Mereka berhenti tepat di depan ruang tamu. Terlihat seorang wanita berambut hitam beruban, dikuncir praktis dan lebih muda dari enam puluh tahun. Memakai dress gelap, duduk di kursi goyang dekat perapian yang menyala, sambil menjahit.
“Permisi, Lady De Polcester, saya membawa beberapa tamu,” ucap wanita lansia itu sopan, sambil membungkuk.
Semua orang satu per satu memperkenalkan diri pada sang tuan rumah, seakan persis situasi wawancara pekerjaan.
Wanita itu hanya diam saja, bermuka kosong sama seperti wanita muda bernama Agnes tadi. Namun mata Ren yang hitam dengan pupil besar, kepalanya menoleh sedikit, melirik satu – persatu insan yang baru ditemuinya. Rasa khawatir timbul di dalam benak Ren, saat matanya melotot hanya pada dirinya. Ia teringat akan film – film horror, seolah mata melototnya itu berubah hitam gelap tak berdasar lalu mencekiknya tanpa ampun.
Namun pikiran aneh Ren, tidak terjadi. Bola mata wanita itu kemudian mengecil kembali di posisinya semula, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.
“Terima kasih, milady.” Wanita lansia itu menggiring gerombolan empat orang untuk menaiki tangga di sebelah kiri. Namun, tentu saja meninggalkan beberapa pertanyaan di benak mereka.
Sesaat Ren menoleh, wanita bernama Agnes itu berada di paling belakang ikut mengantar mereka tanpa menunjukkan kehadirannya. Mereka berjalan di lorong yang memuat beberapa kamar. Wanita lansia itu membagikan empat kunci.
“Terima kasih, madame. Tapi tampaknya Lady De Polcester tidak senang dengan kehadiran kami?” tanya pria necis itu mewakili pertanyaan Ren, Sistine dan Grunt.
“Tidak sama sekali! Beliau memang seperti itu. Kalau – kalau beliau menolak responnya pasti berbeda,” balasnya sederhana. Tangannya menepuk pelan. “Ah, bila anda minta bantuan bisa panggil Agnes atau saya, Mildsven,”
Mildsven menjelaskan bahwa mereka bisa menggunakan kamar mandi hanya di lantai satu, tempat makan ada di bawah dan diizinkan merokok hanya di luar ruangan, termasuk teras.
“Baik, kami permisi dulu.” Mildsven dan Agnes membungkuk ala pembantu bangsawan, lalu pergi.
Keempat orang itu memeriksa kunci tersebut. Kunci itu terukir nomor yang sesuai nomor pintu tersebut. Setelah mendapat kunci, Grunt tak segan – segan menaruh kedua tas yang memberatkan pundak dan lengannya.
“Entahlah, aku tak terlalu paham. Yang jelas, aku mau mandi dulu sebelum tidur!” kata Grunt bersemangat, seolah lampu yang mati lalu mengeluarkan cahaya redup. Ia adalah orang yang paling santai dan tidak ambil pusing. Rasa semangat Grunt rupanya menular pada Sistine.
Pria necis itu membalas senyuman pada Grunt. Sebelum memasukkan kunci pada lubang pintu kamarnya, ia mengangkat topi bowler hitamnya, menyapa singkat.
“Anu, sir…?” tanya Ren yang menghentikan pria necis itu. “Tidakkah anda merasa aneh?”
Mereka berkerumun sebentar. Pertanyaan Ren menimbulkan dua temannya heran.
Pria necis itu enggan membalas, namun roman mukanya dipasang tenang seolah Ren hanya salah paham.
“Semacam itu, tapi saya kira teman – teman anda juga merasa demikian? Jadi saya pikir itu bukan masalah besar.” Wajahnya dipalingkan bergantian pada Ren, Grunt, dan Sistine.
“Yeah, wanita tadi, Agnes? Ia mirip zombie,” komentar Sistine sejujur – jujurnya. “Lady De Polcester juga tak jauh beda. Apa kalian pikir dia sedih?” Sistine menaruh ekspresi khawatir yang tak dibuat – dibuat.
“Lalu apa masalahnya, sih?” Grunt mendengus, seolah ditulari rasa khawatir. “Jangan bilang kau ingin rewel kayak Sistine, Ren?” protesnya menuduh.
“Hey! Pria tak berkata seperti itu!” Sistine yang sebal dengan mulut kurang ajar, tangannya meraih pinggang Grunt lalu mencubitnya.
“Du-duduh! A-ampun, ampun!” pekikannya ditahan, ia merasa sebagai tamu tak boleh terlalu ramai. Untungnya tidak lama, Sistine melepas tangannya yang mengancam pinggang Grunt.
Kali ini Ren tidak membela Grunt sama sekali.
“Oke, oke, tentang apa sih ini?” tanya pria itu masih memegangi pinggangnya, sedikit memekik.
“Birdnest, kau kan veteran soal menginap? Menurut pengalaman bodohmu, tidakkah aneh dengan tempat ini?” tanya Sistine memaksa.
Pria berambut kribo mirip sarang burung itu berpikir sejenak. Seperti yang dikatakan Sistine, Grunt senang sekali keluyuran bepergian. Karena sering bepergian ia tentu mengetahui banyak jenis penginapan, khususnya ramah di kantong pelajar dan fasilitasnya boleh diadu. Sayangnya, terkadang beberapa dari tempat itu punya sejarah peristiwa. Fakta itu tentu tidak ingin diketahui oleh siapapun seharusnya.
Grunt sebenarnya merasakan khawatir lebih dulu. Namun karena posisinya sedang terpojok, rasa khawatir itu diurungkannya. Ia hanya mencoba berpikir positif dan tak ingin membahas yang siapapun tak ingin tahu. Termasuk rumor – rumor aneh.
Tiga orang itu tampak menunggu pernyataan Grunt.
“Ada kok! Tch, kalian ini selalu saja begini!” ujarnya sangat keberatan, sambil menggaruk kepalanya. “Itu loh, vila sebesar ini dilihat bagaimanapun harusnya penginapan! Bnb pun masih masuk akal. Tapi kenapa dijadikan kediaman?”
“Barangkali Lady De Polcester miliarder dan menginginkan istana untuk seorang diri?” pria necis itu mencoba berpendapat.
“Tapi kalau dilihat dari luasnya pekarangan, ukuran gedung, dan konstruksi interior dan eksteriornya… saya pikir ini masuk akal untuk dikomersialkan. Satu hal yang aneh lagi, kunci ini punya nomor, kan?” Grunt memberitahu, sambil memegang dagunya. Tatapannya serius seolah detektif.
Pria necis itu mengangguk tanpa ragu. “Ah, begitu maksudnya.”
“Juga, tidakkah istana ini sangat sepi? Well, kita belum memastikan seluruh pengurusnya, tapi dari tadi kita hanya melihat tiga orang, kan?”
“U-uh huh. A-aku juga sempat melihat…. Lady De Polcester memelototiku!” Ren memberitahu dengan perasaan merinding.
“Oh, aku juga sempat lihat, sih. Itu melotot ke arahmu, Ren?” ucap Sistine.
Wajah – wajah mereka kini sedikit dipenuhi ketakutan dan rasa khawatir, terutama pria necis itu. Namun yang pria necis khawatirkan adalah cara yang tepat agar dirinya terbebas dari diskusi tak berujung dan tanpa prosedur.
“Menurut saya memikirkan hal yang belum pasti, bukanlah keputusan bijak.” Dibukalah pintu kamarnya, ia tersenyum lalu menutup kembali pintu tersebut dari dalam. “Selamat malam.”
Tiga orang itu mau tidak mau setuju dengan pernyataan pria necis tadi. Membiarkan hal kecil menganggu memang hanya akan meninggalkan mimpi buruk di malam hari. Sedangkan besok, mereka juga punya aktivitas lain, pikir Ren.
Mereka pun bubar. Karena pembicaraan tadi, membuat Sistine sedikit takut tidur sendirian di kamar. Karena itu, ia sekamar dengan Ren. Sedangkan Grunt, hanyalah pria simpel dan mudah membinasakan rasa khawatir, langsung menuju kamar mandi, membereskan keringatnya.
Makan malam itu diantar di masing – masing kamar. Bibi Mildsven meminta maaf hanya menyediakan makanan kaleng karena mereka belum mempersiapkan jatah. Ren tidak menganggap itu masalah besar, Sistine justru merasa tambah senang. Makan di kamar adalah kebiasaannya.
Tepat tengah malam, angin menghempaskan tirai jendela. Rasa khawatir mereka diwujudkan dalam bentuk lain. Ren dan Sistine, mendengar suara – suara tangisan luar pintunya, kian mendekat.
***
Steger kayu yang berdiri memijak rerumputan membelakangi danau, menyanggah kanvas dengan mantap. Mencari posisi teduh dekat pohon yang berdudukkan karpet hijau bumi, Ren dan kawan – kawan menggerakkan kuasnya dengan santai seolah menikmati damainya sekitar. Palllet – pallet mereka telah telah berbaur cat warna – warni.
“Ah, sial! Aku kehabisan cat hijau!” Grunt menggerutu, lalu berjalan ke belakang sambil mendongak menghampiri teman wanitanya blasteran jepang. “Kau punya sisa sedikit, Ren?”
Sayangnya kanvas Ren, terlukiskan gambaran detail dari tebing atas, yang sebagaian besar adalah rumput.
“Seharusnya kau sadar kalau aku memakai terlalu banyak hijau karena posisiku di sini,” tambah Ren sedikit mengejek, “Lagian, kenapa bisa melukis danau butuh warna hijau?”
“Aku sekalian mau memasukkan bebek pada dunia kanvasku. Butuhnya coklat dan warna merahku masih utuh. Aku butuh hijau untuk dicampurkan ke merah,”
Ren mengehela nafas, seakan kehabisan kata – kata menasehati Grunt yang selalu kurang dalam persiapan. Sikapnya terlalu santai.
“Coba kau tanya Sistine, barangkali?”
Grunt memandang Sistine dengan wajah enggan, hatinya ragu – ragu. Bukan karena takut menganggu karena Sistine yang dunianya teralihkan pada kanvas, tapi mulutnya bagai ular yang siap menggigit Grunt. Mungkin tidak hanya cat hijau yang diberi, tapi sejuta omelan yang tak dibutuhkan.
“Sis, bisakah kau berikan warna hijau pada, Birdnest?” seru Ren melolong tak terlalu keras, meminta. Ren paham roman muka Grunt yang takut, pasti itu alasannya.
“Hey! Sssstt!” Grunt mengingatkan Ren, namun terlambat.
Namun tidak sesuai ekspetasinya, Sistine menurut tanpa berkomentar, “Kemarilah, aku masih punya banyak,” nadanya sama kerasnya dengan Ren, tapi berkesan layu.
“Kenapa dia? PMS?” bisik Grunt.
“Tolol, aturlah kata – katamu itu!” Ren menyentil ringan dahi si kribo jelalatan itu. Ren bergumam pada dirinya sendiri. Katanya pada Grunt, “Tunggu sini,”
Ren berpikir bahwa Sistine lebih lesu daripada biasanya. Di saat Sistine terlalu berisik kerepotan, sebaliknya saat lesu malah membuat khawatir.
“Sis, kemarilah sebentar,” seru Ren, memanggil.
Singkatnya menuntaskan warna biru, lalu ditaruhnya kuas itu di dekat. Sistine melangkah naik tebing yang tak terlalu tejal itu, mendekati mereka berdua.
“Apa yang terjadi, Sis?” tanya Ren sedikit khawatir, begitu pula wajah Grunt.
Ia menyerahkan cat hijau itu pada Grunt tanpa sepatah kata
“Se-sejujurnya… aku tak bisa tidur semalaman.” Lengan kanan Sistine menjangkau lehernya, seolah lehernya pegal. “Kau mungkin telah terlelap, tapi aku tidak secepat itu…,”
Grunt dan Ren saling memandang, lalu balik memalingkan wajah Sistine yang tampak kelelahan.
“Apa yang sebenarnya ingin kau katakan, Sis?” Ren segera meraih dua pundaknya.
Sistine, sahabatnya itu, bahkan yang selalu cerewet pada Grunt, mengucap terlalu enggan. Ia tak mau membuat kesalahan lagi, seperti karena ulahnya jadi menginap di tempat yang membuatnya tak nyaman.
“Ka-ka-kalian… tidak mendengar kemarin? Seseorang menangis dekat sekali di luar pintu?” ucapnya merinding.
Dua orang itu seakan tak punya petunjuk. Grunt dan Ren saling melirik sesaat.
“A-apakah itu keras?” tanya Grunt khawatir.
Sistine mengangguk perlahan. Sayangnya kedua temannya itu masih tampak tak terlalu yakin. Tiba – tiba pria necis itu datang menghampiri mereka.
“Cukup keras, kok. Bila kalian tak tidur, mustahil tak mendengarnya,” jawab pria itu seolah menyela pembicaraan.
“Ah, Sir!” Grunt seolah lebih bersemangat.
Pria necis itu mengeluarkan kartu nama sebanyak tiga biji, lalu diberikannya pada mereka masing – masing satu. Kertas itu berdesain mirip kartu pesta ulang tahun, bertuliskan nama tiga kata. Di setiap kata, dua huruf sengaja diketik tebal sebagai panggilan serta inisial.
“Moncake…?”
ns216.73.216.81da2