Mountain Whisper
Sebuah mobil SUV berkapasitas 6 penumpang melaju dengan konstan, 40 km/jam, dengan tenang dan nyaman. Pasalnya aku sedang mengobrol dengan istriku, sementara jalanan agak remang – remang. Kami sedang menuju pegunungan Terashiyama, berangkat dari prefektur Yamanashi dan kurang lebih perjalanan memakan waktu 2 jam.
Hari ini kami memang sedang berlibur ke rumah nenek. Aku sempatkan mengambil cutiku tiga hari, mulai dari hari besok, rabu, supaya bisa berlibur seminggu.
“Sayang, kau sudah beli wine untuk ayah?” tanyaku sambil menoleh sesaat, sementara roda stir dan mata mobil masih dalam kendaliku.
Pagi ini sebelum bekerja, aku berpesan kepadanya untuk membeli beberapa oleh – oleh khas Yamanashi.
“Ah, Sunitory dan Sadonoya, ‘kan? Semua juga kubeli yang jenis Red Wine, kok,”
“Kalau Kikyou Shingen Mochi?
Kikyou Shingen Mochi adalah mochi yang ditaburi tepung kinako (tepung dari kedelai) dan dilumuri gula merah. Teksturnya chewy dengan rasa manis serta rasa kacang.
“8 box,” tambahnya. “Aku juga sudah belikan suplemen kesehatan untuk mereka,”
“Oh ya, umbi – umbi an? Sama seafood kesukaan ayah dan ibu?”
Yukiyo mengangguk. “Cumi – cumi dan teripang, kan?”
“Istri pintar!”
“Heh, jadi kau selama ini berpikir aku bodoh?” balasnya sambil lengan kanannya bersandar di kaca mobil dan membuang muka. Sementara lengan kirinya mengusap – ngusap perutnya yang ketiga kalinya membesar.
“Baru dipuji sudah begitu. Bisa marah juga ya…”” kataku sambil agak menggoda.
“Ya jangan salah pikir, aku ini bukan marshmallow, yang selalu empuk dan manis,” tambahnya. “Lagipula kau bisa lihat kenapa kompartemen belakang kita penuh? Kita ini memang seperti menyetok makan setahun!”
“Hehehe, demi dirimu dan anak kita dong!”
Istriku, Yoshigahara Yukiyo, adalah wanita jepang tulen, punya rambut lurus sebahu berwarna hitam, dan tipikal wanita tenang dan humoris. Aku menikahinya karena Yukiyo wanita yang simpel, pengingat yang luar biasa, serta tidak kaku.
Aku sudah lama kenal dengannya, bahkan setelah bekerja selama 10 tahun. Dia ini tidak banyak tingkah dan selalu apa adanya. Bohong sih kalau aku tidak bilang karena fisiknya. Hidungnya yang mancung seperti orang barat dan pipinya selalu mengembang ketika marah. Sisi baiknya, aku jadi tahu ekspresi apa yang ia terangkan.
“Yukiyo… kalau kamu minta sesuatu, minta saja. Jangan sungkan – sungkan….” Aku menginjak rem sesaat, lalu menaikkan kecepatan karena mobil sedan putih di depan kami terlalu pelan. Aku tancap gas untuk menyalipnya dan kembali ke kecepatan konstan, 40 km/jam.
“Kenapa kau tiba – tiba seperti sinterklas?”
“Yukiyo… sinterklas tidak ada di musim gugur…..”
Yukiyo tidak langsung menjawab. Sepertinya dia tahu arah pembicaraanku ini. Sementara aku memutar stir ke kanan dalam beberapa detik.
Aku hanya ingin Yukiyo tidak terlalu memikirkan Kenjiro, atau bayi yang dikandungnya 6 bulan saat ini. Aku hanya ingin dirinya bahagia dan semangat. Bahkan aku rela mengambil cuti karena dia bilang ingin pulang ke kampung halaman, pegunungan Terashiyama, di Takayama.
Kini mobil kami sedang di posisi dataran tinggi. Pohon – pohon ek dahan dan daunnya ada yang melambai sehingga menutupi cahaya lampu jalan. Walaupun aku tak terlalu khawatir, mobil SUV ini punya lampu depan yang terang.
Padahal ini baru pukul 7.40 malam, tapi suasana sangat hening sekali. Mobil terkadang lewat, toh ini juga dua jalur. Aku yang terbisa menurunkan kaca jendela mobil bisa merasakan anginya bertiup pelan dan menenangkan. Seolah gunung sedang berbisik kepada kami.
“Shimei, Machi, nanti sampai di rumah kakek nenek, mau makan apa?” tiba – tiba istriku, Yukiyo, bernada semangat
Shimei adalah putra kami pertama yang duduk di kelas tiga SD, sedangkan Machi adalah putri kami yang masih kelas satu. Mereka sangat lucu dan mewarisi sifat Yukiyo, humoris dan tenang. Dan mereka pribadi yang jujur.
“Salmon, ibu!” sahut Shimei dengan riang.
Sedangkan Machi menyuarakan keinginannya juga, “Belut!”
Aku dan Yukiyo lupa apakah kami pesan belut atau tidak ya?
“Machi… selain belut bisa?”
Machi menggerutu kecil. Tapi tentu ia bukan tipikal pengambek.
“Teripang!” sahutnya.
“Oke, teripang bakar, ya!?”
Meski angin malam gunung semakin menggigil dan merinding, kehangatan obrolan kami masih jauh lebih baik daripada jaket wol kami berdua. Obrolan kami tak terasa hingga memasuki terowongan. Setelah terowongan dan dalam jarak sekitar 1 km, kami pasti sampai.
“Ibu, Shimei dan Machi kangennnn banget sama ibu dan ayah!” kata Machi dengan rindu, seolah hanya kata – kata itu saja aku bisa merasakan rangkulan tangannya. Yukiyo pun begitu seharusnya.
Lalu Shime menimpali, “Karena itu, semoga Kenjiro sehat selalu dan lucu seperti kami!”
Dalam beberapa menit kami sampai di rumah tua dua tingkat. Saat kami turun, barulah aku merasakan sedikit keanehan.
Ayah dan Ibu juga telah menyambut kami dan membantu menurunkan barang bawaan. Dan dalam tiga menit, semua barang telah dikeluarkan dan berpindah ke dalam rumah.
“Nak, ayo kita turun!” sahut Yukiyo memanggil dan memandang ke arah mobil SUVku yang pintunya telah dibuka semua.
Sejak saat itulah aku sadar, sementara Yukiyo mulai menangis kembali. Ayah dan Ibu kini segera membawa Yukiyo yang terisak – isak.
Aku diam sesaat sambil bergumam sedikit. Aku kembali mengingat hal yang ingin sekali dilupakan Yukiyo.. Tentang catatan kecil. Shimei operasi usus buntu yang gagal, sedangkan Machi… punya jantung lemah.
Aku mulai mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Asapnya kuhempaskan ke langit – langit,
“Shimei… Machi… maafkan ayah dan ibu, nak. Terima kasih telah hadir bersama kami, walau singkat.”
26Please respect copyright.PENANAmB6u1ZGVjd