Cake dan Bibi Mildsven sedang menyiapkan sarapan. Bibi Mildsven, mencuci lalu memotong – motong beberapa sayuran, sementara Cake memilah duri ikan.
“Meski sudah berumur begini, paling tidak saya masih bisa membanting beruang dengan tangan kosong. Well, meski tidak mungkin tanpa luka serius,” ucap wanita lansia itu menbanggakan dirinya.
“Saya hanya khawatir kalau punggung anda berbunyi, maka semakin keras suara pekikan anda, Madame Mildsven.” Cake yang masih berpaling fokus pada ikan tulang ikan yang ia singkirkan.
Agak aneh bagi Cake bahwa pagi itu saat hendak berjalan keluar menikmati udara segar, tumpukan kayu telah berkumpul. Apalagi tidak lama setelah itu, Bibi Mildsven yang wajah lelahnya agak ditahan menjadi perhatian Cake, memboyong satu tumpukan lagi.
“Anda tak perlu repot – repot berkata begitu lagipula ini sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kepala pembantu. Menunda pekerjaan bukanlah hobi.” Bibi Mildsven memasukkan sayuran itu pada panci untuk direbus.
Ia kemudian berbalik arah, dan mengambil sesuatu dari kulkas. Tujuh bungkus puding instan, lalu kembali pada dapur untuk mengisi air pada panci lain.
“Lagipula para tentara pernah bilang, biarkan tank rusak, keropos dan berkarat. Dengan begitu orang akan memandang sejarah daripada fisiknya,” kata Bibi Mildsven, lalu menuang bubuk puding instan ke dalam panci yang telah diisi air. Ia menyalakan tungku kompor lain, dan menaruh panci tersebut di atasnya.
Cake tersenyum kecil mendengar itu. Agnes menyiapkan piring, gelas, garpu dan sendok seperti biasanya, sedangkan Lady De Polcester yang kemarin memasak kini duduk di kursi sambil memegangi kotak balok kayu. Mulutnya bergerak mengucap bisikan yang tidak didengar oleh siapapun.
Cake menatap heran, kenapa Lady De Polcester memeluk – meluk kotak itu sambil mencibir? Well, meskipun dari awal Cake tak pernah berpikir Lady De Polcester adalah wanita yang normal.
#Drap, drap, drap.
Tiba – tiba, terdengar suara langkah dari tangga agak terburu – buru. Tiga orang itu mahasiswa, Ren, Grunt, dan Sistine tampak rapi telah mengepaki barang bawaannya siap hengkang dari tempat itu.
Mereka mendekat pada ruang makan, membuat tiga orang mengerutkan wajahnya, kecuali Lady De Polcester yang sibuk mengelus kotak kayu yang dibawanya.
“Terima kasih telah mengizinkan kami menginap. Makanannya memuaskan dan fasilitasnya sangat bagus. Hanya satu permasalahannya, bagaimana kami membayar atas jasa penginapan ini?” Ren mewakili dua orang temannya itu.
Bibi Mildsven mendekat dengan heran. “Tentu saja tidak perlu, bukannya saya telah bilang kemarin? Lagipula tidakkah kalian juga kemarin bilang akan pulang lusa?” Ia memandangi ketiga mahasiswa itu bergantian.
Kata Ren dengan berat hati, “Ada sedikit perubahan pada proposal itu, kami rasa.” Ren melempar pandangannya pada dua temannya karena merasa tidak enak pada Bibi Mildsven.
“Well, setidaknya kalian sarapan dulu. Lebih baik tidak membuang makanan, saya pikir,”
Tiga orang itu berpikir tidak ada salahnya, lagipula menolak juga tidak ada untungnya. Dengan begitulah, mereka mengambil jatah sarapan sebelum pergi. Mereka berpikir setelah itu, semua akan berjalan lancar.
---------------------------AFTER BREAKFAST-----------------------
Setelah sarapan, Ren memberi keluhan pada Bibi Mildsven tentang sesuatu di vila ini. Tiga orang itu berpikir tempat ini cukup janggal. Ren menceritakan semua kejadian malam yang menakutkan, termasuk hantu dan rencana mereka membuktikannya. Terutama, mereka mengaku mendengar seperti mendengar percakapan Bibi Mildsven dan Agnes.
Dan benar saja, di mata mereka bertiga, Bibi Mildsven dan Agnes yang sangat terkejut mendengar penjelasan Ren.
“Kalian mendengar percakapan kami?” Bibi Mildsven melongo.
Ren berhenti sejenak. Bibi Mildsven dan Agnes saling melirik seperti maling yang tertangkap basah. Wajahnya mengencang seakan mereka ketahuan melakukan sesuatu yang tidak diketahui Ren dan kawan – kawannya.
“Anda mengatakan soal Lady De Polcester akan kenyang dan sebagainya yang sangat mencurigakan. Kalian tak akan menyakiti kami!” seru Ren memperingatkan.
Tidak hanya Bibi Mildsven dan Agnes, Cake juga bingung akan hal itu. Pandangan Ren menatap semua orang selain temannya dengan tatapan penuh rasa curiga.
“Tapi, ba-bagaimana anda bisa yakin? Bagaimana bisa itu mungkin?” tanya Cake.
Ren segera mengambil sesuatu dari saku celana jeans hitamnya. Sebuah kertas diketik rapi, Cake mengambil kertas itu langsung membacanya.
Kami telah menjaga dan menyediakan tempat. Kini kami tahu apa yang kami cari, dan kami akan mendapatkan hadiahnya dua kali lipat. Malam ini adalah terakhir.
Otak kera Cake menangkap logis keadaan Ren dan dua temannya itu. Terutama kata – kata “menjaga dan menyediakan tempat” yang kondisinya mirip – mirip Cake sekarang.
“Kapan anda dapat kertas ini?”
“Pagi – pagi, diselipkan di celah pintu kamar kami. Well, sebenarnya Sistine yang tahu duluan,”
“Dan bagaimana anda bisa yakin kalau ini diselipkan oleh Madame Mildsven atau Mlle. Agnes?” Cake berpaling pada Ren, lalu Sistine.
Sistine menjelaskan bahwa setelah dirinya dan Ren mendengar kata – kata aneh itu, sejam kemudian terlelap. Ia menebak – nebak bisa saja itu adalah bagian dari rencana mereka selanjutnya.
“Ini aneh, apakah anda tidak mendengar kejadian kemarin, Mr. Cake?” tanya Grunt serius.
“Tentu saja tidak, itu karena kemarin saya, Mlle. Agnes, dan Madame Mildsven sedang ke hutan belakang. Memangnya ada apa, Monsieur?” tanya Cake heran. Karena wajah mereka terlihat kurang percaya, Cake segera mengeluarkan ponselnya merekam perjalanan ke hutan.
Grunt mengambil ponsel itu, mereka menyaksikan bersama – sama. Tampak Cake dan sorotan senter dari dua orang menelusuri hutan malam hari dan gerimis. Sesaat Sistine mendapat pertanyaan di kepalanya.
“Malam – malam, gerimis, banyak kilat… kenapa tidak menunggu besok?”
“Ye-yeah, saya komplit setuju dengan, Sistine,”kata Ren, sambil mengangguk dengan yakin.
“Bukannya sudah jelas? Meskipun dekat akses jalan, tempat ini berada di dekat hutan. Sebelum beruang menyadari seseorang di teras rumah, akan lebih baik kami mengetahui duluan kalau mereka di hutan, benar?”
Mendengar pernyataan Cake yang tampak meyakinkan dan masuk akal, Grunt mengembalikan ponsel miliknya dengan perasaan sedikit percaya. Lagipula beruang hewan yang solid dan sangat mengancam meski sendirian. Itu karena beruang sering disebut sebagai predator penyendiri.
Cake mengulurkan tangannya mengambil ponselnya, tepat saat itulah ia menyadari kilatan dari leher Ren.
“Ngomong – ngomong, kalung yang indah, Mademoiselle. Bolehkah saya tahu kalung apa itu?”
Tidak hanya mata Cake, tapi Bibi Mildsven dan Agnes juga melongo mematung memandang kalung Ren.
“I-ini….”
Ren menceritakan bahwa ia hanya diberitahu untuk tidak menjual kalung itu, karena suatu saat pasti akan berguna. Pandangan Bibi Mildsven dan Agnes yang cukup lama pada kalung itu, membuat Sistine dan Grunt tidak nyaman. Sistine merasa menyesal karena lupa mengingatkan Ren untuk tidak memakai itu di depan orang – orang. Mengingat siapapun pasti mengambil keuntungan pada kalung yang sangat bernilai itu.
Namun tiba – tiba… satu orang yang daritadi pandangannya dialihkan pada kotak, berpaling pada leher Ren.
“Ba-bagaimana bisa!? Bagaimana bisa!?” sikapnya terkejut, nadanya semakin tinggi dan menggila.
Lady De Polcester segera menaruh kotak kayu yang menjadi perhatiannya sedari tadi, menaiki meja, lalu menghampiri Ren dengan ekspresi muka penuh mengancam. Lady De Polcester sempat mencengkeram leher Ren meski pada akhirnya berhasil dihentikan.
Sontak, Sistine dan Grunt melindungi Ren, melepas tangan Lady De Polcester, sedangkan Bibi Mildsven dan Agnes mencegah perilaku agresif Lady De Polcester. Cake hanya seperti penonton di antara dua kubu.
“Be-berikan itu! Berikan itu padaku!” teriak Lady De Polcester meronta – ronta, seperti singa yang kelaparan melihat daging segar di hadapannya.
“Di-dia gila?” seru Ren yang mundur dan semakin menjauh.
Bibi Mildsven segera menyuruh Agnes untuk membawa Lady De Polcester ke kamarnya.
“Agnes, berikan dosis tinggi obat penenang. Ambil di laciku!” Bibi Mildsven memerintah dengan panik.
“Oke,” kata Agnes singkat. Entah bagaimana, Agnes seorang diri tanpa usaha yang terlalu keras, berhasil menghentikan Lady De Polcester masuk ke dalam kamarnya.
Karena hal itu Ren, Grunt dan Sistine spontan keluar dari vila itu lalu menuju ke belakang garasi, sementara Cake dan Bibi Mildsven mengekor ke belakang.
Mereka berhenti di depan garasi, dengan ekspresi terancam. Bibi Mildsven dan Cake mencoba menenangkan mereka.
“A-anda sebaiknya memaklumi perilaku Lady De Polcester, beliau memang sudah begitu sejak lama. Beliau hanya kesepian dan mungkin sedikit teringat sesuatu akan sesuatu yang dimiliki Nona Shiomi. Tapi saya yakin, bukan itu yang beliau inginkan,” jelas Bibi Mildsven, meyakinkan.
“Yeah, kami mengerti. Tapi anda juga harus mengerti keadaan kami saat ini. Kami tidak bisa tinggal lebih lama!” seru Ren, semakin panik.
Bibi Mildsven yang juga khawatir dan gelisah, tidak punya pilihan lain selain membuka garasi mobil. Saat terbuka, mereka spontan masuk garasi seolah terburu – buru, membuka pelindung mobil.
“Oh tuhan!” pekik Sistine, nada rendah tapi melengking berkelok.
Bagaimanapun juga, kejadian yang tidak mereka inginkan di depan mata. Dua ban mobil SUV depan, telah bocor.
Seolah memperkirakan hal itu, tanpa berpikir panjang Grunt memeriksa ponselnya. Bola matanya bergerak cepat memastikan, secepat jarinya menyentuh layar ponselnya.
“A-apa? Tak ada sinyal?”
Tidak hanya satu, tapi dua hal berlapis menjebak mereka. Mengetahui hal tersebut, mereka menjadi sangat khawatir, panik dan kelakuannya semakin menjadi – jadi.
Cake yang diam saja, isi kepalanya seolah tembok tebal tanpa pintu. Mata Cake hanya memandang dua hal, yang menimbulkan dua pertanyaan krusial.
Bagaimana cara menenangkan Sistine yang mati – matian memprotes Bibi Mildsven yang tampak tak mengetahui hal itu? Di saat yang bersamaan, bagaimana cara menenangkan Ren dan Grunt yang sedang panik mencari sinyal.
“Bagaimana itu mungkin?” gumam Cake.
ns216.73.216.147da2