Setelah itu kami melanjutkan perjalanan mencari kitab su- maksudku, toilet. Toilet yang bertempatkan di gedung kamar individu pasien. Kamar individu pasien berjumlah 18 jadi sudah jelas bahwa toilet tersebut lebih luas dari yang berada dekat resepsionis atau gedung paling depan. Kira – kira dua kali lipat serta biliknya terdapat shower untuk mandi.
Taman melati memanjang dan menjadi bagian penting dalam gedung ini. Tidak sepenuhnya taman, terdapat posko kecil untuk bersantai dan tiga ayunan dua orang. Juga sebagai pemisah dari 9 kamar yang berseberangan. Ujung dari taman ini adalah toilet yang hendak kami tuju.
Sejujurnya aku merasa agak ngeri saat awal pertama bekerja di rumah sakit jiwa. Tidak, tidak… bukan soal hantu. Aku tahu, setiap rumah sakit pasti punya rumor tentang hantu. Apa yang lebih buruk dari hantu? Manusia. Tentunya, manusia yang tak waras.
Well, mereka ini secara teknis cukup tenang dan seperti orang biasa. Karena di gedung ini, pasiennya telah bermental stabil, tidak seperti gedung yang paling belakang. Yang membuatku ngeri adalah aku harus selalu memperhatikan topik pembicaraan.
Mereka individu yang unik, berkata dengan polosnya dan tenang seolah tak punya masalah.
Maklum sih, namanya juga orang sakit jiwa.
Lucunya adalah, sebagai orang tidak waras, mereka sensitif terhadap hal yang orang waras tidak sensitif. Sedangkan uniknya adalah, sebagai orang tidak waras, mereka sekalipun tak pernah berbohong dibandingkan orang waras.
Salah satu dari mereka, wanita sekitar 24 tahunan, mengaku pernah menikahi artis sambil bertingkah halu. Bahkan pernah menganggap Dokter Wisemann sebagai suaminya. Apakah itu dapat dikatakan berbohong? Tentu tidak.
Maklum sih, namanya juga orang sakit jiwa.
Aku, Kapten Thatch dan Rodeo sering bertemu dengan seorang yang memakai jas rapi pebisnis. Necis abis, membuatku kagum berlapis. Kukira ia seorang bodyguard atau seorang ayah pebisnis yang menjenguk anggota keluarganya. Eh, ternyata salah satu dari mereka yang kurang waras.
Menjadi sebuah anomali langka bila satu hari kami tak bertemu dengannya. Bagaimana tidak? Ruangannya paling pojok dengan dengan toilet. Ia sering duduk – duduk memandang kupu – kupu dan beberapa flora rerumputan yang terawat menjadi fasilitas di depan kamar pasien.
“Tn. Wonocino, selamat pagi! Apa kabar?” sapa ramah Kapten Thatch padanya. Mereka terlihat di usia yang mirip. Hanya saja, Tn. Wonocino punya alis dan kumis yang lebih tebal agak beruban. Bahkan mulutnya dipenuhi janggut yang agak beruban juga. Serta mata yang kecil dan tipis.
“Baik. Seperti biasa, melihat yang hijau – hijau.” Tn. Wonocino yang berdiri tegak memandang taman melati sambil menoleh sedikit dengan suara kalemnya. Ia adalah orang yang bermuka tenang, lebih daripada orang waras pada umumnya. Bahkan lebih santai daripada diriku. Hematku, orang ini seharusnya tidak berada di sini.
“Kalian mau bersih – bersih?” Ia menatap bergantian, setelah Kapten Thatch, padaku lalu Rodeo.
“Seperti biasa. Shift yang ketat, hari rutin, dan tanggung jawab,” ucapku dengan senyum ramah, sambil menggaruk rambutku yang tidak gatal.
“Oh, tentu silahkan.” Ia menyilahkan seolah – olah seperti pelayan di restoran mahal. Aku kagum dengan sikap lemah lembutnya, suka mendahulukan dan ramah pada orang lain. Mungkin karena itulah Ny. Strangle murka besar saat datanya terselip.
“Nanti siang kalau anda mau, kita bisa makan bareng?” tawar Kapten Thatch sembari kami bertiga melewatinya.
Kami melangkah melewati jalan batu setapak. Aku melirik ke belakang sambil masih memandangi Tn. Wonocino.
Ia tidak langsung menjawab. Ia tampak asik dan tenang melihat flora dan kupu di depan bola matanya. Selang beberapa detik, ia menoleh sedikit dan tersenyum ramah pada Kapten Thatch.
“Tentu, saya tak sabar menantikan hal itu,” responnya memang lambat, tapi aku bisa dengarkan suara tulus darinya.
Seingatku ia adalah satu – satunya pasien yang tak pernah absen memandangi taman melati, sekalipun hujan atau kondisi mentalnya begejolak tak stabil. Bahkan saat itu terjadi, pernah aku sebentar menemaninya duduk tengah malam. Yang Tn. Wonocino lihat tetaplah sama.
“Aku merasa seharusnya Tn. Wonocino tidak berada di sini. Kau berpikir begitu juga kan, Rowdy?” tanyaku agak serius. Kalau sedang serius, aku selalu memanggilnya Rowdy.
“Hmm… entahlah. Tapi jelas beliau sudah lebih baikan….” Ia mengangguk kecil agak keberatan, lalu menoleh pada Kapten Thatch.
Kapten Thatch menaruh dua batang sikat WC dan timba beserta sabun pel yang dibawanya. Ia diam saja sambil memejamkan kedua matanya.
“Hey, hey, kok serius banget,sih?” Aku penasaran mengapa Kapten Thatch tampak enggan menjawab. Begitu juga dengan Rodeo yang tiba – tiba mengangkat bahunya sambil menggeleng – geleng.
Mungkin telah terjadi sesuatu sebelum aku bekerja tempat ini. Walaupun aura tenang Tn. Wonocino sedari tadi entah kenapa…
Bukan tipikal orang tenang….
“Beliau… hanya kurang beruntung….”Kapten Thatch mengatakan dengan suara lirih.
Kapten Thatch menambahkan bahwa Tn. Wonocino yang hendak lansia itu telah menghabiskan umurnya di Eternal Bridge Mental Hospital selama setahun penuh di sel khusus.
Mendengar hal itu saja entah kenapa membuat benakku sedikit tersadar.
ns 172.71.254.54da2