Ren dan Sistine yang semakin kesal, berjalan terburu – buru keluar dari garasi mengarah kembali menuju aspal. Sedangkan Grunt berjalan di belakangnya berusaha menghalang – halangi Cake dan Bibi Mildsven yang mencoba mengikuti dua temannya.
“Tunggu sebentar, tidakkah anda bertiga terlalu tergesa – gesa menyimpulkan sesuatu?” Cake berjalan cepat mengikuti tempo mereka, seolah kata – katanya ditujukan untuk meyakinkan Ren. Tangan Cake diulurkan untuk hinggap di pundak Ren.
Masalahnya, Grunt dengan sekuat tenaga mencegah tangan Cake. “Kami yakin sekali isi kertas itu telah memberikan kesimpulan, Mr. Cake.”
“Bukan kertas itu. Tapi perilaku kalian bertiga saat ini. Katakanlah jika penulis itu telah menuliskan pesan lalu anda bertingkah ceroboh seperti ini, bukannya anda seharusnya sadar kalau dia pemenangnya?” kata Cake mencoba meyakinkan mereka.
Tiga orang itu telah di ujung pekarangan, hendak mengikuti jejak aspal yang ditemani pagar rumput.
“Dengan ban mobil yang telah bocor? Sinyal yang tiba – tiba putus? Dia terang – terangan mengatakan kalau ingin menjebak kami di tempat itu!” Sistine menyentak, berpaling ke belakang.
“Atau,” Cake ngos – ngosan, sambil terus membujuk mereka. “Kalian digiring keluar dan dibawa oleh beberapa mobil dengan orang – orang yang bersenjata!”
Dan benar saja…,
Ren yang diposisi paling depan, tiba – tiba berhenti pada ujung jalan, lekas menunduk pada rumput – rumput yang terakhir.
Dua mobil van hitam melintas pelan lalu berhenti. Masing – masing dua mobil keluarlah dua orang. Masing – masing orang dilengkapi senjata api pistol berperedam. Sialnya, tampak sang sopir melihat Ren lebih dulu. Karena itu pergerakan empat orang lengkap memakai masker penuh penutup wajah menyisakan sepasang mata tajamnya, tanpa ragu – ragu menuju bergerak mengarah pada Ren.
Tanpa Cake memerintah, Ren langsung berbalik arah menunduk berhati – hati. Kata – kata Cake terbukti benar, mereka sepenuhnya terpaksa menurut. Kini posisi mereka berbalik, bukannya Ren tapi Cake adalah pemimpin jalan.
“Lewat sini!” perintah Cake sebelum menginjak pekarangan luas melompong tanpa perlindungan, mereka berbelok ke pinggiran memanfaatkan pepohonan dan rumput – rumput. Cake berhenti sejenak, menelisik dari balik semak – semak. Untungnya empat orang itu mengambil arah yang sebaliknya.
Cake memanfaatkan jalur rumput, berjalan hati - hati memutar hingga menuju belakang garasi dalam beberapa menit.
Kini mereka berhenti tepat di belakang garasi, mengatur nafas, dan kelesotan duduk di tanah melepas penat.
“Si-siapa mereka? Saya harus memberi kabar orang dalam!” tanya Bibi Mildsven kebingungan. Saat ia hendak ingin masuk lewat depan, Cake lebih dulu meraih pundaknya untuk menghentikannya dari perbuatan ceroboh.
“Itu bukanlah tindakan yang bijak, terutama wanita veteran seperti anda, Madame Mildsven,” kata Cake menasehati. Ia kemudian berpaling bergantian pada tiga orang itu yang tampangnya lelah bercampur putus asa. “Sekarang anda baru mengerti. Padahal sebaiknya memetik nasehat lebih awal, tentu memberikan kita semua pada kondisi yang lebih menguntungkan,”
“Sudah saya bilang, kami tidak punya pilihan! Atau apakah itu terlihat kami punya pilihan?” protes Ren. Manik mata Ren berkaca – kaca berbalik memandang tajam, berkesan memang tidak punya pilihan lain.
Sebenarnya telinga Cake tidak ingin mendengar alasan klise, daripada mengikuti percakapan yang tidak kunjung dimenangkan, otak keranya segera diputar.
“Saya akan jadi umpan, tolong Bibi Mildsven pandu mereka masuk ke dalam!” Cake memberi arahan.
Grunt dengan spontan hendak memprotes ingin ikut dengannya, namun Cake lebih dulu menolak. Cake terlanjur sebal dan tidak ingin diganggu dengan usulan bodoh dan tidak matang.
“Apa rencana anda, Mr. Cake?” tanya Bibi Mildsven, cenderung khawatir.
“Menerobos semak – semak yang kita lewati tadi, membuat sedikit ancaman pada dua mobil mereka. Seketika temannya di dalam mobil akan memberi peringatan dan menarik empat orang itu kembali. Kalian hanya masuk ketika empat orang itu melewati pekarangan dan melaju mundur,”
Cake tanpa berlama – lama, mengambil inisiasi dan pergi menjadi umpan.
***
Peluh membasahi dahi turun dengan cepat membasahi dagu, secepat air dingin dispenser yang dituang pada gelas setengah liter milik Cake. Siang itu panasnya memang membakar meski bukan karena alasan itu peluh Ren terus berjatuhan. Tiga mahasiswa itu memang terbukti gegabah melanggar nasehat Cake. Wajah mereka muram diiringi rasa bersalah, meski kondisinya sekarang tak banyak berubah. Bingung dan harus memikirkan bagaimana selanjutnya mereka melangkah.
Apa yang harus kulakukan? Ren menggedor – nggedor pintu pikirannya berulang kali.
Kini mereka berkumpul tanpa percakapan ringan setelah makan siang meski Lady De Polcester yang tadi pagi sempat kelepasan, untuk sementara dicadangkan dari pemain utama. Generator gerigi pada isi kepala Cake, seakan menyuruh otak keranya memikirkan ide lain. Meski dalam pertaruhan yang agak kurang menguntungkan dimenangkan, entah bagaimana biji pahit menghasilkan buah manis. Cake masih saja mengerutkan keningnya. Kini tidak hanya Cake, semua orang dilanda kebingungan, khawatir, dan rasa takut yang dinamai wabah panik.
“Aku bisa… berjaga – jaga di luar kalau… dibutuhkan,” Agnes memberi saran. Selain semua orang, hanya Agnes yang sedikitpun tak merasa tertekan. Bibirnya mengucap ringan meski mengandung tanggung jawab yang sangat berat.
“Lapor polisi jatuhnya akan lebih baik, kalau – kalau sinyalnya tidak terganggu. Atau peruntungan bersembunyi di semak – semak menunggu taksi,” kata Ren sambil mengangguk kecil, meski dirinya tak terlalu yakin. Resiko terburuknya adalah tak ada satupun taksi yang lewat, sebagai gantinya tidak diketahui kapan komplotan para penculik bersenjata itu kembali.
“Madame, apakah di rumah ini tak ada sesuatu yang bisa dipakai untuk pertahanan terakhir? Apapun wujudnya masih lebih baik daripada tidak sama sekali.” Cake beranjak dari meja makan dan hilir mudik di sekitar dengan gelisah. Menandakan pabrik dalam otak Cake sedang mengepulkan asapnya.
Sesaat tampak Cake memberi secercah harapan.
“Untuk pertahanan kami hanya pakai senjata,” balas Bibi Mildsven yang melempar keras menghantam otak kera Cake kembali bingung.
Harapan itu awalnya melambung tinggi, kemudian terjatuh hingga ke paling dasar. Bahkan Cake sampai mengacak – acak rambutnya yang memang sudah acak natural, mengeluarkan sedikit rasa frustasi.
“Itu bisa apapun! Misalnya kardus, tali, lem, kawat, kabel apapun itu! Kedus tak terpakai bahkan bisa membantu!”
“Well, kalau itu… kami ada beberapa. Kawat, tali, kardus, kayu – kayu yang telah dipotong… harusnya ada. Anda punya rencana dengan barang – barang itu?”
Cake berhenti dan kembali duduk.
“Saya punya satu rencana. Rencana ini bisa gagal, tapi dengan persentase yang rendah. Anggap saja dua puluh persen,” seru Cake. Ia mengambil gelas kecil tak bergagang dan ditaruhnya telungkup.
Kemudian ia menumpuk gelas itu dengan gelas yang sama. “Tapi rencana ini harus berjalan di atas rencana lain. Kita butuh pengalihan dan sedikit kamuflase. Karena itu saya berencana untuk mengisi sekitar pekarangan dengan sesuatu, semacam barikade. Yang terpenting menutupi wilayah pandang mata orang pada umumnya,”
“Ah, kami punya kanvas yang telah terpakai mungkin bisa digunakan untuk rencana itu?” Ren memalingkan pada kedua temannya itu. Ren tahu kalau temannya sedikit keberatan. Meski tidak punya pilihan lain karena saat ini nyawalah yang lebih penting.
“Apa yang kita lakukan dengan pengalihan?” Pertanyaan Grunt mewakili tanda tanya seluruh isi kepala insan yang menyimak.
“Berdasarkan informasi dari koran atau nona reporter, penculikan selalu menggunakan dua prinsip, salah satunya prinsip menghindar dari keramaian. Bila itu tidak malam, maka bisa dilakukan di pagi hari. Kenapa pagi? Karena lebih awal dari aktivitas transportasi umum atau objek wisata yang biasa dimulai lebih siang. Mengambil aturan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa penculikan mustahil dilancarkan di waktu sore atau siang hari. Setelah kejadian mereka tadi banyak kesalahan, saya yakin mereka akan melancarkan serangan nanti malam lebih totalitas. Karena itu, mumpung ada waktu lebih baik melakukan persiapan,” jelas Cake, sambil berpaling bergantian pada seluruh insan.
Mereka berpikir dalam beberapa menit, hingga pada akhirnya Agnes mengangguk duluan.
“Well… tak terlalu buruk. Tapi… apa dibalik tujuan… dari rencana ini…?”
Respon Agnes membawa sedikit minat para insan di sana untuk sepakat. Setidaknya sebelum membalas lebih lanjut, Cake memperhatikan semua roman muka setiap orang yang mendengarnya. Berpaling bergantian sampai dua kali dengan tatapan serius, Cake menghempaskan nafasnya dengan lega.
“Ucapkan halo pada strategi benteng kosong dan gerilya,” seru Cake.
ns216.73.216.237da2