sendirian kalau sudah malam begini." Ia mencoba bangkit, tapi kakinya terasa berat. Bu Diana tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Bani, menyampaikan yang sulit diartikan. Ada keraguan di matanya, juga sesuatu yang lain—sesuatu yang membakar dan terasa berbahaya.
564Please respect copyright.PENANAOzAHlRL51o
"Hujan masih deras, Bani," kata Bu Diana akhirnya, nada suaranya kini lebih lembut, hampir seperti bujukan. "Nanti kamu sakit. Nunggu reda sebentar lagi, ya?" Bani ludah. Ia tahu itu hanya alasan. Hujan memang deras, tapi bukan alasan utama untuk tetap tinggal. Keinginan lain yang lebih kuat kini muncul dalam pemikiran, keinginan yang mengarahkan namun sulit diubah.
564Please respect copyright.PENANApt5kRfdtVw
Ia melirik Bu Diana yang duduk, sedikit menunduk, namun aura menariknya tak bisa mengamati. "..." Bani mencoba memprotes, namun suara tercekat. Ia melihat antara etika dan akhirnya. Bu Diana mengangkatnya, akhirnya kini lebih tajam, yang. Senyum tipis terukir di. "Atau... kamu ingin, Bani?" Pertanyaan itu menggantung di udara, penuh makna.
564Please respect copyright.PENANAOIqCpQTROY
Bani menatap mata Bu Diana, dan dalam kegelapan remang itu, ia tahu bahwa malam itu, batas-batas akan segera melebur. “Ditemani bagaimana maksudnya, Ma?” Bani bertanya, suara tercekat, sebagian dari dirinya berharap ia salah mendengar atau salah memahaminya.
564Please respect copyright.PENANADi9NXRoODo
Ia hanya mengetuk duduknya, semakin merapat ke arah Bani di sofa. menciptakan desiran samar yang terasa begitu keras dalam keheningan.
564Please respect copyright.PENANAD22ESQlAwX
Aroma samar rokok yang tadi menguar, kini bercampur dengan wangi tubuh Bu Diana yang menggoda, menyeruak masuk ke Indra Bani, memabukkan. Bu Diana mendongak, menatap Bani lurus di mata. Ada kilatan nakal di sana, sebuah janji tersirat yang membuat jantung Bani berdegup kencang.
564Please respect copyright.PENANA091OFy9WTp
Ia mengulurkan tangannya secara perlahan, menyentuh paha Bani yang terbalut celana. Sentuhannya ringan, namun terasa seperti sengatan listrik. Dalam hati Bani, peperangan berkecamuk. "Goblok, goblok, Bani! Mertua lo menggoda bener! Aahhh sial!" batinnya menjerit. Pikiran untuk menolak dan pergi dengan hasrat yang tiba-tiba menggebu. Bu Diana tersenyum tipis, senyum yang mematikan.
564Please respect copyright.PENANA4aqK6wuK5c
Jemarinya mulai mengusap paha Bani secara perlahan, naik turun, setiap sentuhan seolah membakar kulit. “Menurutmu… bagaimana, Bani?” bisiknya, suaranya serak, penuh godaan. Matanya tak lepas dari Bani, menantang, mengundang. Aura yang terpancar darinya begitu kuat, menghipnotis, membuat Bani merasa semakin sulit untuk berpikir jernih.
564Please respect copyright.PENANAjXDhJ8rFYJ
Hujan di luar masih menderu, seolah menjadi latar musik untuk ketegangan yang memuncak di ruangan itu. Bani menelan ludah, memulainya di bibir Bu Diana yang sedikit terbuka. Ia tahu, satu sentuhan lagi, satu godaan lagi, dan ia akan jatuh. Akal Bani memang sudah hilang terbawa godaan Bu Diana.
564Please respect copyright.PENANAbsUzyjkzUw
Sentuhan lembut jemari Bu Diana di pahanya adalah pemicu terakhir. Ia bisa merasakan aliran panas menyebar di tubuhnya, menenggelamkan semua pertimbangan etika dan status mertua-menantu. "Mama..." Bani berdesir, suaranya kini tak lagi gugup, justru penuh hasrat yang terpendam. Ia tidak menarik diri dari sentuhan Bu Diana. Sebaliknya, ia sedikit menggerakkan kakinya, membiarkan jemari Bu Diana mengusap lebih dalam.
ns216.73.216.238da2