Eternal Bridge Mental Hospital, berada di kota kecil Denphen, Londonderry. Apa? London? Bukan! Londonderry, salah satu kota terbesar di Irlandia.
Letaknya cukup strategis dan surga dari padang rumput. Dekat dengan lokasi pedesaan bila ke timur mengikuti aliran sungai Foyle, atau ke barat menuju kota besar Londonderry. Apa? London? Bukan! Londonderry!
Eternal Bridge Mental Hospital, mempunyai bangunan hanya satu lantai. Syukurlah karena itu cukup meringankan dengkul Kapten Thatch. Meski begitu, bangunannya cukup luas. Enam titik membentuk segi enam, dengan titik tengah adalah aula Bridge Fountain (air mancur Bridge) yang dikelilingi sebagian taman melati atau tempat untuk briefing rutin pagi dan sore. Disebut titik tengah karena setiap orang pasti melewatinya karena memang jalur penghubung.
Setelah Ny. Strangle pergi, aku segera menuju ruang inventori. Dari ruang laundry, keluar melewati Bridge Fountain menuju gedung paling depan. Ruang Inventory berada di dekat resepsionis. Tempat duduk pengunjung masih dipenuhi angin. Maklum masih terlalu pagi, pukul 06:15. Namun hal yang susah dimaklumi adalah Nona Irene yang selalu tergopoh – gopoh.
“Selamat pagi, Nona Irene!” sapaku semringah pada wanita ramping pendek dan kaca mata bulat. Bibirnya berkilau dengan lip gloss krem lucu, rambut coklat bergelombang pendek.
Bahkan tampak beberapa berkas telah ia siapkan di samping, sementara di meja coklat terdapat satu tumpukan berkas dan buku tamu. Belum juga dibuka, beberapa keringat di dahinya telah bercucuran.
“Pa-pagi, Tn. Cuthbert!” Ia memandangku sesaat dengan ramah, lalu sekejap kembali menatap dan menulis sesuatu pada buku tamu. Kedua bola kelereng pandangannya tampak serius dan teliti.
Kane I. Helping, lebih muda empat tahun dariku. Pendiam dan serius. Namanya agak konyol. Maksudku tinggal tambah tanda tanya, dan nama panjang Nona Irene adalah sebuah pertanyaan. Karena itu ia menyuruh kami memanggil dengan nama tengah saja, Irene.
Sejujurnya, Nona Irene adalah pegawai baru menggantikan Ny. Fairmont yang kini kembali ke perancis karena urusan keluarga. Terakhir kali aku mengobrol dengan Nona Irene saat hendak menuju ruang pimpinan untuk wawancara pekerjaan.
Yeah, dia adalah pekerja yang baru masuk sekitar3 bulan musim semi lalu. Sama sepertiku.
“Ada masalah, Nona Irene?” Aku mendekatinya.
(Dia selalu sendirian…. Aku heran kenapa tak ada yang mau bersosial dengannya.)
“U-uh? Ng-nggak. A-aku baik – baik saja….” Ia tersenyum, walau hanya basa – basi. Namun sekejap kembali mendongak dari berkas satu ke berkas lainnya. Kemudian mencatat sesuatu pada buku tamu.
“Mau kuambilkan minum?” tawarku dengan lembut. Ini bukan seperti aku cari muka pada wanita imut. Well, memang pada faktanya dia ini memang imut. Kulitnya putih dan pipinya bagai kilatan boneka porselin. Tapi aku hanya ingin luruskan agar kalian tidak cepat mengambil keputusan.
(Aku harap bisa meringankan bebannya walau sedikit? Tapi… apa yang bisa dilakukan petugas kebersihan sepertiku? Bisa apa si Smartass ini?)
“Ermmm… nggak usah Tn. Cuthbert. A-aku ba-baik – baik saja….”
(Orang yang mengatakan baik – baik saja dua kali dan agak ragu, jelas nggak baik – baik saja, kan?)
“Coca – cola, Pepsi, Sprite, teh lemon, yang mana kesukaanmu?”
“Bukannya aku tadi bilang nggak usah?” nadanya sedikit meninggi, begitu pula alisnya yang cekung mirp sketsa gunung. Tampaknya Nona Irene jadi agak sebal.
“Maaf? Menanyakan minuman kesukaan bukan berarti aku akan mengambilkan untukmu, kan?” balikku bertanya. Terlalu cepat Nona Irene mengambil kesimpulan. Lagipula ada alasan orang memanggilku Tuan Smartass.
“O-oh, be-begitu, kah? Ka-kalau begitu, teh lemon,”
(Oh sudah jelas! Aku bertanya supaya tidak sia – sia bila kuberikan. Dasar cupu gadis cupu! Tapi imut sih….)
“Terima kasih.” Kataku segera pergi menuju ruang inventori. Aku tak mau memberinya kerepotan. Toh dia sendiri juga sudah repot.
Kepalaku teringat kejadian sebulan yang lalu. Seolah – olah kutukan Ny. Strangle yang bersemayam padaku dibagi separuhnya pada Nona Irene. Untuk orang sepertiku yang tak terlalu memikirkan perkataan Ny. Strangle, tidak akan menjadi masalah besar. Namun aku rasa, Nona Irene adalah tipikal pemendam.
Malam hari, dia terpaksa lembur karena katanya ada cukup banyak data pasien yang terselip berantakan. Ny. Strangle saat itu memang tak bisa dikompromi, marah bagai raja neraka. Aku bahkan sukarela membantu Nona Irene di waktu shiftku berakhir, sampai nyaris tengah malam memilah – milah data pasien. Bahkan mengantarnya pulang dengan mobil rumah sakit.
Aku mencoba mencairkan suasana saat berada dalam mobil. Well, bisa dibilang basa – basi sambil menghilangkan penat dan unek – unek.
“Fiuh… untung saja ketemu. Kita hampir saja terpanggang api kemarahan Ny. Strangle. Leherku sudah memekik hanya karena nama konyol. Siapa tadi, Nona Irene?”
“….” Tak ada balasan.
“Pfft…. Hanya karena nama Tn. Wonocino yang terselip. Orang tua iseng mana yang memberi nama absurd begitu, sih?”
Tanganku fokus menyetir dengan pandangan ke depan. Tapi, aku terus mengajak Nona Irene mengobrol meski daritadi ia hanya terdiam. Namun mulai… mulai terdengar desakan nafas ditahan.
“….”
“Lagipula apa itu Nyonya Forehead? Tidak pernah mendengar yang begitu sebelumnya, hahaha!”
Suara cekikian mulai terdengar. Maksudku siapa yang perutnya tidak tergelitik mendengar nama Forehead dengan foto wanita berkepala botak?
“hiks… hihihi,”
Aku pun ikut tertawa. Tawa kecil itu terdengar melegakan, syukur bahwa Nona Irene baik – baik saja. Lalu aku berpaling pada Nona Irene.
“Y-ya… memang menggelikan!” ucapnya sambil mengigit sapu tangan putih miliknya. Bercucuran air mata, wajahnya memerah dengan muka berkeringat. Bibirnya terbuka tersenyum… agak aneh.
Dan aku… tidak suka perasaan ini….
(Nona Irene….)
Dengan sekejap angin dingin melewati celah jendela mobil melintasi leherku lembut. Dengan sekejap aku berhenti tertawa. Sekejap itulah aku menyesal dan jauh dalam diriku ingin meminta maaf.
Agar suasana dalam mobil tidak canggung, mungkin hanya demi hal itu…. Seorang aktor yang tak perlu main film.
Nona Irene tertawa, disaat ia ingin menangis.
ns 172.71.254.6da2