Bani, pria muda berusia 27 tahun, sedang menikmati libur kerja saat istrinya— anak dari Bu Diana—mendapat tugas pertemuan luar kota selama tiga hari. Karena tak mungkin membawa serta Rehan, anak mereka yang masih berusia empat tahun, sang istri memutuskan menitipkannya ke ibunya, Bu Diana.
604Please respect copyright.PENANAYISaDwDJbZ
Bu Diana, meski sudah berusia 44 tahun dan menyandang status nenek, masih tampak menawan. Tubuh semoknya tetap terjaga, kulitnya bersih, dan ada sesuatu dalam cara ia berjalan, merokok diam-diam, dan menatap dengan mata tajam yang membuat pria muda mana pun bisa goyah. Malam itu, saat Rehan mulai merengek karena kangen ayahnya, Bu Diana mengirim pesan: “Ban, Rehan pengen ketemu. Kalau sempat, mampir ya...” Dan Bani pun datang.
604Please respect copyright.PENANAfLUkRun78O
Hujan turun deras malam itu. Angin menerpa lembut ke sela-sela jendela rumah Bu Diana, membawa hawa dingin yang menggigit. Jam di dinding menunjukkan pukul 21.17 WIB. Suaminya belum pulang dari warkop, seperti biasa.
604Please respect copyright.PENANAW0JSlkk7M8
Warkop itu biasanya tutup mendekati pukul 23.00 WIB. Bani datang dengan hoodie yang sudah basah, menyelip masuk ke rumah mertua yang sepi, hanya ditemani suara hujan dan tawa kecil Rehan. Dan Bu Diana menyambutnya—hanya dengan daster tipis warna hijau daun, rambut dikuncir asal, dan aroma samar rokok yang masih tertinggal di ujung lidahnya.
604Please respect copyright.PENANAofVjaVXtC1
Awalnya, semuanya tampak wajar. Obrolan ringan, tawa basa-basi, dan secangkir kopi. Tapi ketika Rehan sudah tertidur, hujan belum juga reda. Televisi mati. Lampu sempat berkedip. Suasana berubah. Di ruang tamu yang remang, hanya tersisa dua napas dewasa yang sama-sama nyaman. Daster tipis. Kulit lembap.
menarik. Satu pelukan kecil saat kilat menyambar... Bani adalah yang pertama mencoba menarik diri, gerakannya kaku. Namun, Bu Diana masih memegang erat-eratnya, seolah tak ingin melepaskannya.
604Please respect copyright.PENANA5yukrAirmZ
"Mama..." Bani berbisik, suaranya serak. Saya tidak tahu harus melanjutkan apa. Matanya mencari, mencoba membaca ekspresi mertuanya di tengah remangnya ruangan. Bu Diana akhirnya melepaskan pelukannya perlahan. Jemarinya masih menyentuh lengan Bani, mengusapnya perlahan sebelum akhirnya menarik diri sepenuhnya. Ada semburat merah di pipinya, dan matanya bertatapan langsung dengan Bani.
604Please respect copyright.PENANAv5op9tTKNY
“Maaf, Bani,” ucap Bu Diana, suaranya sedikit bergetar. "Kage tadi." Ia mencoba terdengar biasa, tapi nada suaranya terdengar jelas. Bani mengangguk kaku. "Iya, Ma... Saya juga kaget." Ia bergeser sedikit, menciptakan jarak di antara mereka, namun matanya tak bisa lepas dari Bu Diana.
604Please respect copyright.PENANACmrUmhOulx
Daster tipis itu, kulit lembap yang baru saja ia rasakan, dan aroma rokok yang kini bercampur dengan aroma tubuh Bu Diana, semuanya terasa begitu pekat. Keheningan kembali bermasalah. Hujan di luar masih menderu, seolah ikut menenggelamkan kecanggungan mereka.
604Please respect copyright.PENANApKQ8W3eQUz
“Rehan sudah tidur pulas,” Bu Diana mencoba mengalihkan pembicaraan, suaranya lebih pelan dari biasanya. Ia menunjuk ke arah kamar tempat Rehan terlelap. "Iya, syukurlah," jawab Bani, masih merasa kikuk. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Mungkin sebaiknya saya… pulang saja, Ma. Kasihan Mam
604Please respect copyright.PENANALMsEReUTOF