“Barangkali saya perlu tahu panggilan kalian? Terutama untuk mademoiselle yang menangis ini?”
Tiga orang itu menjabat tangannya dan kemudian memperkenalkan diri. Meski awalnya agak ragu, namun karena Grunt merasa akrab dengan pria necis itu sehingga perasaannya menular kepada dua teman wanitanya.
“Daripada Keymark kau lebih memllih Cake yang hanya satu kata, kan?” pria necis itu memberi pendapat.
“Well, nama Cake untuk seorang pemilik toko kue…” Suara tawa Grunt yang bocor meski merapatkan mulutnya sambil melihat kartu nama tersebut. Pria necis itu tertawa kecil, namun tangannya ingin memeluk kedua pipi Grunt dengan sangat keras.
“Dari cambridge…?” Ren menghela nafas, ia sedikit kecewa karena berpikir orang itu dari luar inggris. Tapi karena Sistine yang tampak tak terpengaruh dengan nama konyol itu dan masih bermuka muram menjadi perhatian Ren.
“Ngomong – ngomong, Mr. Cake…, apa anda punya bukti suara tangisan itu?” Ren menaruh kartu nama itu di saku dada kemeja kotak – kotak hitam dan hijau tosca lengan panjangnya. Lalu memandang Cake, si pria necis itu rasa penasaran.
Cake menunjukkan ponselnya dengan percaya diri. “Sayangnya saya punya, Mademoiselle Shiomi,”
Ketiga orang itu menelan ludah sedikit kesusahan. Terutama Grunt dan Ren, yang bisa saja tertular rasa takut Sistine. Mereka engan menumbuhkan rasa khawatir di malam hari. Kadang ada sesuatu yang sebaiknya tidak tahu, pikir Grunt. Sedangkan Ren berpikir rasional, lebih baik mendengar sesuatu yang menjadi pokok permasalahannya. Bila itu didengar jelas, maka bersama – sama mereka bisa menyelesaikannya.
Ren menghirup nafas dalam – dalam, seolah ia ikut turnamen lari estafet.
“Baik, silahkan diputar,” kata Ren dengan pasti, mengukir wajah Grunt menjadi ngeri.
Cake memutar rekaman itu. Ia membesarkan tingkat volume dan menyodorkan pada bagian speaker ponselnya.
Mereka mendengar suara isak tangisan, dimulai samar – samar, kian lama semakin mendekat. Bukan hanya suara tangisan itu yang semakin meriah, tapi juga langkah kaki menapak di lantai terdengar. Namun seakan seperti dibatasi agar tak terlalu keras, tangisan itu ditahan seolah tak ingin orang lain tahu.
Sekitar dua menit, tangisan itu mulai terdengar dengan urutan sebaliknya. Semakin lama mengecil, lalu hilang tak terdengar apapun lagi.
“Y-y-ya! I-itu! Seperti itu!” seru Sistine ngeri, Grunt juga merasakan demikian namun ia memasang poker facenya.
Berbeda dengan kedua sahabatnya, Ren justru menelisik detil suara itu lalu membiarkan isi kepalanya memberi tahukan sebuah alasan. Bukannya tidak merasa takut sama sekali, hanya saja ia cenderung bersikap intuitif.
“Menurut anda, Mr. Cake, siapa dan kenapa wanita itu menangis?” tanya Ren sederhana. Sedikitpun tak berpikirkan kalau itu hantu dan semacamnya.
“Itu sekitar pukul 01:00 AM loh! Maksudku… itu adalah waktu normal orang tidur, kan?” balas Sistine yang menolak logika Ren.
Cake segera menyela pembicaraan sebelum didahului Grunt.
“Siapa yang menangis itu adalah pertanyaan terbesar untuk saat ini. Tapi soal mengapa wanita itu menangis, saya yakin siapapun bisa menjawabnya. Saya setuju dengan Mademoiselle Brunes. Mengapa ada seseorang menangis di dekat koridor kita tepat tengah malam lewat sejam?” balik tanya Cake, seolah memberi kuis kecil – kecilan.
“E-eh? Memangnya itu tidak boleh dilakukan?” balas Ren yang tampak mentok, tak ada alasan lain.
“Bukan begitu, maksudnya kenapa orang harus menangis lontang – lantung pukul 01.00 AM kalau bisa dilakukan di kamar?” tambah Grunt, “Misalnya ibumu menyita perangkat game konsolmu selama dua tahun karena kau malas belajar. Kau begitu tak terima lalu menangis seharian di kamar daripada harus keluar di malam hari memamerkan tangisan bodohmu pada orang yang tidur.”
“Ah… begitu. Kalau dipikir memang masuk akal!” ucap Ren mengerti, sambil memegangi dagunya.
“Makanya, kupikir benar kalau itu hantu!” Sistine semakin merinding. Wajahnya mengencang, sorotan matanya dipenuhi keraguan.
“Non, teori mengatakan hantu tidak memijak bumi,” Cake menolak dan hendak menyudahi percakapan. Ia segera menuruni tebing hendak menyaksikan pemandangan danau Loch Tay. “Selamat pagi, saya mau bersantai sebentar,”ucapnya tersenyum hangat.
Tiga orang itu memandang Cake heran dari kejauhan. Sistine sedikit merasa tenang mendengar kata – kata Cake barusan. Itu karena dari rekaman tadi, Sistine mendengar suara langkah kaki yang lirih.
“Mr. Cake pastinya punya kue yang enak. Kapan – kapan ayo ke sana,” kata Grunt lirih, sambil menyorot kartu nama yang diberi Cake barusan.
“Kita harus bagaimana nanti? Membuktikan sendiri?” tanya Sistine memastikan.
“Uh huh.” Ren mengangguk setuju, lalu memalingkan wajahnya pada Grunt. “Nanti malam ayo kita diam – diam menyelinap?”
“Huh? Bukannya tadi Mr. Cake bilang itu tak mungkin hantu?” Grunt keberatan. Ia memandang dua temannya itu bergantian. “Untukku itu adalah berita bagus! Itu membuat malam lebih damai tanpa banyak pertimbangan, alhasil bisa melanjutkan tujuan kita sebenarnya! Win-win solution!” ucapnya seolah senang.
“Ow, ayolah, Birdnest!” Ren mengedipkan mata kirinya, sambil menyikut ringan pinggang Grunt. “Apakah ketika kau diberi kado dan orang bilang di dalamnya berisi sebuah konsol game, lalu membuatmu percaya begitu saja sebelum membukanya?” bujuk Ren.
Grunt menjauh sejengkal, lalu mengutarakan penolakannya dengan tegas. “Tidak! Sebelum kau membukanya, dapat dari mana kado itu? Bila tidak tahu, satu – satunya yang terbaik adalah membiarkan opini orang – orang berpikir isinya,”
“Mmhm mmhm?” Ren berdeham, nadanya mengejek. “Kau takut?”
“Heh, bila hantu menyamar dengan wajah jelita, aku siap mengencaninya kapanpun!” Grunt menolak, namun dengan kata – kata sombongnya. Kedua temannya itu merasa tambah ingin menggodanya. Terutama Sistine yang merasa itu lucu, pikirnya dalam hati si Birdnest memang pelawak natural.
Mendengar perdebatan dua insan temannya itu, Sistine sedikit kebingungan pada awalnya. Mengambil pendapat Birdnest adalah satu – satunya yang paling aman, tapi cara Ren juga tidak buruk meski lebih banyak resiko. Namun pendapat Ren sedikit membuat percikan api pada lilin hati Sistine. Ren secara tak sengaja membuat Sistine tertarik.
“Hey, kalau misal itu hantu, nanti bagaimana?”
Ren menjelaskan bahwa apapun hasilnya nanti, mereka akan izin meninggalkan tempat itu pada esoknya. Ren berniat untuk mencari taksi lewat pemesanan online. Dua sahabatnya mulai setuju, terutama Grunt yang menolak mentah – mentah pada awalnya.
“Oke, kedengarannya seperti sebuah rencana. Lalu siapa jadi umpan?” tanya Grunt memastikan.
Namun saat kedua insan betina itu menatapnya tanpa sepatah kata, ia menerima takdirnya dengan lapang dada.
Tatapannya itu mengandung arti pasrah, seolah tak punya pilihan lain. Seperti film series yang ia tonton, “The bro being sacrificed” saat sang pasangan mengajak si pria berbelanja. Pria itu ciut seciut – ciutnya tanpa berani menolak.
***
Terdengar suara gemeruncing perkakas makan dan suara air dituang pada gelas saat mereka hendak turun dari tangga. Sekali lagi, sebagai pria yang mudah sekali kehilangan rasa khawatir perutnya meronta tepat pada waktunya. Seolah apapun kegiatannya selalu salah bila perutnya belum diisi. Apalagi tidak melalui lidah yang menari – nari.
“Tidak ada yang salah soal makanan di vila ini. Kalau paginya enak, sisanya tidak perlu ditanyakan lagi,” celoteh Grunt. Ia berjalan di paling depan membelakangi kedua temannya itu.
Sebelum melewati lorong menuju dapur, mata – mata mereka dialihkan pada koleksi hiasan kain pada sebuah etalase yang berdiri seperti penjaga pada kedua lorong itu. Tapi ada satu atau dua kain yang dipajang tanpa memakai pelindung kaca, bagai magnet menarik perhatian Sistine.
“Wow, aku pernah lihat ini di buku. Apa namanya?” Sistine memegang kain biru tua dengan motif bunga – bunga warna emas dan tampak seperti sabuk yang lebih lebar bewarna hitam.
Saat kainnya dipegang terasa lembut dan halus, Sistine berpikir bahwa kain itu punya harga tidak murah.
“Well, yeah semacam itu,” seru Grunt. “Ayo, perutku sudah gak tahan,”
Ren juga memegang kain itu dan berpikir hal yang sama. Tapi kain itu terasa tidak asing baginya. Apalagi dua etalase yang masing – masing memamerkan sekitar dua puluh kain yang mahal, Ren merasa pemilik mansion ini memiliki ketertarikan mengoleksi kain tersebut.
Ren berkali – kali mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, kenapa kain itu bisa ada di tempat ini?
ns216.73.216.151da2