Aku, Ardi, masih duduk di ujung ranjang kami yang kusut, di kamar yang kini sumpek dengan bau asap rokok Habib Hamza dan aroma keringat dari keintiman mereka. Cahaya lampu redup menyinari ruangan, membuat suasana semakin pengap, sementara aku merasa seperti tawanan, dihadapkan pada Habib yang berdiri dengan sarung longgar, dadanya berkilau keringat. Pintu kamar berderit pelan, dan Fitri kembali dari kamar mandi, langkahnya ringan tapi wajahnya kaku. Kain tipis yang melilit tubuhnya masih basah, menempel di kulitnya yang putih mulus, menonjolkan lekuk tubuhnya yang indah. Ia melangkah masuk, tapi entah kenapa, ia memalingkan wajahnya dariku, matanya menghindari pandanganku seperti tadi sore, seolah aku bukan suaminya, melainkan orang asing yang tak diinginkan.
Aku menatapnya, jantungku berdegup kencang, campuran cemburu dan kepedihan membakar dadaku. Fitri berjalan ke lemari kayu di sudut kamar, mengambil pakaian tidur—daster tipis berwarna merah muda yang hampir transparan, pakaian yang biasanya ia kenakan untukku di malam-malam mesra kami. Dengan gerakan cepat, ia melepaskan kain lembab yang masih beraroma keringat dari bercinta dengan Habib, menggantinya dengan daster itu, tanpa bra, hanya celana dalam hitam yang samar terlihat di bawah kain tipis. Tubuhnya yang semok, pinggul dan pinggangnya yang indah, kini terpampang di depanku, tapi bukan untukku—melainkan untuk Habib, yang menatapnya dengan senyum penuh kepuasan. Aku merasa seperti ditampar, melihat istriku berdandan untuk pria lain di kamar kami.
Aku tak tahan lagi. Dengan suara gemetar, aku bertanya, “Kenapa kamu seperti ini, Fitri?” Nada suaraku penuh gugup, hampir memohon, berharap ia menoleh dan memberikan jawaban yang bisa menjelaskan pengkhianatan ini. Tapi Fitri tak menjawab, hanya menunduk, rambutnya yang masih basah jatuh menutupi wajahnya, seolah aku tak ada. Ia terus mengatur daster di tubuhnya, menyesuaikan kain tipis itu dengan gerakan yang anggun namun dingin, seperti wanita yang tak lagi peduli pada suami yang berdiri di depannya. Keheningannya seperti pisau, memotong sisa harga diriku, dan aku merasa darahku mendidih, campuran luka dan kemarahan yang tak bisa kutahan lagi.
“Fitri!” teriakku, suaraku memecah keheningan kamar, “Kenapa kamu mengkhianatiku?!” Nada suaraku kasar, penuh keputusasaan, menggema di dinding kayu yang sempit. Fitri tersentak, matanya melebar, wajahnya pucat ketakutan, dan ia mundur selangkah, daster tipisnya bergoyang pelan. Aku tak pernah melihatnya setakut itu, dan itu membuatku semakin terluka—ia tak takut padaku sebagai suami, tapi takut karena aku berteriak, seolah aku ancaman, bukan pria yang mencintainya selama delapan tahun. Habib Hamza, yang selama ini diam, tiba-tiba melangkah maju, wajahnya mengeras, dan sebelum aku sadar, tangannya melayang, menempeleng kepalaku dengan keras hingga aku terhuyung dan jatuh ke lantai.
“Jaga lisanmu, Ardi!” bentak Habib, suaranya penuh otoritas, matanya menyala seperti singa yang mempertahankan wilayahnya. “Ini istriku sekarang!” Ia melangkah mendekati Fitri, memeluknya erat, tangannya melingkar di pinggangnya, menarik tubuhnya yang berdaster tipis ke dadanya yang berbulu. Fitri merapat ke pelukannya, masih menunduk, tak berani menatapku, wajahnya penuh ketakutan bercampur rasa aman di sisi Habib. Aku memegang pipiku yang memanas, rasa sakit dari tamparan itu tak sebanding dengan luka di hati. Aku merasa seperti tawanan, bukan hanya di kamar ini, tapi di hidupku sendiri, dihina di ranjang yang seharusnya milikku.
Aku terduduk di lantai, menatap mereka berdua—Fitri yang menempel pada Habib, daster tipisnya memperlihatkan lekuk tubuhnya, dan Habib yang berdiri gagah, seperti tuan rumah yang menguasai. Kamar yang sumpek, penuh bau asap rokok dan keringat, terasa seperti penjara, dan aku tahanan yang tak punya hak bicara. Aku teringat desahan Fitri tadi, yang begitu intens dan asing, dan wajahnya yang lelah namun bahagia saat keluar dari kamar. Kini, ia berdiri di sisi Habib, seperti istri yang patuh, sementara aku, suami sahnya, terhina di lantai kamar kami. Aku ingin berteriak lagi, menuntut jawaban, tapi tamparan Habib dan pelukannya pada Fitri membuatku merasa kecil, tak berdaya.
“Ardi, keluar,” kata Habib, suaranya dingin, tangannya masih memeluk Fitri, jari-jarinya mengelus pinggangnya dengan penuh keakraban. Fitri tak menatapku, hanya menunduk, rambut basahnya menutupi wajahnya, seolah malu tapi tak ingin menghadapku. Aku bangkit dengan susah payah, kakiku lemas, pipiku masih panas dari tamparan. Aku menatap ranjang kusut, sprei yang masih hangat dari tubuh mereka, dan asbak berisi puntung rokok Habib. Kamar ini, yang dulu penuh aroma gamis Fitri dan cinta kami, kini ternoda, bukan hanya oleh asap rokok, tapi oleh malam pertama mereka yang menghapusku dari hidup Fitri.
Aku melangkah keluar, pintu kamar berderit saat kutarik, meninggalkan Fitri dan Habib yang masih berpelukan. Aku teringat Fahri, yang tidur pulas di ruang tamu bersama mertuaku, tak tahu bahwa ayahnya baru saja ditampar dan dihina di kamar ini. Aku kembali ke sofa, tubuhku ambruk, air mata mengalir tanpa suara, membasahi bantal kecil yang kugenggam. Aku membayangkan Fitri dan Habib melanjutkan malam mereka, mungkin kembali bercinta, dengan daster tipis yang kini menempel di tubuh Fitri, tanpa bra, hanya celana dalam, seperti hadiah untuk Habib. Gambar itu seperti racun, memperdalam luka yang tak kunjung sembuh.
Aku menutup mata, mencoba menghapus bayangan Fitri yang memalingkan wajahnya, dan tamparan Habib yang membuatku jatuh. Aku merasa lebih buruk dari orang asing—aku seperti pecundang, suami yang gagal, yang tak bisa menandingi karisma atau kemewahan Habib Hamza. Aku teringat restu mertuaku, yang membuatku seperti tak pernah ada, dan desahan Fitri yang tak pernah kukenal, yang kini jadi milik pria lain. Aku ingin lari, melaju dengan motor entah ke mana, tapi Fahri ada di sini, dan aku tak bisa meninggalkannya. Aku terjebak, di sofa ini, di rumah yang kini jadi panggung kebahagiaan Fitri dan Habib.
Udara malam kota M semakin dingin, suara jangkrik dan dengkur mertuaku di kasur lipat jadi satu-satunya pengiring. Aku memeluk bantal, mencium aroma rumah yang kini bercampur bau asing—mungkin parfum Habib atau keringat Fitri. Aku menangis dalam hati, isakku tertahan agar tak membangunkan Fahri. Aku teringat daster tipis Fitri, tubuhnya yang indah, dan bagaimana ia memilih Habib, bukan aku, di kamar yang seharusnya suci bagi kami. Aku bertanya-tanya, apakah masih ada harapan untuk kami, atau apakah Fitri sudah sepenuhnya milik Habib, meninggalkanku sebagai bayangan di rumah ini.
Aku rebah di sofa, menatap plafon yang lapuk, pikiran dipenuhi wajah Fitri yang bahagia, tamparan Habib, dan kata-katanya, “Ini istriku.” Malam ini, malam pertama mereka, telah menghancurkan sisa harga diriku, meninggalkanku sebagai tawanan di rumahku sendiri. Aku berdoa dalam hati, “Ya Allah, kembalikan Fitri, atau berikan aku kekuatan,” tapi doa itu terasa kosong, seperti berbisik ke kegelapan. Aku memejamkan mata, berharap tidur bisa menghapus luka ini, tapi suara derit kasur dari kamar, yang mungkin mulai lagi, terus menghantuiku, mengingatkanku bahwa Fitri kini milik pria lain, dan aku tak lagi punya tempat di hatinya.
454Please respect copyright.PENANAVFfPLppS3J
--------------------
Aku, Ardi, melangkah keluar dari kamar yang sumpek, pintu kayu berderit saat kututup, meninggalkan Fitri dan Habib Hamza yang masih berpelukan di dalam, daster tipisnya dan sarung longgarnya seperti simbol kekalahan terakhirku. Begitu pintu tertutup, aku mendengar bunyi kunci diputar dari dalam, mengunci aku dari ranjang yang seharusnya milik kami, dari Fitri yang kini milik pria lain. Aku berdiri di depan pintu, tangan memegang pipiku yang masih panas dari tamparan keras Habib, dan merasakan sesuatu yang lengket—darah menetes perlahan dari sudut bibirku, luka kecil dari telapak tangannya yang penuh kuasa. Aku menatap pintu yang terkunci, merasa seperti pecundang sepenuhnya, seorang suami yang diusir dari kamarnya sendiri, dihina di rumahnya sendiri.
Aku menyentuh darah itu, jari-jariku gemetar, dan kepalaku dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab: apakah ini cuma mimpi? Apakah Fitri, yang tadi memalingkan wajah dengan daster tipis, benar-benar istriku yang kini bercinta dengan Habib Hamza? Aku mencubit lenganku, berharap terbangun, tapi rasa sakit di pipi dan darah yang menetes terlalu nyata. Aku sudah mencapai titik frustrasi betul, pikiranku kacau, seperti tersesat di labirin tanpa pintu keluar. Aku teringat desahan Fitri yang intens, wajahnya yang bahagia, dan tamparan Habib yang membuatku jatuh—semuanya seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Aku ingin ini hanya ilusi, tapi pintu terkunci dan darah di jari-jariku menegaskan bahwa ini nyata.
Keputusasaan menyerang, dan aku mulai disorientasi, dunia ini terasa seperti pecah. Tanpa sadar, aku memukuli wajahku sendiri, tanganku mengepal, menghantam pipi yang sudah memar, berharap rasa sakit itu akan membangunkanku dari mimpi buruk ini. Aku tidak peduli kalau ini sakit—sakit fisik tak ada artinya dibandingkan luka di hati. Aku memukul lagi, lebih keras, di dahi, di rahang, sambil menangis, air mata bercampur darah yang menetes dari bibirku. “Fitri! Fitri!” teriakku, suaraku parau, memanggil-manggil namanya di depan pintu yang terkunci, berharap ia keluar, menjelaskan, atau mengatakan bahwa ini semua salah paham. Tapi hanya keheningan yang menjawab, kecuali suara jangkrik dari luar dan dengkur mertuaku di ruang tamu.
Aku terus memukuli wajahku, kulitku memanas, lebam mulai terbentuk di pipi dan dahi, tapi aku tak berhenti. Aku ingin semuanya kembali seperti semula—Fitri yang mencintaiku, ranjang kami yang penuh tawa, malam-malam mesra di sofa tanpa bayang-bayang Habib Hamza. Aku menangis lebih keras, isakku menggema di lorong sempit, nama Fitri keluar berulang-ulang dari mulutku seperti doa yang putus asa. “Fitri, kenapa kamu lakukan ini?” gumamku, suaraku patah, tapi pintu tetap terkunci, tak ada tanda-tanda ia akan keluar. Aku merasa seperti pecundang, bukan hanya karena tamparan Habib, tapi karena aku tak bisa mengembalikan istriku, tak bisa melawan pria yang kini menguasai kamar dan hidupku.
Tiba-tiba, suara kecil dari ruang tamu membuatku tersentak. “Yah? Bapak kenapa?” Itu Fahri, anakku, suaranya penuh kebingungan dan ketakutan. Aku menoleh, melihatnya berdiri di dekat kasur lipat, matanya yang mengantuk kini melebar menatap wajahku yang lebam dan berdarah. Mertuaku masih tidur pulas, tak terganggu oleh keributan ini, tapi Fahri mulai menangis, suaranya pelan namun menusuk. “Yah, wajah Bapak kenapa?” tanyanya, berlari mendekat, tangannya kecil menyentuh kakiku. Aku tersadar, melihat pantulan wajahku di cermin kecil di dinding—pipi memar, darah kering di sudut bibir, dan mata sembab seperti orang gila. Aku membuat anakku takut, dan itu seperti pukulan terakhir pada harga diriku.
Aku berlutut, memeluk Fahri erat, mencoba menenangkannya meski air mataku masih mengalir. “Bapak nggak apa-apa, Nak,” dustaku, suaraku serak, tapi isak Fahri semakin keras, tangannya mencengkeram bajuku. Aku teringat betapa polosnya ia, tak tahu bahwa Bunda-nya kini di kamar dengan pria lain, bahwa ayahnya baru ditampar dan memukuli dirinya sendiri di depan pintu terkunci. Aku menyeka darah di bibirku, mencoba tersenyum untuk Fahri, tapi wajahku pasti tampak mengerikan, lebam dan berdarah, seperti pecundang yang tak bisa melindungi keluarganya. Aku memeluknya lebih erat, berharap kehangatannya bisa mengusir mimpi buruk ini, tapi pintu kamar yang terkunci terus menatapku, seperti mengolok-olok kegagalanku.
Aku membawa Fahri kembali ke kasur lipat, menyelimutinya, berbisik, “Tidur lagi, ya, Nak,” meski suaraku gemetar. Ia masih menangis pelan, tapi matanya mulai terpejam, kelelahan mengalahkan ketakutannya. Aku kembali ke sofa, tubuhku ambruk, wajahku sakit dari pukulan yang kuberikan sendiri, dan darah masih terasa di ujung bibir. Aku menatap pintu kamar, yang kini sunyi, tapi aku tahu di dalamnya Fitri dan Habib Hamza mungkin kembali berpelukan, daster tipisnya menempel di tubuhnya, ranjang kami ternoda oleh malam pertama mereka. Aku merasa disorientasi, dunia ini terasa seperti ilusi, tapi sakit di wajahku dan tangis Fahri terlalu nyata untuk disebut mimpi.
Aku memegang kepalaku, lebam di dahi terasa panas, dan air mata terus mengalir, membasahi sofa. Aku masih bertanya-tanya, apakah ini cuma mimpi? Tapi tamparan Habib, desahan Fitri, dan pintu yang terkunci mengkonfirmasi bahwa ini kenyataan—kenyataan yang menghancurkan delapan tahun pernikahan kami. Aku ingin memukuli wajahku lagi, berharap terbangun, tapi tangis Fahri tadi menahanku—aku tak boleh membuatnya lebih takut. Aku hanya bisa menangis dalam hati, memanggil nama Fitri dalam bisik yang tak terdengar, berharap ia keluar dan mengatakan bahwa ini semua salah paham, tapi pintu tetap terkunci, seperti penghalang antara aku dan hidup yang dulu kukenal.
Aku rebah di sofa, menatap plafon yang lapuk, wajahku perih, hati lebih perih. Aku teringat Fitri yang memalingkan wajah, daster tipisnya, dan desahan yang tak pernah kuberikan. Aku teringat tamparan Habib, kata-katanya yang menyebut Fitri istrinya, dan bagaimana aku jatuh seperti pecundang. Aku merasa seperti hantu, terjebak di rumah ini, di depan pintu yang mengunci Fitri dan cinta kami. Aku ingin semuanya kembali seperti semula—Fitri yang mencintaiku, malam-malam mesra di sofa, keluarga kecil kami yang utuh. Tapi kenyataan, dengan pintu terkunci dan wajahku yang lebam, menghantamku tanpa ampun.
---------------
Aku, Ardi, berlutut di sisi kasur lipat di ruang tamu, memeluk Fahri yang masih menangis pelan, wajah kecilnya penuh ketakutan melihat wajahku yang lebam dan berdarah. Udara malam kota M terasa semakin dingin, suara jangkrik dari luar bercampur dengkur pelan mertuaku yang masih tidur pulas, tak terganggu oleh keributan tadi. Aku berbisik menenangkan Fahri, “Bapak baik-baik saja, Nak,” meski suaraku serak dan air mata masih menggenang. Aku menyeka wajahnya, mencoba tersenyum meski pipiku perih dari tamparan Habib Hamza dan pukulan yang kuberikan sendiri. Fahri, dengan polosnya, memegang tanganku, matanya yang mengantuk menatap luka di bibirku, dan berkata, “Yah, Bapak berdarah.” Aku mengangguk, tak ingin menjelaskan bahwa darah ini dari tamparan pria yang kini bersama ibunya di kamar.
Aku bangkit, mengambil kain lap basah dari dapur, lalu kembali ke ruang tamu untuk merawat luka di wajahku. Di cermin kecil di dinding, aku melihat wajahku yang memar—pipi kiri merah membengkak, sudut bibir berdarah kering, dan dahi lebam dari pukulanku sendiri. Fahri memandangku, masih dengan mata penuh kekhawatiran, dan aku berusaha menenangkannya, menyeka darah dengan kain lap, meski setiap sentuhan terasa perih. “Bapak cuma jatuh tadi, Nak,” dustaku, tak ingin ia tahu bahwa darah ini akibat tamparan Habib dan keputusasaanku sendiri. Aku membalut luka kecil di bibir dengan kain bersih, berharap Fahri tak bertanya lebih lanjut, karena aku tak punya jawaban untuk menjelaskan kehancuran ini tanpa menyakitinya.
Fahri, dengan suara kecil, tiba-tiba berkata, “Yah, besok Minggu jalan-jalan, ya? Sama Bapak sama Bunda.” Kata-katanya begitu polos, penuh harapan, seperti anak yang tak tahu bahwa keluarganya sedang runtuh. Aku tersenyum pahit, menahan air mata, dan mengangguk, “Iya, Nak, besok kita jalan-jalan.” Tapi dalam hati, aku tahu itu mungkin hanya janji kosong—Fitri, yang kini di kamar dengan Habib Hamza, tak lagi istriku yang dulu, dan aku tak yakin ia akan mau jalan-jalan bersamaku. Fahri, yang sebegitu polosnya, tak tahu tentang desahan ibunya yang intens, pintu kamar yang terkunci, atau tamparan yang membuat ayahnya berdarah. Aku menyelimutinya, mencium keningnya, dan akhirnya ia tertidur lagi, wajahnya tenang, tak terbebani oleh luka yang kini kurasakan.
Aku kembali ke sofa tua, tubuhku lemas, wajahku masih perih dari luka dan memar. Ruang tamu terasa pengap, meski jendela terbuka, dan suara dengkur mertuaku serta tidurnya Fahri jadi satu-satunya pengiring malam yang kelam. Aku menatap plafon kayu yang lapuk, pikiranku dipenuhi bayangan Fitri dalam daster tipis, wajahnya yang bahagia setelah bercinta dengan Habib, dan tamparannya yang membuatku jatuh seperti pecundang. Aku merasa disorientasi, masih bertanya-tanya apakah ini mimpi, tapi luka di wajahku dan pintu kamar yang terkunci terlalu nyata. Aku ingin semuanya kembali seperti semula—Fitri yang mencintaiku, keluarga kecil kami yang utuh—tapi kenyataan, dengan desahan dan asap rokok di kamar, menghantamku tanpa ampun.
Dalam keheningan, aku merangkak ke sudut ruang tamu, mengambil sajadah kecil yang tersimpan di rak, dan mulai berdoa, bermunajat kepada Allah. Aku bersujud, air mata membasahi sajadah, dan doaku panjang, penuh keputusasaan. “Ya Allah, laknat Habib Hamza dan Fitri yang telah mengkhianatiku,” bisikku, suaraku parau, penuh kemarahan dan luka. Aku memohon agar mereka merasakan sakit yang kurasakan, agar keadilan menimpakan hukuman atas pernikahan yang menghancurkan hidupku. Doaku terus mengalir, dari tengah malam hingga sepertiga malam, setiap kata seperti jeritan hati yang tak bisa kuluapkan di depan Fitri atau Habib. Aku memohon kekuatan, atau setidaknya keberanian, untuk menghadapi fajar yang mungkin tak membawa harapan.
Tiba-tiba, langit yang tadinya tenang mulai bergemuruh, awan gelap menggantikan bintang-bintang. Hujan deras turun, gemuruh air menghantam atap seng rumah kami, diselingi petir yang menggelegar, seolah langit ikut menangis bersama luka ini. Suara hujan begitu kencang, menenggelamkan dengkur mertuaku dan suara jangkrik, bahkan bayangan desahan Fitri yang masih menghantui. Derasnya hujan dan kilatan petir, yang sesekali menerangi ruang tamu, membuatku melupakan luka di wajahku untuk sesaat. Aku menatap jendela, air hujan mengalir di kaca, dan rasanya seperti dunia sedang membersihkan dirinya, meski hatiku tetap kotor oleh cemburu dan kepedihan.
Aku kembali ke sofa, tubuhku basah oleh keringat dan air mata, wajahku masih perih dari memar dan luka. Hujan terus mengguyur, udara dingin menyelinap, membalutku seperti selimut yang tak menghangatkan. Aku merebahkan diri, menarik bantal kecil yang berbau rumah, tapi kini bercampur aroma asing—mungkin sisa parfum Habib dari ruang tamu tadi sore. Aku menutup mata, suara hujan dan petir jadi pengantar, dan perlahan, kelelahan mengalahkan kepedihan. Aku tertidur, dalam udara dingin ruang tamu, di atas sofa yang jadi tempat pengasinganku, ditemani gemuruh hujan yang seolah menjawab doaku, meski aku tahu laknatku mungkin tak akan mengubah apa pun.
Tidurku tak nyenyak, dipenuhi mimpi-mimpi buram tentang Fitri yang memalingkan wajah, Habib yang menamparku, dan Fahri yang menangis melihat wajahku berdarah. Tapi suara hujan, yang terus deras, seperti menenangkan, meski hanya sementara. Aku teringat permintaan Fahri untuk jalan-jalan besok, polosnya harapan anakku yang tak tahu bahwa ibunya kini di kamar dengan pria lain. Aku membayangkan ranjang kami, yang kini ternoda oleh malam pertama mereka, dan pintu yang terkunci seperti dinding antara aku dan Fitri. Doaku tadi, penuh kemarahan, terasa seperti pengkhianatan pada imanku sendiri, tapi aku tak bisa menahan rasa sakit yang membakar.
Aku terbangun sebentar, suara petir masih menggelegar, dan aku menatap kasur lipat tempat Fahri tidur. Wajahnya tenang, tak lagi menangis, tapi kata-katanya tentang jalan-jalan bersama Fitri terus bergema. Aku merasa bersalah, membuatnya takut dengan wajahku yang lebam, tapi juga tak tahu bagaimana menjelaskan bahwa keluarganya sedang hancur. Aku teringat tamparan Habib, kata-katanya yang menyebut Fitri istrinya, dan daster tipis yang menempel di tubuh Fitri, seperti simbol bahwa ia kini milik pria lain. Aku menangis lagi, air mata membasahi bantal, tapi suara hujan menenggelamkan isakku, membuatku merasa tak terlalu sendiri dalam luka ini.
Aku kembali terlelap, tubuhku lemas di sofa, udara dingin membelai wajahku yang memar. Hujan terus turun, petir sesekali menyambar, dan aku merasa seperti pria yang tersesat di tengah badai, baik di luar maupun di dalam hati. Aku teringat doaku yang panjang, penuh laknat untuk Fitri dan Habib, dan bertanya-tanya, apakah Allah mendengar, atau apakah aku hanya berbicara pada kegelapan? Aku ingin semuanya kembali seperti semula—Fitri yang mencintaiku, keluarga kecil kami yang bahagia—tapi pintu kamar yang terkunci dan luka di wajahku mengingatkanku bahwa itu mungkin tak akan pernah terjadi.
Malam terus berjalan, hujan tak kunjung reda, dan sofa ini jadi tempatku menanggung luka. Aku teringat Fahri, yang polos dan penuh harapan, dan itu satu-satunya yang menahanku dari keputusasaan total. Aku membayangkan besok pagi, mungkin Fitri akan keluar dari kamar, masih dengan wajah bahagia, dan Habib akan berdiri di sisinya, seperti tuan rumah. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan—menuntut jawaban, atau hanya diam seperti pecundang. Tapi untuk saat ini, aku tertidur, ditemani hujan deras dan petir, di ruang tamu yang dingin, jauh dari Fitri yang kini tidur di pelukan Habib.
Aku bermimpi tentang masa lalu, tentang Fitri yang tersenyum di sofa ini, tentang Fahri yang tertawa di pangkuanku. Tapi mimpi itu selalu berakhir dengan pintu kamar yang terkunci, desahan Fitri yang asing, dan tamparan Habib yang membuatku jatuh. Hujan terus mengguyur, seperti mencuci luka di wajahku, tapi tak bisa membersihkan luka di hati. Aku terbangun sesaat, mendengar gemuruh petir, dan menatap plafon, berharap fajar membawa kejelasan, meski aku tahu itu mungkin hanya harapan kosong. Aku memejamkan mata lagi, membiarkan hujan dan udara dingin membawaku kembali ke tidur yang rapuh.
454Please respect copyright.PENANAIRfX9EZB1A
454Please respect copyright.PENANAygrZGo7BJx
TO BE CONTINUED
454Please respect copyright.PENANAYhvT924SPh