
#2
104Please respect copyright.PENANAcDUucH7V50
Dimas kembali bangkit dari tempat tidur, tapi masih ragu dengan perintah Salmah untuk membuka bajunya. Kemeja hitamnya tak segera ia lepas. Hanya bagian atas yang terbuka beberapa kancing. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya dalam bayang-bayang lampu temaram ruangan.
Salmah berdiri di sisi meja, menyiapkan minyak aromaterapi di atas nampan kayu. Wajahnya dingin. Sikapnya benar-benar seperti terapis profesional. Ia seperti tak peduli siapa yang akan dipijat. Mungkin itu cara satu-satunya bagi Salmah untuk mempersingkat pertemuan dengan Dimas.
“Jadi apa tidak?” Suaranya datar, tidak terdengar seperti sedang emosi. “Kalau nggak jadi, aku yang akan keluar.”
Dimas menelan ludah. Ia ingin bicara lagi, tapi tak ada kata yang pas keluar dari mulutnya. Bayangan sosok Salmah yang dulu dengan jilbab besar dan suara lembutnya terus muncul di kepala Dimas. Kini yang di hadapannya adalah sosok Salmah yang benar-benar berbeda. Salmah memakai baju kerja yang mini. Dimas bisa melihat belahan dada Salmah dan juga pahanya yang mulus.
“Aku cuma… nggak enak aja, Tante,” lirih Dimas akhirnya. “Aku malu....”
Salmah berhenti mengoles minyak ke tangannya. Ia menoleh perlahan, menatap mata Dimas.
“Aku bukan tantemu di sini,” ucapnya pelan namun tajam. “Di sini aku sedang bekerja. Dan kamu tamu yang harus kupijat.”
Dimas menggigit bibir pelan. Kepalanya kembali menunduk.
Salmah menggebrak meja perlahan. “Kalau kamu mau lanjut, lepas bajumu. SOP-nya seperti itu. Aku hanya melakukan tugas. Aku tidak melihat kamu sebagai ponakanku atau santriku dulu.”
Dimas mengangkat wajahnya perlahan, menatap Salmah. Sekali lagi, Ia benar-benar melihat Salmah yang berbeda. Bukan hanya fisik, tapi juga perubahan sikapnya. Kini dia bukan Salmah yang pendiam, penyabar, santun, dan lemah lembut.
Dengan gerakan pelan dan canggung, Dimas menarik sisa kancing kemejanya. Ia melepas bajunya, lalu menaruh di sisi ranjang. Ia setengah menunduk, tubuhnya kaku.
“Buka baju saja?” tanya Dimas.
Salmah menatap wajah Dimas. “Lepas celanamu juga. Tutupi dengan handuk ini.” Salmah memberikan handuk putih ke Dimas.
Ia tak percaya akan telanjang di hadapan Salmah. Ia tak mau berdebat. Pelan-pelan ia melepas celana jeans yang dipakainya. Kini hanya tersisa CD warnah hitam di tubuhnya. Dimas masih merasa malu dan gugup. Sementara Salmah tak memperhatikannya, ia kembali menyiapkan minyak untuk memijat.
Selesai melepas celananya, Dimas menutupi tubuhnya dengan handuk.
“Sekarang rebahkan badanmu di kasur. Tengkurap,” pinta Salmah.
Dimas langsung menurut. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Aroma minyak lavender mulai memenuhi udara. Suara jam dinding berdetak pelan.
Salmah mulai menyentuh tubuh Dimas, dimulai dari bahu. Tekanannya lembut namun bertenaga.
Dimas, meresapi setiap sentuhan dari tangan halus Salmah.
Sambil menikmati sentuhan Salmah, Dimas kembali teringat bagaimana dulu Salmah sebagai perempuan yang ia hormati, kini bekerja dengan cara seperti ini.
Lagi-lagi saat Ia ingin bertanya kenapa bisa berada di sini, Dimas takut Salmah marah.
Suara AC berdesis pelan di sudut langit-langit kamar kecil itu. Lampu remang-remang membuat kondisi di dalam kamar terlihat setengah kabur.
Dimas tengkurap di atas ranjang kecil yang dilapisi sprei putih.
Salmah menuangkan minyak ke telapak tangannya. Hangat. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya perlahan, lalu kini kembali menyentuh tubuh Dimas.
Sentuhannya begitu profesional, bukan asal memijat. Gerakan tangan Salmah sudah terlatih. Dari bahu, kini tangan halus Salmah turun ke sepanjang tulang belikat, lalu ke punggung, dan terus ke bawah hingga ke pinggang.
Salmah tahu, dimana dia harus menekan titik-titik lelah dan tegang dengan tekanan yang pas, tak terlalu keras, tapi bikin enak dan nyaman.
Suasana masih hening. Dimas hanya bisa menikmati pijatan Salmah. Tidak berani bersuara.
Tangan Salmah terus bekerja, sesekali terdengar bunyi sendi yang membuat Dimas menghela nafas lega. Lama-lama Dimas menikmati pijatan Salmah. Pijat refleksi ini membuatnya nyaman dan perlahan bisa melunturkan lelah dan penatnya.
Tangan Salmah kemudian berpindah ke lengan dan tangan. Semua dilakukan seperti prosedur standar, sesuai dengan pelatihan yang diterimanya.
Tapi keheningan yang terjadi di antara mereka lama-lama terasa makin dalam.
Salmah kembali menuangkan sedikit minyak ke telapak tangannya. Cahaya remang dari lampu gantung memantul di kulit lengannya yang bersih. Dimas masih berbaring tengkurap di atas ranjang, nafasnya pelan, teratur. Handuk hanya menutupi pinggang hingga pahanya.
Tanpa kata, Salmah kembali mengusap punggung Dimas.
Setelah beberapa menit berlalu dalam senyap, lalu akhirnya suara Salmah terdengar.
"Sering ke tempat pijat?" tanya Salmah dengan tenang dan datar:
Dimas tersentak kecil, diam sejenak, tak langsung menjawabnya. Suaranya seperti tertahan. Lalu ia mencoba menjawab dengan suara pelan.
"Gak... gak… Tante. Baru kali ini, karena badan capek banget," jawab Dimas.
Salmah tak peduli Dimas berbohong atau tidak.
Salmah bergumam pendek. Tangannya terus bergerak, kini menekan perlahan bagian bawah bahu Dimas.
"Hmm…" Hanya itu yang keluar dari mulut Salmah. Ia menggeser posisinya, kini memijat telapak kaki kanan Dimas.
"Tante..." Dimas mencoba mengajukan pertanyaan lagi, karena melihat Salmah yang mulai membuka obrolan kembali. Tapi suaranya agak ragu. "Tante sudah lama bekerja di sini?"
Tangan Salmah berhenti sejenak, hanya sejenak, lalu kembali memijat. Tangannya berpindah ke betis Dimas.
"Sekali lagi, kamu tidak perlu tahu soal itu."
Nada suara Salmah agak lebih tegas.
Dimas kembali terdiam. Sunyi tercipta lagi.
Ruangan itu kembali hening. Tapi tubuh Dimas terasa tambah rileks mendapatkan pijatan dari tangan Salmah yang halus. Jemari Salmah seolah meredakan lelah dan penat Dimas.
Tangan Salmah kini berpindah. Ia sedikit menyibak handuk yang menutupi paha Dimas. Salmah mulai menyentuh bagian paha atas Dimas, lalu memijatnya pelan.
Mendapat sentuhan di dekat area sensitifnya itu, tubuh Dimas jadi terasa tersengat kenikmatan. Apalagi Salmah tidak langsung memberikan tenaga yang kuat di bagian itu. Tangan halus Salmah serasa hanya membelai paha Dimas.
Dimas memejamkan mata mendapatkan sentuhan ini. Dia benar-benar menikmati sentuhan Salmah. Benar-benar bikin ia enak dan nyaman. Pelan tapi pasti, Dimas jadi terangsang dengan sentuhan yang teratur itu.
Kemudian Salmah mulai menambah tenaga pijatannya di paha kanan Dimas. Kedua tangan Salmah menekan lebih keras paha Dimas, pas di titik yang tegang. Dimas sedikit meringis kesakitan, tapi juga terasa nikmat.
Salmah kemudian berganti memijat di paha kiri Dimas. Tangannya melakukan hal yang sama, memijat titik-titik tegang di paha Dimas.
Selanjutnya, tangan Salmah merayap lebih naik, ke atas paha, mendekati pantatnya. Meski Salmah menekan bagian itu cukup keras, Dimas malah makin terangsang. Kini tangan Salmah terbagi, tangan kanan di paha kanan Dimas dan tangan kirinya di paha kiri Dimas.
Dimas kembali meringis mendapat tekanan di pahanya yang tegang. Pijatan tangan Salmah bisa memunculkan dua rasa: sakit dan nikmat yang bikin dia makin terangsang.
Selanjutnya, tangan Salmah sedikit geser, memijat paha bagian dalam Dimas. Entah di bagian itu, Dimas lebih merasakan nikmat yang berlebih daripada rasa sakit. Tekanan tangan Salmah padahal sudah keras, tapi justru Dimas tambah keenakan dan makin terangsang.
Tak berhenti di situ, tangan Salmah kini bergeser ke paha lebih atas. Tepatnya di area selangkangan Dimas. Dimas tak bisa menahan kenikmatan itu saat Salmah memijatnya dengan lembut tapi bertenaga.
“Aaaaahhhh…..” suara Dimas terdengar pelan. Antara mendesah atau kesakitan. Tapi segera ia menutup mulutnya. Karena tak sengaja terlontar suara itu.
Tangan halus Salmah terus memijat di sekitar selangkangan Dimas. Hal ini bikin Dimas terus terangsang, hingga penisnya mengeras, dan terasa mengganjal karena dirinya dalam posisi tengkurap. ###
ns216.73.216.176da2