Seseorang berkata bahwa siang punya matanya, sedangkan malam punya telinganya. Benar saja, mata – mata mereka mengawasi dari balik flora belukar, sedangkan pohon adalah tembok kamuflase menjamin persembunyian. Sedangkan telinga beberapa orang berpelukan pada balok seukuran ponsel, sebagai jembatan komunikasi melalui sinyal radio. Malam yang cerah dan sunyi adalah medan suasana strategi melawan akal. Sisanya berpangku pada kelancaran, antara insan siapa yang memimpin siasat kali ini?
Perkarangan sekitar vila kini telah dipasang versi sederhana dari boneka sawah. Kerangkanya menggunakan kayu, sementara kepalanya menggunakan gumpalan kertas atau wadah – wadah oli. Mereka diikat kawat mengotak, terpaut jarak pada teras depan sekitar tiga langkah kaki orang dewasa. Sementara di bagian luarnya, enam kanvas bergambar nyaris abstrak namun tampak menyeramkan. Coretannya dilukis mirip kepala dengan rambut cat hitam, dengan wajah absurd cat merah. Sementara vila itu sendiri lampunya dimatikan total. Menjadikan strategi Cake benteng kosong diwujudkan menjadi vila berhantu.
“Sekitar… delapan orang masuk pekarangan. Mereka… mereka menggunakan senapan api… kelihatannya jenis otomatis…. Kami… dalam posisi siap. Bagaimana… dengan yang disana?” tanya Agnes, bermaksud mengonfirmasi keadaan, situasi dan kondisi.
Cake telah membagi menjadi dua tim, tim umpan dan tim pelaksana inti. Grunt, Bibi Mildsven dan Agnes sepaket dalam tim umpan. Bibi Mildsven dan Grunt, mereka yang mengatur permainan lampu di vila, menciptakan situasi poltergeist. Sedangkan Agnes menjamin keselamatan mereka juga ikut membantu mereka berdua, tugas yang dinamis. Sisanya, Lady De Polcester, Ren, Sistine dan Cake adalah tim pelaksana inti. Mereka melakukan strategi gerilya, bila pada akhirnya mereka memutusan berpencar dan mencari di wilayah hutan.
“Lakukan sesuai rencana. Biarkan mereka bingung pada barikade yang kita buat. Mulai hanya saat mereka hendak menginjakkan kakinya di teras. Kami berada lima ratus meter sedang memantau vila dan memastikan jalur pelarian kalian. Dan lagi… delapan orang dengansenapan otomatis, ya? Hm… betapa tak beruntungnya kita,” ucap Cake pada portofon handy talkie, nadanya terdengar murung.
“Apa yang akan kita lakukan?”
Cake berpikir sejenak. Otak keranya hanya membuahkan satu solusi. Dan solusi itu sangat enggan dipilihnya.
“Anda berada di mana, Mlle. Agnes?”
“Lantai dasar, dekat pintu masuk. Memanfaatkan… mengintip dari jendela,”
Cake berpikir sekali lagi dan menimang – nimang. Rupanya tidak ada pilihan lain. Ia menghela nafas sejenak.
“Bisakah anda ambil tiga orang?”
“Hm… mustahil… kalau semuanya masuk. Setidaknya… sub kelompok, tiga orang masih mungkin…” kata Agnes tidak terlalu yakin. Baru kali ini wanita itu agak ragu – ragu.
“Meninggalkan luka berat pastinya….”
“Mustahil tanpa luka…,” ucap Agnes mengakhiri percakapan portofon handy talkie.
Karena resiko terlalu banyak, Cake menginstruksikan Agnes untuk mundur naik ke lantai satu bila para penyusup telah masuk. Dengan melakukan hal itu, tentu Agnes kehilangan kesempatan menjamin jalan kabur. Tapi terbuka kesempatan lebih lebar untuk membungkam mereka lebih aman lewat tangga di lantai satu meski membiarkan lantai dasar dikuasai.
Mendengar percakapan itu, Ren dan Sistine merasa ngeri. Sistine baru kali ini membawa senapan api, shotgun Remington Versa max yang bertempat di gudang kemarin. Mereka seolah seperti sedang melakukan wajib militer, tentu dengan medan tempur yang nyata.
Namun yang lebih mengherankannya lagi bagi Ren, adalah bagaimana bisa Cake dan pembantu itu seperti seseorang profesional dalam bidang semacam ini. Apalagi penampilan Cake yang menggunakan teropong binokular dengan memakai handy talkie mirip dengan jenderal perang. Tampak mereka seolah melebur alami dengan kondisi genting. Sedikit panik dan lebih banyak tenang dalam situasi penentuan.
“Mereka berkeliling…,” bisik Agnes, mengabari lewat portofon.
5 menit…
10 menit…
Hingga 15 menit…
Entah sampai kapan jantung Ren berdegup cepat, seolah berdansa dengan musik yang kencang. Ia mulai merasakan firasat buruk.
Lampu – lampu dalam ruangan vila dibuat hidup dan mati yang sorotannya mudah dikenali meski dari tempat bersembunyian. Mudah saja, sorotan cahaya sekilas menembus dari dalam ke luar melalui jendela, tampak kontras pada gelapnya malam. Pertanda fase pertama akan berakhir, sedangkan fase kedua sudah diambang mata. Cake hanya menunggu portofon yang ia genggam memberitahukan sesuatu.
“Mereka di teras…, aku di posisi tangga, lantai dasar mati total-“
#Bruak sshshhh~
Suara pintu yang dibuka dengan tidak harmonis, kasar, dan terhempas membentur tembok hingga dikenali portofon. Firasat buruk Ren kini merangkul pinggangnya, memeluk dari belakang, sehingga membuatnya merinding. begitu pula Cake. Otak kera Cake kini diposisikan sebagai visioner. Ia membayangkan bahwa para penyusup itu sedang berpencar menggeledah seluruh lantai dasar, mirip satu peleton semut yang menyebar ke area mencari serpihan makanan. Sorotan lampu masih dimainkan, mati dan hidup, membuat hati Cake sedikit merasakan lega.
10 menit…
20 menit…
Sebelum akhirnya isi kepala Cake diterjang sakit kepala yang begitu dahsyatnya saat balok radio yang digenggamnya mulai bergetar.
Portofon itu berbunyi, “Mereka masuk langsung satu paket. Empat orang hendak ke atas, sisanya ke bawah. Mencari sumber pemicu lampu nyala, pria itu bahaya,” Agnes mengabari.
Mendengar itu, dua wanita yang mendengar dari handy talkie secara otomatis menerjemahkan bahwa yang dimaksud adalah Grunt. Rencananya sedikit keluar jalur, seharusnya pria bernama Grunt berhasil naik ke atas sebelum Agnes. Tapi entah kenapa, Cake yang awalnya seperti orang sakit kepala kini tersenyum puas seolah rencananya berhasil. Sekali lagi, Ren merasakan firasat buruk itu kini menutupi wajahnya.
10 menit…
20 menit…
Hingga 30 menit, seolah degupan Ren berhenti sepersekian detik…
#DetdetdetTAR!
Peluru otomatis diluncurkan, sejenis sub machine gun kata otak kera Cake. Seseorang telah menarik pelatuknya, membiarkan memberondong selama sepersekian detik.
“Grunt! Mr. Cake…,” pekik Ren khawatir, sahabatnya Sistine juga merasakan dua kali lipat dari Ren. Cake melirik mereka sejenak memberinya tekanan untuk berpikir lagi, sedangkan Lady De Polcester memberikan isyarat berupa telunjuk menutup mulutnya “Ssssttt!”, agar mereka tidak keras – keras. Satu – satunya insan yang tidak goyah, pikirannya hanya mengalir dengan tenang.
“Agnes, laporkan situasi,” seru Cake pada handy talkie agak panik. Situasi normal sesuai rencana adalah Agnes yang memberi kabar rutin seperti tadi. Namun bila dibalik, maka situasi menjadi abnormal. Sesimpel itu dan…
Se-menegangkan itu.
Cake mengulangi setiap dua menit sekali, menunggu respon. Kini mereka diambang batas, terutama wadah kesabaran Ren dan Sistine yang kini telah tumpah sedikit demi sedikit. Mereka sempat melakukan hal yang bodoh. Diawali Ren yang hendak keluar dari persembunyian, berniat memasangkan badan atas nama pertemanan dan persahabatan.
Dewi fortuna memihak salah satu pihak setidaknya. Tanpa bantuan Lady De Polcester yang mengunci kedua tangannya untuk menahan Ren agar tidak bertindak gegabah, karena itulah Cake sangat bersyukur.
“Situasi kami aman. Dua orang yang mencoba naik sudah kulumpuhkan. Tinggal… dua lagi, dan pria itu aman…,” Agnes mengabari, yang menyebabkan batin Ren dan Sistine jauh lebih mendingan.
Namun ternyata, pesan itu berlanjut…
“Satu masalah. Empat orang menuju arah belakang…,”
Tidak lama dari pesan itu, Cake menajamkan pendengarannya. Dengan spontan, ia mematikan portofon. Gemerisik semak berbunyi, memberikan sinyal waspada. Entah itu tupai, atau pergerakan para penyusup itu semakin dekat.
“Semuanya, menunduk!” bisik Cake memerintah, sambil memalingkan pada semua insan dengan bergantian.
Benar saja…
Saat mereka bersembunyi, senter cahaya memecah kegelapan, menyinari batang dan semak tepat Cake bersembunyi.
Ren dan Sistine yang pilot pandangannya hanya mengarah pada tanah, seakan dibuat pasrah dan terus mengatakan doa dalam hati.
Langkah sepatu mengendap – endap, perlahan – lahan, seolah menambah jumlah gelisah dalam hati. Ren merasa para penyusup itu, sedekat dengan batang rambutnya.
“Aku tak mau berurusan dengan beruang, sebaiknya cari mereka di sekitar belukar!” seru suara pria dari salah satu penyusup.
“Hahaha! tidak bisakah mereka meminta tolong pada beruang?” balas seruan suara wanita, tawanya menyeringai mirip psikopat.
“Tentu tidak mungkin! Alam bekerja dengan adil. Bila beruang musuh kita, maka itu berati musuh mereka!” celoteh seorang pria, yang membawa tawa ngeri bagi rekannya yang lain.
Kini posisi mereka seperti bola biliards. Mereka telah dibatasi, tidak tahu kapan dan dari arah mana bola putih akan disodok.
Mengenai bola warna apakah? Nomor berapa?
ns216.73.216.81da2