
#3
76Please respect copyright.PENANAMymdjTDOG1
Ruang kecil itu masih sunyi. Salmah tetap menjalankan tugasnya dengan profesional. Terus memijat paha dalam Dimas hingga bikin Dimas tidak hanya rileks, tapi nikmat dan terangsang.
Tak ada suara dari Dimas. Tapi nafasnya mulai memburu pelan. Jantungnya mulai berdetak tak teratur. Sementara penisnya terasa makin mengeras, bikin dia tak nyaman, karena terasa sangat mengganjal.
"Di Bali, kamu kerja di mana?" tanya Salmah tiba-tiba, memecah sunyi. Suaranya tenang, seperti angin malam.
Dimas butuh beberapa detik untuk menjawab. "Sa… Saya jadi bartender di klub malam, tante…" ucapnya akhirnya, dengan suara nyaris berbisik.
Salmah tidak langsung bereaksi. Ia hanya bergeser sedikit, tangannya terus bergerak, memijat paha Dimas, menekan perlahan.
"Berarti... udah biasa lihat orang mabuk dan cewek-cewek seksi ya?" tanyanya lagi, kali ini terdengar datar dan penasaran.
"Iya. Udah biasa, Tante. Kadang ikut bantu mengangkat orang-orang mabuk keluar," jawab Dimas, mencoba tertawa kecil, tapi tawanya malah terdengar getir.
Salmah tak segera merespon jawaban Dimas. Ia kembali fokus memijat, tangannya kini menekan lebih kuat paha Dimas. “Aaaahhhhh….” suara Dimas kembali keluar. Entah kesakitan atau keenakan.
“Banyak cewek-cewek sampai mabuk juga?” tanya Salmah, seakan menggali informasi dari Dimas.
Dimas tersenyum miring. “Ya... namanya juga dunia malam, Usta… eh… Tante,” Ia memperbaiki panggilannya buru-buru. “Yang datang orangnya beragam.”
Salmah seakan tiba-tiba memaksa mengubah suasana menjadi cair. Tapi ia tidak mau membuat obrolan tentang masa lalunya atau masa lalu di kampung.
Salmah sadar, bagaimanapun juga Dimas adalah tamu di sini. Ia harus profesional, ia tidak boleh jutek, harus bikin Dimas nyaman dan puas dengan pelayanan di panti pijat ini.
Pijatan Salmah keluar dari paha dalam Dimas. Salmah mencari titik tegang lainnya di paha Dimas. Salmah masih bekerja dengan tenang dan profesional, seperti yang biasa ia lakukan pada tamu lainnya.
“Belajar dari mana kamu jadi bartender?” tanya Salmah, suaranya tetap lembut, namun kali ini ada rasa ingin tahunya seakan lebih dalam.
Dimas diam sejenak, menoleh sedikit ke arah Salmah, walau wajah Salmah sulit terlihat jelas dari posisinya. “Awalnya kerja cuma bantu-bantu di bar kecil, cuma ngangkat-angkat botol. Lama-lama diajarin sama yang sudah senior. Aku juga belajar sendiri, nonton video di youtube.”
Salmah mengangguk kecil, tangannya kini kembali menekan pelan paha Dimas dengan minyak pijat yang menebarkan aroma mint samar-samar.
“Kamu cepat ya belajarnya?” katanya pelan, lebih sebagai gumaman ketimbang pujian.
Dimas tertawa pendek. Ia merasa senang Salmah tidak sedingin dan sekaku sebelumnya. “Kalau soal gitu aku lebih cepat belajarnya. Tapi kalau belajar ngaji atau pelajaran di sekolah, aku bego, Tante.”
Salmah menghentikan tangannya sebentar. Ia menunduk, wajahnya sulit ditebak. Lalu ia kembali melanjutkan. Lagi-lagi Salmah malas menanggapi hal-hal yang mengingatkan masa lalunya.
Salmah tak merespon jawaban Dimas.
Lalu Salmah bicara, kali ini suaranya serak.
“Kamu minum?”
Dimas gelagapan. “Minum... air putih, iya tante.”
Salmah tersenyum tipis, akhirnya. “Maksudku, minuman keras.” Salmah menyadari Dimas masih seperti dulu: anak yang konyol. Tapi segera ia tepis ingatannya.
“Oh... kadang, tante. Tapi nggak banyak, nggak keterusan. Karena kerja di bar, jadi tidak bisa menghindari hal itu.”
“Hmmmm,” gumam Salmah, dan tak menyambung obrolan. Ia kembali fokus memijat tubuh Dimas.
Dimas sebenarnya masih ingin balik bertanya tentang Salmah kenapa bekerja di sini, ia masih masih penasaran, tapi takut Salmah terlihat marah lagi.
Dimas memejamkan mata sejenak. Ia terus menikmati pijatan Salmah di pahanya. Tapi kemudian pikirannya melayang jauh saat di kampung. Utamanya mengingat Salmah dan Omnya.
Salmah istri dari Zainal. Dimas memanggilnya Om Zainal sementara orang-orang banyak memanggilnya Ustadz Zainal.
Dimas ingat betul, Salmah dulu selalu mengenakan jilbab panjang, mengajar anak-anak mengaji di mushola kecil dekat rumahnya. Ia yang selalu bicara pelan dan lembut, tak pernah membentak, dan selalu mengusap kepala Dimas tiap kali bocah itu usil.
“Dimas, jangan nakal,” begitu kata Salmah dulu, Dimas masih mengingatnya.
Sedangkan Zainal adalah adik kandung dari ibu Dimas. Zainal adalah pria yang juga punya ilmu agama yang tinggi. Ia adalah lulusan pondok pesantren ternama. Lalu ia kembali ke kampung, untuk mengajarkan ilmunya ke anak-anak di kampung secara gratis.
Zainal punya usaha jual beli madu. Ia dikenal sebagai pria yang baik dan penyabar. Lalu kemudian ia menikahi Salmah yang juga merupakan lulusan pesantren. Salmah kemudian ikut membantu mengajar ngaji di mushola. Salmah juga menjadi guru honorer di sebuah madrasah dan Dimas sempat menjadi muridnya.
Zainal dan Salmah hidup bahagia meski dalam kesederhanaan bertahun-tahun. Namun sayangnya, Zainal tidak berumur panjang. Zainal tutup usia dan meninggalkan Salmah beserta anak-anaknya.
“Dimas… sekarang balik badan!” suara Salmah terdengar pelan, namun cukup untuk membuyarkan ingatan Dimas tentang masa lalu di kampung. Tentang Salmah dan Zainal.
Salmah sudah menghentikan pijatan di bagian paha Dimas. Ia akan lanjut memijat bagian tubuh depan Dimas.
Dimas masih terdiam sejenak. Tidak mengubah posisinya seperti permintaan Salmah. Ia masih tengkurap.
"Mas, tidak mau lanjut pijatnya?" ulang Salmah, kali ini nadanya lebih lembut.
Dimas menarik napas dalam-dalam. Dimas ragu untuk membalikan badan. Karena penisnya masih mengeras, efek pijatan Salmah yang nikmat di pahanya.
Ia malu jika Salmah mengetahuinya saat dia membalikan badan. Tapi Salmah kembali memintanya untuk berganti posisi.
Dimas pun akhirnya membalikkan badan perlahan. Ia kini dalam posisi terlentang. Dimas membetulkan handuknya, menutupi perut hingga pahanya. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan penisnya yang berdiri.
Ada sesuatu yang timbul dari balik handuk itu. Dimas benar-benar malu. Penisnya tidak bisa diajak kompromi. Matanya sejenak menatap langit-langit ruangan. Ia tidak berani menatap Salmah.
Tapi Salmah masih berada di meja, kembali menyiapkan minyak untuk pijatan selanjutnya.
Mata Dimas kemudian beralih melihat tubuh Salmah dari belakang. Lekuk tubuh Salmah terlihat jelas meski dalam remang cahaya, karena baju yang dipakainya ketat dan minim.
Dimas bisa melihat pantat Salmah yang bulat dan masih cukup padat. Lalu dalam samar-samar cahaya, Dimas juga masih bisa melihat paha mulus Salmah. Hal ini malah bikin penis Dimas makin tegang. Tonjolan di balik handuk makin terlihat jelas.
Tubuh Salmah yang dulu selalu tertutup rapat, kini Dimas bisa melihatnya di tempat ini. Tak berselang lama, Salmah membalikan badan, Dimas lalu cemas, penisnya masih berdiri.
Mata Salmah secara tak sengaja tertuju pada tonjolan di handuk yang menutupi tubuh Dimas itu. Dimas tahu Salmah melihatnya, ia tambah malu.
“Maaf tante….” lirih Dimas. Makin panik. Ia tak bisa mengendalikan penisnya supaya tidak berdiri.
Salmah hanya tersenyum dingin. ###
76Please respect copyright.PENANANl97MCgjEL
Baca kelanjutannya, klik link di profilku.76Please respect copyright.PENANAz972Q89OGf