THE CHAIRS
Ignacio The Living Art - Unique and Mythical Piece of Art
Sebuah studio seni kecil yang menjual seni yang sangat mahal. Selalu buka di waktu pegawai pulang kerja, dan bertempatkan di London gang sempit yang temaram, di samping toko fast food cumi tepung goreng. Tempat itu tidak pernah berubah dan selalu konservatif.30Please respect copyright.PENANAxRhR0fpCdp
Sebuah plang dari kayu yang diukir dan bertuliskan kayu, dengan pintu otomatis yang berkesan ajaib tanpa kelihatan sensor inframerah. Lurus terus dari lorong tangga ke bawah dan lampu kuning redup, menujulah ke meja resepsionis. Di tengah meja resepsionis terpisahkan dua warna tembok, dua pintu. Sebelah kiri dengan tembok kuning, untuk sebuah seni ukir, sedangkan sebelah kanan bertembok putih untuk seni lukis, itulah yang ditanyakan pertama kali oleh sang resepsionis ketika siapapun ke sana.
"Aku mau lihat - lihat seni ukir!" protes seorang pria di umurnya yang 60 tahunan. Pria itu memakai celana jeans panjang hitam dan jaket wool coklat motif kotak - kotak. Dari nadanya saja yang cukup tegas menerjang, alisnya yang nyaris membentuk segitiga terbalik, serta jarinya yang mengetuk - ngetuk tempo cepat dan ringan, dia ini buru - buru.
"Maaf, sir, tapi kami masih persiapan-"
"Baik kalau begitu saya pamit-"
Pria tua itu hendak berbalik arah, namun wanita resepsionis itu menahannya dengan segala cara.
"Eh tu-tunggu sebentar, sir! Mari saya telpon manajer," sang wanita resepsionis yang normalnya seperti 'patung' tanpa ekspresi, kini kualahan menghadapi kakek ini.Ia terburu - buru meraih ponsel di sakunya, dengan muka dipenuhi ekspresi ketar - ketir, ia menelepon manajernya.
"Sebaiknya itu dipercepat, nona." tambahnya sambil bergumam. Gumaman itu mungkin hanya terdengar olehnya, "Heh, anak muda zaman sekarang pasti tidak tahu siapa aku!"
Sang wanita resepsionis saat bertelepon mendapat omelan lain dari manajer. Seketika ia menutup telepon.
"S-silahkan, sir!"
"Terima kasih."
Si pria 60 tahunan itu berjalan dengan tegak memperlihatkan kekokohan tubuhnya di sekitar umurnya yang 60 tahunan. Saat hendak menarik pintu dari tembok yang berwarna kuning, ia sekejap berbalik menoleh ke arah sang wanita resepsionis itu. Wanita resepsionis itu terlihat shock sambil mengelap keringat di dahinya. Dari gerak - gerik nafasnya, tangannya yang bergetar, serta matanya berkedip dengan tempo singkat sesaat, si kakek tua itu berbalik arah.
"Ini, jajan untukmu." Uang 100 pounds ditaruh begitu saja di dekatnya. Ketika sang resepsionis itu hendak mengucapkan terima kasih, si pria di umur 60 tahunan itu sudah pergi.
Si pria 60 tahunan itu berjalan menempuh lorong yang redup sama seperti tangga yang dituruninya. Sekali lagi, sebagai pria 60 tahunan, ia tampaknya sehat. Bahkan dirinya berjalan cukup cepat tanpa tongkat pembantu dan sendirian.
Dari pandangannya, pintu kaca buram itu mulai dibukanya dengan cepat.
"Eh? Kukira Vincenzo di sini?" tanya pria yang berumur 60 tahunan itu dengan bingung. Nadanya terdengar kecewa.
Di hadapannya adalah seorang wanita ditaksir umur 50 an ke atas, memakai tuxedo dengan celana panjang kain yang berwarna putih, serta monocole di sebelah kiri matanya.
"Vincenzo hanya berada di sesi lukisan, sir. Saya yakin anda telah membeli sesuatu dari kami beberapa waktu yang lalu, Mr. Bastian,"
"Vincenzo menitipkan pesan padamu?"
Wanita berumur sekitar 50 tahunan itu mendekat. Tidak seperti Vincenzo yang dikenalnya berwajah ceria dan antusias, wanita ini menampakkan ekspresi serius.
"Yah, soal itu memang prosedur," tambahnya berhenti sesaat. Ia memandangi pria itu seolah menelisik. Seolah seperti orang yang dicari - carinya. "Jaket coklat wool kotak - kotak, celana jeans panjang hitam, serta nama bastian itu.... cukup memberi alarm pada pengetahuan saya. Kalau ada Bastian, seharusnya ada dua nama lagi. Irving dan Karl..."
"Well, rasanya saya sangat bernostalgia! Kami memang benar - benar berhubungan baik sangat lama bahkan setelah bubar...."
"Lagu - lagu The Bears memang terdengar asyik walau sekarang. Lagipula, saya tumbuh juga mendengar lagu itu. Selamat datang, Mr. Bastian The Bears!" Senyuman profesional ditampakkan wanita itu sambil menunduk hormat. "Saya Sigismunda adalah manajer seni ukir. Saya merasa terhormat bertemu dengan personil The Bears!"
Setelah kembali ke posisinya, wanita 50 tahunan bernama Sigismunda itu menawarkan jabat tangan.
Pria itu yang sedari tadi terlihat terburu - buru, kini meregangkan otot - otot di wajahnya.
"Wah, wah, saya tidak menyangka anda mengenal saya." Pria bernama Bastian itu dengan senang hati menjabat tangan Sigismunda.
"Lalu "Kolibri" dan "Menunggu penantian." adalah dua favorit saya, sir!"
Mereka mengobrol sejenak.
The Bears adalah grup band dengan personil tiga orang yang merajai musik untuk umur 18 tahunan. Mereka pada dasarnya boyband yang digandrungi karena lagunya punya tema sendu dan semangat, seperti judul yang disebutkan Sigismunda, yaitu "Kolibri!". Lagu itu mengisahkan tiga sahabat itu bercengkrama di teras sambil memandangi kolibri. Hati mereka terasa senang dan bersemangat saat melihat burung - burung itu terbang.
Sedangkan lagu berjudul "Menunggu Penantian" adalah justru ditunjukan sebagai kebalikan dari judul "Kolibri!". Itu mengisahkan tiga kursi yang sering dipakai bercengkrama bersama kini kosong dan kadang terisi hanya satu orang. Lagu itu adalah lagu terakhir yang menjadi simbol bahwa grup band The Bears bubar setelah 7 tahun berkiprah;
Tiga personil itu disebut The Bears karena pakaian mereka yang menguatkan karakter beruang dan mereka memang suka memakai nama itu. Irving adalah tokoh dalam band tersebut dengan wajah kalem dan penengah dari mereka berdua. Irving adalah yang tertua. Sementara Karl adalah karakter si tukang bercanda. Sedangkan yang terakhir Bastian, adalah karakter yang logis dan pemarah.
Karl telah meninggal, di umur 26, setelah setahun The Bears bubar karena serangan jantung. Sementara Irving sedang koma di rumah sakit dan usianya mendekati Mr. Bastian hanya saja lebih tua sekitar tahunan.
"Aku langsung ke pembahasan saja, Miss Munda." Mr. Bastian berhenti dan menatap serius manajer wanita bernama Sigismunda itu. Ia berhenti sambil melihat semua seni ukir yang ada. "Vincenzo bilang padaku kalau ia punya sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhanku?"
"Ya, semua detilnya sudah ada di sini." Sigismunda menunjuk pelipisnya. "Hanya saja, saya perlu detil permasalahannya,"
Mr. Bastian diam sejenak, terlihat enggan berkomentar soal itu. Ia kemudian diajak berjalan kecil melihat - lihat. Sementara Sigismunda sambil memberi penjelasan pada Bastian.
"Seperti yang anda ketahui, kami hanya memajang 5 seni setiap harinya, entah itu seni ukir ataupun seni lukis. Setiap hari akan terus berganti, begitulah peraturannya. Karena anda mungkin orang spesial bagi Vincenzo, hari ini tema seni ukir yang kami pajang khusus untuk anda adalah Waktu dan Kenangan. Peraturan lainnya adalah saya tidak diperkenankan untuk memperkenalkan detil semua produk kecuali satu yang paling memikat di hati anda. Sebuah karya seni akan memilih pembeli dengan sendirinya, normalnya begitu. Karena kami menjual sebuah karya yang hidup, anda tentu telah mengerti yang kami maksud,"
Bastian tidak langsung menjawab, sebagai gantinya ia melihat - lihat dulu.
Tempat itu sempit namun leluasa bagi dua orang itu berjalan kecil. Lagipula hanya lima yang dipajang. Kelima - lima benda itu adalah :
Sebuah cermin. Bastian sempat berkaca di cermin itu. Entah mengapa hatinya sedikit tersentuh. Kemudian ia beralih pada benda lainnya.
Sebuah Jam Dinding setinggi manusia. Pendulum pada jam itu sekejap mengingatkan mereka ketika berlibur di Hawaii. Waktu itu Irving sangat ingin membeli jam dinding setinggi manusia. Sementara Karl, bercanda soal jam dinding itu bahwa Irving dapat saja memasukkan gadis di dalam sana diam - diam.
Sebuah Jam Pasir. Saat Bastian bertanya apa benda itu, Sigismunda hanya menjawab bahwa itu adalah "Nilfheim Hourglass". Memang tampaknya seperti jam pasir kuno biasa. Sigismunda menjelaskan sedikit, bahwa pasir di dalam jam itu dapat berubah warna, siang dan malam.
Sebuah kotak balok. Itu kotak balok dengan ukiran abstrak nan unik. Bastian berpikir untuk membeli itu. Namun lagi - lagi, hatinya tidak terketuk untuk membawa pulang benda itu. Ia sangat terpikat sebenarnya, hanya saja hati Bastian belum mengetuk terlalu dalam.
tiga buah kursi kayu. Bastian memutar tiga kursi kayu yang tampak biasa dan sederhana itu. Kursi kayu dengan dua lengan, sandaran berbentuk silang. Ketika ia mencoba memicingkan matanya, terdapat goresan iseng bertuliskan, 'Silahkan duduk di sini!'
"Saya rasa yang ini, Miss Munda,"
"Hm.... The Chairs..." Sigismunda memejamkan matanya sesaat.
"Seharusnya kau tahu apa yang kau kerjakan, benar?" Bastian mengharapkan dia menerima informasi seketika ada satu benda yang mengetuk hati. Bastian memang paham betul dengan aturan itu, lagipula menjadi orang spesial bagi Vincenzo, tidaklah mudah.
"Memang, Mr. Bastian. Begini..." Sigismunda membuka matanya perlahan dengan sedikit skeptis dan enggan menjelaskan. "The Chairs....karya Salvaza Dumont, tahun 1639, era keemasan seniman di Belanda. Miss Dumont bisa dibilang cukup terkenal dan sukses saat itu. Dia blasteran perancis-italia, yang mengadu nasib di Belanda dengan dua orang temannya. Mereka berjuang bersama dari nol, membeli rumah sekaligus studio kecil untuk mereka. Karya terakhir Salvaza Dumont sebenarnya adalah karya iseng. Mengingat kedua sahabatnya masih struggling dengan apa yang mereka capai, Salvaza Dumont telah mencapai apa yang ia inginkan. Jadi, dia tinggal di rumah itu sendirian, sambil mengingat - ingat. Mereka biasanya di teras bersama ketika di sore hari, melihat burung - burung, dan itu cukup membuat Salvaza sedih karena kesendiriannya...."
Mendengar itu membuat raut muka pria 60 tahunan itu menjadi melankolis. Mr. Bastian mengelus kursi itu seolah ia mengelus kepala gadis bernama Salvaza Dumont.
"Lalu apa yang terjadi, dengan wanita ini?"
"Well, pada dasarnya dia ini biliuner. Salvaza Dumont juga tak memiliki kerabat. Ada rumor mengatakan salah seorang warga desa yang meminta saran terhadap pelajaran seni mengetahui Salvaza Dumont meninggal duduk di kursi itu. Ada juga yang bilang Salvaza Dumont bunuh diri dengan meminum racun dan tergeletak di dekat kursi ini. Yang jelas, The Chairs, tidak pernah secara resmi diperjualbelikan di umum. Kerabat kami dari Ignacio Studio-lah, yang punya hobi aneh. Well, meski semua karya seni kami tidak dijual di umum, tapi setidaknya masing - masing pencipta seni pernah melakukan promosi terhadap karya mereka. Kecuali, yang satu ini..."
"Eh? Kenapa begitu? Apa maksudnya?"
Sigismunda terdiam sesaat. Ia berbalik arah dengan raut muka sedikit tidak menyukai situasi ini.
"Karena The Chairs, masih belum sempurna.... Tidak, The Chairs tidak akan pernah sempurna..."
Mendengar itu, Mr. Bastian kini malah semakin setuju untuk membeli kursi itu. Barangkali ada benang emas antara dirinya dengan The Chairs.
"Mr. Bastian, mengapa anda tidak berkunjung saja ke rumah cucu dan anak anda?" tanya Sigismunda dengan niat lain membelokan. Itu karena Bastian adalah The Bears yang satu - satunya masih hidup dan sehat. The Bears adalah barangkali yang paling difavoritkan Sigismunda sejak dulu.
"Well, um... aku sudah puas melihat wajah senyum mereka. Lagipula mereka semua sibuk!" respon Bastian terdengar bosan dengan diakhiri nada kurang bersemangat.
"Anda juga bisa berlibur ke penjuru dunia dengan uang menjadi artis bukan?"
"Aku tak yakin. Yah, lebih tepatnya kau salah ngomong. Aku di penghujung minat dan umurku sekarang ini sudah berkunjung ke semua negara belahan dumia, kecuali kutub utara dan kutub selatan. Entah mengapa masih ada yang kosong dalam jiwaku..."
Sejenak Sigismunda hendak menimpali dengan argumen lain, Mr. Bastian menyerobot perkataannya lebih dulu.
"Aku hidup sudah lama, Miss Munda. Sekarang dengarkan dan ini hanya terdengar hanya olehmu saja. Penyesalanku selama ini adalah aku ingin berbincang sedikit lebih lama dengan Karl dan Irving di saat ketika kami duduk bercengkrama. Aku rindu ketika kita berbincang - bincang sewaktu hendak perilsan lagu "Kolibri!". Tapi yang lebih aku sesali adalah, setelah kita merilis lagu terakhir, kami juga duduk bercengkrama untuk terakhir kalinya. Irivng bilang ingin berkeluarga dan terbang ke Australia. Sementara Karl katanya ingin solo. Waktu itu Karl menghina kami dengan mengatakan bahwa kami beban. Karena kau sebagian penggemarku tahu aku ini punya sikap pemarah dan itu memang benar, aku marah padanya. Tapi aku tidak tahu mengapa dia bilang seperti itu. Dan yang membuatku lebih menyesal lagi, aku tidak sempat minta maaf ketika dia meninggal setahun setelahnya....."
Dengan keputusan yang dilontarkan Mr. Bastian, Sigismunda menghela nafas seolah dia benar - benar sudah mentok. Lagipula, Sigismunda yang bertahun - tahun penggemar The Bears tahu benar dengan karakter Bastian. Bastian adalalah pria yang mudah emosi, tapi selalu menyesal ketika selesai melontarkan emosinya. Hal itu pernah ditampakkannya dalam sebuah wawancara di masa lalu. Tentang bagaimana Bastian marah terhadap Karl yang sering bercanda di kala waktu serius.
"Baik.... Seperti yang saya telah bilang, The Chairs ini ciptaan yang kurang lengkap. Mungkin anda bertanya lalu mengapa dijual? Seperti yang kami selalu bilang, sesuai moto kami. Karya seni akan memilih dengan sendirinya pembeli itu. Karena kami tahu beberapa di antara mereka akan dipilih oleh anda, maka tidak ada salahnya untuk tidak diperjualbelikan. Permasalahannya adalah, saya pribadi, tidak tahu menahu apa yang akan terjadi setelah anda duduk di kursi ini..."
Salah satu alis Mr. Bastian menaik. "Well, tidak ada penjelasan lain kah soal ini?"
"Hm.... normalnya bila dikaitkan dengan Salvaza Dumont, barangkali ini bisa memenuhi ekspektasi anda.... Pantangannya adalah anda harus segera berdiri setelah impian anda terwujud. Selebihnya saya tidak ada informasi soal itu,"
"Baik, tak masalah." Mr. Bastian tanpa berpikir lama lagi sambil merogoh dompetnya untuk mencari kartu debit. "Aku harap ini masih di area jangkauan budgetku. Berapa?"
"Well, Mr. Bastian. Karena ini karya seni yang belum utuh, kami tidak bisa menjual begitu saja kepada anda. Barangkali kita harus mencoba dulu apakah dia ini memang bekerja atau tidak. Setelah itu terbukti, maka transaksi ini berhasil, Ini hanya sekitar-um... 200,000 pounds. Lagipula, anda-lah pembeli yang pertama sejak berabad - abad lamanya,"
"Masuk akal. Dengan anda berasumsi bahwa 'benda ini memang bekerja atau tidak' apakah memang ini-um....?"
"Hahaha, anda ini bukan pelanggan baru Ignacio Studio, 'kan?" tambahnya. "Silahkan duduk. Terutama di bagian yang ada goresan usil ini,"
"Heh, kau pasti tahu kalau aku tidak suka diusili, kan?" katanya begitu, meskipun Mr. Bastian tetap akan duduk. "Tidak pakai lilin merah, Miss Munda?"
"Khusus yang ini, tidak pakai. Anda hanya perlu duduk dan memikirkan tentang kenangan yang ingin anda temui sekali lagi. Kuncinya adalah anda harus duduk sambil bercengkrama. Dengan begitu, prosedurnya akan berjalan dengan lancar."
Sigismunda yang hendak pergi untuk menyiapkan nota pembayaran berhenti sejenak karena Mr. Bastian memanggilnya.
"Apa pantangannya tadi?"
"Seketika tujuan anda terpenuhi, harap segera berdiri dari kursi itu. Saya akan keluar sebentar untuk penulisan nota dan meminta jasa pengiriman untuk mengangku barang itu ke alamat anda. Saya ucapkan, selamat jalan sang legenda, Mr. Bstian The Bears,"
Ruangan itu hanya ditinggali oleh Mr. Bastian. Sendirian dan celingak - celinguk kanan kiri. Dua kursi lainnya masih kosong. Tapi, Mr. Bastian masih duduk. Ia sempat meragukan perkataan Signismunda. Hanya saja, Mr. Bastian tidak punya pilihan. Ia kemudian memfokuskan diri. Mr. Bastian mengingat - ngingat apa yang ia kenang di masa lalu. Waktu ketika merancang lagu "Kolibri!" dan masa - masa dimana The Bears akan bubar.
Dengan cepat ia bersandar di punggung kursi kayu yang berbentuk huruf "X", dengan kedua tangannya di lengan kursi. Lalu meneleng ke bawah seolah ekspresinya menjadi sedih. Lalu mendongak ke langit - langit, kedua matanya berkedip dengan cepat. Kemudian menoleh ke kanan dan kiri, kursi itu sekali lagi masih kosong.
'Hah? Apa aku kurang fokus? Tidak terjadi apa - apa?' pikirnya. Lalu ia kembali fokus untuk kesekian kalinya.
Kali ini, Mr. Bastian benar - benar tulus.
Kemudian ia meneleng ke bawah, sesaat alas lantai studio yang dibentangi karpet itu berubah menjadi alas teras lantai marmer putih sederhana. Lalu ketika ia mendongak ke atas, ia melihat atap rumah serta burung kolibri terbang ke langit biru. Setelahnya ia mendengar suara angin yang berhembus sepoi - sepoi.
Mr. Bastian terkejut saat menoleh ke kanan dan kiri. Ternyata Irving memegang rokoknya, bersandar santai. Sedangkan Karl, fokus arah matanya ke koran. Siang hari yang cerah, tiba - tiba terdapat meja yang telah terisi dengan 3 cangkir kopi.
Senyuman tulus Mr. Bastian mulai melebar. Bahkan tampak keluar air rindu di kedua bola matanya menetes perlahan. Ekspresi muka yang tidak pernah ditunjukannya sejak dulu.
"Dih, Irving cepat bawa popok untuk Bastian! Dia nangis tuh! kekekekeke!" suara Karl mulai bersahutan, terdengar mengejek.
Normalnya Bastian marah di kala itu, tapi untuk saat ini tidak. Justru, Mr. Bastian malah semakin menangis. Menangis bahagia karena pada akhirnya mereka bercengkrama bersama.
Kini, tiga orang itu kembali mengobrol seperti yang diimpikan Mr. Bastian. Obrolan itu semakin dalam, dan dalam. Mr. Bastian tidak pernah menyangka bahwa selama ini hal yang hilang darinya adalah momen ini, di mana mereka bertiga kembali berkumpul, kembali ke masa muda mereka.
Obrolan itu seolah tidak memberi kesadaran waktu saking asyiknya. Mr. Bastian juga telah meminta maaf pada Karl. Hanya saja, Irving dan Karl dalam beberapa saat izin untuk ke toilet.
Hingga entah berapa waktu lamanya pula, Mr. Bastian masih menunggu.
Hingga entah berapa waktu lamanya pula, kedua kursi itu kembali kosong.
Hingga entah berapa waktu lamanya, akhirnya Mr. Bastian tersadar sedikit akan hal yang dilupakannya karena telah berumur. Akan hal yang dilupakannya karena terlalu lama bersenang - senang. Akan hal yang dilupakannya, bahwa sebenarnya dirinya telah melakukan kesalahan yang besar dan diam - diam pada The Bears sehingga mereka bubar. Akan hal yang dilupakannya sedari lama, kerakusan.
Akan hal yang dilupakannya agar dia harus kembali berdiri secepat mungkin setelah duduk.
Pintu studio seni ukir terbuka, Viscenzo dan Sigismunda pun masuk. Mereka adalah dua manajer menampilkan kontras karakter mereka. Antara htam dan putih seperti tuxedo yang mereka pakai. Antara sikap antusias humoris dan serius. Antara wanita dan pria.
"Sigismunda, kau yakin ini yang terbaik? Hehehe, tampaknya kursi itu lebih utuh dari sebelumnya?"
Sigismunda itu tidak langsung menjawab. Mereka kini bersama - sama menghampiri kursi itu. Vincenzo, pria 50 tahunan dengan tuxedo hitam itu mengambil senter yang amat terang dari saku tusedonya.
Ketika senter itu dinyalakan, di kursi tengah, yang terdapat tulisan berupa goresan usil "tolong duduk di sini!" kini memancarkan bayangan manusia. Sementara itu, kursi giliran kursi yang kanan, muncul tulisan yang sama.
"Butuh dua lagi...." Ia memejamkan mata sambil menghela nafas. Ia tanpa membuang - buang waktu segera keluar dari tempat itu untuk melakukan hal lain.
"Waaaah, kukira kau akan lebih sedih dari ini? Hm... apa yang terjadi?" Ekspresi dan nada Vincenzo selalu terlihat antusias dan malahan kini agak cekikikan.
Sigismunda terhenti sejenak.
"Aku ini memang sedih loh...." Sigismunda menghela nafas. "Well, lagipula kau juga ingat 'kan kasus korupsi besar - besaran di The Bears?"
"Hooooh.... Kalau tak salah waktu itu... satu orang pria-eh maksudku manajer mereka, benar? Mereka dieksekusi loh! Wow, menakutkan sekali~" Meski berkata begitu, tampakny Vincenzo hanya bergurau dan tertawa dalam hati.
"Begitulah...." katanya bergumam sebelum pergi. "Anehnya, setelah kematian itu Karl tidak pernah muncul di televisi lagi..."
Sigismunda kemudian keluar dan melewati lorong remang - remang.
'Adalah bagaimana akhirnya orang bisa melupakan dosa dengan rute paling rumit' pikirnya dalam - dalam dan terus berjalan. 'Dan bagaimana, dosa itu mengingatkannya lagi melalui rute yang rumit juga,'
ns 172.70.127.153da2