Aku tanpa membuang – buang waktu segera mengambil tiang jemuran dari ruang inventori. Tiang jemuran itu setinggi 1,8 meter. Bagian atasnya mirip parabola, bisa diputar dan ditekuk.
Dari gelanggang 56, lewat Aula Bridge Fountain, lalu ke ruang inventori. Bolak – balik melangkah cepat hingga diulang sampai lima kali. Well, harap dimaklumi satu tiang itu cukup kokoh dan berbahan baja, sekitar 15 kilogram.
Dari gelanggang 56, aku bisa lihat mobil – mobil mulai berparkiran. Semua telah kukerjakan hingga pukul 07:30. Sisanya aku hanya perlu memantau langit dan angin.
Setelah itu, aku melanjutkan pekerjaanku. Kapten Thatch, sebagai ketua regu petugas kebersihan, selalu memberitahuku bahwa tim petugas kebersihan selama ini melaksanakan pekerjaan bersama dalam satu tempat agar pekerjaan cepat selesai. Selain lebih bersih, Kapten Thatch juga dapat memastikan hasilnya.
Pertama, adalah toilet. Di rumah sakit ini, ada dua bangunan toilet. Di dekat ruang inventori dan resepsionis, lalu di gedung belakang kamar pasien individu.
Kami sepakat untuk yang dekat resepsionis adalah yang diprioritaskan pertama karena dekat dengan pengunjung.
Sesampainya di sana, aku langsung dihadapkan dengan dua pintu. Pintu biru bertuliskan “Man” dan pintu merah muda bertuliskan “Woman”
Di depan pintu merah muda, ada pembatas tanda “Under maintenance. Don’t enter.”
(Woah! Mereka cepat banget!?)
Segera kuabaikan tanda itu, lalu masuk. Dua kaca persegi panjang dengan dua wastafel keramik hitam adalah pertama kali yang kulihat. Dinding putih dan lantai keramik ala toilet, tak ada yang spesial.
Sementara lima bilik menantiku. Dengan dua diantaranya tertutup. Mulai juga terdengar suara sikat menggesek, serta air yang terkena flush.
“Kamu sudah selesai dengan shift pakaian, Mar?” Suara Kapten Thatch menggema terdengar dari bilik kedua dari pojok. Mereka lebih suka memanggil nama depanku yang terlihat simpel.
“Well, bisa dianggap begitu. Cukup melelahkan. Toilet pria sudah selesai?”
“Uh udah jelas! Demi meringankan beban sobat kami yang mengurus pakaian bau dan harus bangun pukul tiga pagi!?” celoteh Rodeo yang menyempitkan pita suaranya agar terdengar seperti suara anak kecil tujuh tahun. Ia selalu mengejekku.
Itu dia! Ia telah mengibarkan bendera pertarungan! Tak akan berhenti bila belum ada yang menang!
“Oh begitu? Sebenarnya aku sengaja membiarkan Rowdy mengurus sisanya. Jalan awal menguruskan badan memang bermacam – macam. Tapi itu langkah pertama jadi seorang model, bukan?” Aku membeo suaranya yang menjengkelkan itu.
“Huh? Kamu ngajak berantem?!” Rodeo sedikit menyentak.
“Cuthbert nggak akan pernah menghajar wanita. Camkan itu, milady!” kataku dengan lembut dan tenang, khas bangsawan.
“Benarkah? Kupikir pertarungan di arena toilet wanita cukup langka. Rasanya sedikit mengecewakan.” Seperti api yang disiram bensin. Bukannya melerai, Kapten Thatch seolah jadi wasit yang mengizinkan kami bertarung.
Ini sedikit di luar skrip otak smartassku. Pintu bilik paling pojok spontan terbuka. Rodeo dengan pistol selang dari pispot, menodong ke arahku. Seolah cowboy sedang bermain russian roulette. Tapi aku tak membawa senjata apapun, jadi itu russian roulette versinya.
“Say no more, Smartass!” Ekspresi Rodeo tampak seperti nemesis di film – film. Bahkan gaya bicaranya. Kupikir dia itu ingin jadi aktor daripada model?
Aku terpojok. Tidak akan ada korban. Tapi percayalah, pakaian basah bukan pertanda baik.
(Kalau ini nggak selesai, Rodeo akan selalu menggila. Ini tak boleh dilanjutkan. Aku harus minta maaf.)
“Oh ya? Mari kita lihat seberapa bagusnya bidikan amatir itu?” Aku balik menantangnya. Well, seperti yang sudah dikatakan. Tak akan ada yang berhenti bila belum ada yang menang!
ns 172.70.131.10da2