(Untuk pengaturan di hari kedua, kedua mata ini harus dibuka dengan teliti dan tidak dalam kondisi mengantuk. Sebelumnya, saya sempat menanyakan tentang koleksi kain itu. Baik yang tertutup dalam dua rak kaca dekat lorong menghubungkan dapur dan ruang makan, maupun yang terbuka dan bisa disentuh.)
(Kainnya sangat lembut dan bernilai estetik yang tinggi. Bahkan otak kera saya yang anti barang mahal, alarmnya berbunyi. Kain itu dilipat simetris berwarna biru tua dengan motif bunga - bunga berwarna emas, bertumpuk dengan kain yang lebih tebal warna hitam. Atau itu mungkin telah dikatakan, Tapi saya yang lemah pengetahuan dalam kebudayaan negara lain sempat berpikir itu hanya kain sebelum Lady De Polcester menunjukkan kerahnya.)
“Kain apa ini, Madame De Polcester? Dan kenapa tidak berada di dalam rak bersama teman – temannya?” tanya Cake, yang sebenarnya hendak diajukan saat pertama kali datang ke vila ini. Vila itu memang lebar namun tampak agak kosong sehingga kain ini lebih menyita banyak perhatian.
“Ini bukan sekedar kain, tapi pakaian. Namanya Kimono. Shio pernah mengajak saya ke kampung halamannya, di Jepang. Sebenarnya kain ini cocok dipakai saat festival atau pertemuan formal, tapi dia bilang khusus untukku harus memakainya setiap hari.” Lady De Polcester memegang kain biru itu lalu membalik lipatan tersebut, manik matanya berkilauan dan bibir tersenyum tipis. Dari balik lipatan tersebut terdapat kerah yang lebar dan lembut. Kemudian ia memegang kain yang hitam agak tebal. “Yang ini adalah Obi. Semacam sabuk membelit kimono. Saya menaruh di sini untuk alasan tertentu…,”
(Saat kain itu dibalikkan ke depan, saya bisa melihatnya. Itu menjelaskan mengapa ia memakai pakaian one dress mirip mantel.)
(Kain yang disebutnya sebagai Kimono, warna biru dengan motif bunga emas itu sebenarnya mereka pesan khusus di pengrajin daerah Kyoto. Memesan tiga ukuran, dirinya, suaminya serta untuk ukuran anak usia sepuluh tahun. Bagaimanapun juga, Lady De Polcester berharap saat Mademoiselle Ren menginjakkan kaki di vila ini setidaknya akan terpintas pada pikirannya bahwa pernah melihat kain yang sama. Saya berpikir itu bisa jadi rencana tambahan. Inilah mengapa saya merencanakan untuk hari pertama sebaiknya makan di kamar masing – masing.)
(Kemudian… saya menempuh rute yang sama saat hendak pergi ke hutan. Perbedaannya saya tidak masuk ke hutan, melainkan garasi yang ditempatkan di belakang vila. Saya meminta Agnes untuk tidak sekedar menemani, tapi menjadi petunjuk bagi otak kera saya.)
(Ruangan itu gelap dan sangat minim cahaya. Berbentuk persegi panjang, dan menyimpan beberapa perabotan. Agnes mengatakan bahwa separuhnya dibuat untuk gudang, tapi sungguh agak memalukan tak ada pintu penghubung vila utama.)
(Terdapat rak – rak yang menyimpan perlengkapan baru dan bekas untuk mobil. Seperti wadah oli, bekas aki, dan lain semacamnya. Ada juga bungkus – bungkus dan beberapa kayu bakar. Barang rongsokkan itu rencananya untuk membuat sesuatu yang absurd. Komponen tersebut sangat mendukung menjadikan tempat ini benar – benar seperti vila berhantu.)
(Terdapat dua lemari yang menyimpan peralatan standar. Seperti palu, gunting rumput, kapak, gergaji dan sebagainya. Yang menjadikan menarik adalah di antara dua lemari itu terdapat dua bingkai yang ditempati dua senjata berbeda.)
“Kenapa dua benda ini ditempatkan di sini, Agnes?” Cake meraba salah satunya bermoncong panjang dan mempunyai pelatuk. Ditariknya badan besi hitam itu dari bingkai hingga Cake bisa memeriksa lebih lanjut.
“Beruang…,” balasnya singkat. Ia bahkan memutar bola matanya berlawanan, mengalihkan pandangannya dari Cake.
(Bila mengenal lama seseorang, kadang saya tak perlu mendengar jawaban dari bibirnya. Terutama Agnes, bila sudah begitu saya yakin untuk hal lain. Lagipula, beruang masih berjarak sekitar 4 km lebih. Atau yang lebih berbahaya dari beruang.)
(Shotgun Remington Versa Max, jenis semi otomatis, peluru 12 gauge. Menurut Agnes itu adalah pilihan terbaik yang sesuai dengan lisensi hukum selain shotgun milik Lady De Polcester yang berada di kamarnya untuk perlindungan, Baretta Vittoria A400. Saya yakin, mereka berdua akan masuk ke dalam rencana ini.)
Cake kemudian menempatkan kembali senapan api itu, lalu beralih pada bingkai lainnya. Hampir sama panjangnya dengan sebelumnya. Daripada moncong senapan, itu terlihat seperti bilang pedang yang sarungnya berwarna mirip kimono sebelumnya. Biru tua dengan ukiran naga berwarna emas.)
“Dan pedang ini, Agnes?”
“Ah, yang satu itu… sangat unik dan mahal…. Tidak ada… satupun dari kami… yang bisa pakai, selain sarungnya dibuka lalu… bilahnya diayunkan,”
(Saya berpendapat bahwa benda itu peninggalan suami Lady De Polcester yang dibeli di Jepang. Saya tidak akan menyentuhnya. Benda itu elegan, tampak seperti gadis pendiam yang anggun dan misterius. Ringan dan lembut saat digenggam, hampir mirip mengenggam tangan wanita. Namun saat sarungnya terbuka, saya bisa tahu bahwa kilatan baja itu mampu memotong siapapun dan apapun saat diayunkan walau sekedar ramah. Terlalu berbahaya, terlalu beresiko.)
(Dari pintu garasi, tinggal belok kanan sedikit pas tembok, kotak logam balok yang berpintu, sebuah generator listrik. Tidak afdol memang bila bangunan semegah itu tanpa dukungan generator.)
(Inilah mengapa saat di gudang mata saya harus dibuka lebar – lebar. Selain gelap, terdapat detil kecil yang menguji ketelitian para insan. Ada satu kabel menempel pada generator yang bentuknya mencurigakan. Spiral mirip kabel pesawat telepon. Memanjang berakhir di bagian atas generator dan tertanam pada tembok. Saat diperhatikan lagi, tembok tersebut berlubang kotak menyesuaikan bentuk sebuah adapter yang ternyata satu badan dengan kabel spiral itu. Terdapat satu lampu indikator berkalip warna biru.)
“Apa kita berpikiran sama? Kenapa ada alat semacam ini, Agnes?” tanya Cake, menatap curiga.
“Jangan melihatku seperi itu…. Ini termasuk rencana Fogarty.” Agnes lagi – lagi enggan menjawab dan buang muka.
“Lalu di mana otak perangkat remotnya?” tanya Cake heran. Agnes mengeluarkan benda tersebut dari saku appronnya.
(Kemudian Agnes menggiring saya pada menuju pintu garasi. Ia menunjuk salah satu pohon tinggi dekat garasi. Saya tidak akan pernah sadar bila Agnes tidak memberi tahu hal ini. Di pohon itu, terdapat rumah pohon yang tampak dipenuhi jerami.)
(Tanpa berlama – lama, saya meminta Agnes mengambilkan tangga. Mencari kebenaran tidak harus lewat mulut seseorang, lebih konkretnya saya pastikan dengan mata kepala saya sendiri. Dengan tangga lipat logam itu, saya memanjat perlahan pada pohon tersebut. Hingga sampai puncakya, saya menyeka dan menyampingkan jerami yang bergerombol mengkamuflase sesuatu. Kecurigaan saya tidak terbukti salah.)
(Benda balok tipis berwarna hitam dengan lampu – lampu kecil warna biru, terdapat antena pendek kurang lebih sembilan buah. Saya menggeleng heran kenapa alat ini dipasang dan disembunyikan. Karena otak kera saya telah menerima informasi yang konkret, saya segera turun.)
(Tidak ada yang lebih menakutkan dari kehilangan sinyal telepon dan internet. Terisolasi memang situasi yang mengkerucut, itulah yang dilakukan alat itu. Alat pembajak sinyal. Saya pasti gunakan itu dalam rencana. Ini adalah serpihan terakhir, mengingat otak kera ini telah menyimpulkan sebelumnya apa yang akan dilakukan oleh mobil itu.)
(Setelah semuanya siap, saya menginstruksikan semua orang untuk kembali ke kursi panas. Sembari mengcek progress pamflet yang seharusnya selesai, saya hendak memberitahukan hal lain.)
Malam hari yang tak berangin, tenang tanpa keambiguan. Cake telah melontarkan opininya, bahwa ini adalah diskusi kursi panas yang final. Skenario Cake telah mencapai puncak. Lalu Cake mengutarakan langkah selanjutnya. Tentu tidak berjalan mulus pada awalnya.
“Apa!? Setelah semua ini anda masih perlu beberapa orang lagi? Terus terang saya terlalu tinggi menilai anda, Mr. Cake!” protes Lady De Polcester.
“Anda tidak perlu cemas, Madame De Polcester. Tanpa mereka, keselamatan kita dan target tidak terjamin. Saya yang akan bertanggung jawab,” tambah Cake berpaling pada Agnes. “Selain itu, aku ingin minta tolong padamu, Agnes.”
ns216.73.216.215da2