara perempuan menyapa dengan lembut dan tenang.
Dimas seketika menoleh pelan ke arah sumber suara.
Namun kemudian ia merasa waktu seakan berhenti sejenak.
Dia memandangi perempuan itu.
Dimas seperti mengenalnya.
Mata Dimas membelalak.
Ia memastikan dia tidak salah orang.
Benar. Perempuan yang berdiri di depannya itu tak lain adalah ustadzah yang selama ini ia hormati. Sosok yang dulu kerap mengenakan gamis dan jilbab besar. Perempuan yang dikenal Dimas sebagai guru di madrasah dan juga mengajar ngaji di mushola di kampungnya. Perempuan itu dikenal pendiam di kampungnya dan merupakan istri dari almarhum om Dimas.
Kini perempuan itu berdiri di hadapan Dimas dengan seragam hitam panti pijat. Belahan dadanya terlihat sedikit. Roknya di atas lutut. Rambutnya terurai. Wajahnya dengan make-up tipis. Bibirnya dilapisi gincu warna merah dengan senyum terpaksa.
Perempuan yang dulu dilihat Dimas selalu dengan pakaian tertutup, kini terlihat sangat berbeda dengan pakaian yang lumayan terbuka ini.
“Ustadzah? Tante Salmah?” suara Dimas serak, nyaris tak keluar. Karena kaget, tak menyangka. Dimas memang kadang memanggilnya ustadzah, kadang tante.
Perempuan itu terpaku.
Mata mereka saling memandang.
Nafas perempuan itu jadi memburu. Tangannya yang tadi hendak menyalakan lampu tiba-tiba kaku.
“Dimas…?” suaranya lirih. Ia juga kaget bertemu dengan orang yang dikenalnya di kampung. Bukan hanya kenal, tapi sosok yang sangat dekat di kehidupannya.
Keduanya saling menatap dalam diam yang membingungkan.
Detik jam seolah berjalan lambat. Perempuan itu benar-benar terkejut, malu, dan bertanya-tanya dalam hatinya. Tak menyangka akan bertemu santrinya sekaligus keponakan dari mendiang suaminya.
“Apa yang… Ustadzah… lakukan di sini?” tanya Dimas.
Salmah lalu menunduk. Rahangnya mengeras. Ia menarik nafas dalam-dalam.
“Jangan panggil aku ustadzah di sini, Dimas,” katanya datar.
“Tapi… ini tempat pijat… Tante…” ucap Dimas, masih tidak percaya dengan keberadaan Salmah di hadapannya.
Salmah mengangkat wajahnya, menatap Dimas dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Aku juga bukan lagi Tante Salmah yang kau kenal dulu,” katanya pelan, tapi tajam.
Dimas duduk tidak tenang, masih setengah tak percaya. “Kenapa ustadzah bisa bekerja di tempat seperti ini?”
“Jangan panggil aku ustadzah!” ucapnya cepat, mencoba mengontrol emosinya.
“Tapi kenapa? Tante kenapa bisa sampai begini?” tanya Dimas lagi.
Bukan jawaban Salmah yang terdengar. Tapi hening yang tercipta.
Hanya suara pendingin ruangan yang terdengar menderu.
Salmah menatap ke dinding. Tangannya menggenggam ujung kain bajunya. Ia menggigit bibir, menahan bayangan masa lalu yang tiba-tiba mengganggu pikirannya.
“Karena hidup ini tidak selalu berjalan mulus, Mas,” katanya, pelan.
Dimas menatapnya, dan hatinya seperti disayat oleh ucapan Salmah.
Dimas tahu dunia kejam, tapi tak menyangka bahwa perempuan yang dulu menjadi panutan, bisa tenggelam ke lembah hitam sedalam ini.
“Tapi kenapa tante harus berada di sini? Masih banyak tempat lain yang lebih terhormat untuk Tante Salmah.” Dimas seperti masih tidak percaya.
Salmah menatapnya dengan sedikit air mata yang jatuh perlahan di pipi.
“Dimas, kamu tidak akan mengerti…”
Dimas masih penasaran. “Ceritakan kenapa tante bisa sampai di sini?”
“Tidak perlu Dimas. Kamu tidak perlu tahu ceritanya,” jawab Salmah.
Salmah masih berdiri di sudut ruangan, tubuhnya tegak tapi wajahnya penuh gejolak. Ia menyeka air mata yang sempat jatuh di pipinya, lalu menarik nafas panjang. Wajahnya kini berubah lebih tenang, lebih dingin, seperti seseorang yang sudah lama memendam luka.
Dimas yang masih duduk di pinggir ranjang, masih menatapnya lekat-lekat. Ia menunggu, berharap Salmah mau bercerita padanya. Tapi yang keluar justru ucapan yang membuat dada Dimas terasa perih.
“Dimas, kamu mau lanjut pijat atau enggak?” tanya Salmah.
Nada itu datar. Tegas. Seolah tak ingin didebat lebih jauh. Seolah Salmah menjalankan tugasnya dengan profesional sebagai terapis, dan Dimas hanya tamu di tempat pijat ini, bukan ponakannya, bukan santrinya.
“Tapi Tante….?” ucap Dimas, bingung.
Salmah kemudian menatap langsung mata Dimas. Tatapan yang dulu penuh kasih sayang, kini nampak dingin.
“Di tempat ini, kita bukan siapa-siapa. Aku bukan siapa-siapamu. Kamu juga bukan siapa-siapaku. Jadi, kalau kamu memang butuh pijat, akan saya pijat. Kalau nggak jadi, keluar saja.”
Dimas berdiri. Dadanya panas. Tapi ia mengerti, Salmah bukan benar-benar marah padanya. Ia sedang menutupi diri dari rasa malu dan kenyataan pahit yang harus ia jalani. Salmah juga mencoba menjalankan tugasnya di tempat ini.
“Aku gak mau pijat dulu, Tante,” jawabnya lirih. “Aku cuma mau tahu kenapa Tante…”
“Dan aku gak mau cerita!” potong Salmah cepat.
Hening tercipta lagi.
Dimas menunduk perlahan, bingung, merasa bersalah. Ia sekali lagi mencoba memahami Salmah meski hatinya bergemuruh.
Dalam diam, Dimas lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia tidak mau berdebat panjang dengan Salmah. Sekarang, ia harus menerima kenyataan, saat ini ia adalah tamu dan bersiap menerima pijatan dari seorang terapis.
“Buka pakaianmu, cepat!” tegas Salmah. ###
ns216.73.216.176da2