Di tengah kota, Exel terus berjalan sambil mencari.
Untungnya, tidak ada hal aneh di kota. Exel tidak terlalu paham soal ‘pemanggilan roh’; yang dia tahu cuma satu hal, kalau itu pasti menyangkut para Magus.
Dirinya sendiri bukan Magus resmi; dia cuma seseorang yang kebetulan bisa menggunakan sihir. Kebetulan? Ya. Dia cuma beruntung bertemu dengan seorang penyihir baik ketika dia kecil. Penyihir baik? Memangnya ada frasa seperti itu?
Magus resmi yang dimaksud adalah penyihir tulen yang memiliki tujuan tersendiri, dan mereka tidak akan segan untuk melakukan segala cara demi mencapai tujuan itu. Membunuh orang lain adalah hal yang mudah, jika bukan sebuah kebiasaan bagi seorang Magus.
Itu juga yang diperingatkan oleh Aeon, ketika dulu Exel minta diajari sihir.
Selain arti yang jelas-jelas untuk memanggil roh, dia tidak tahu apa-apa soal pemanggilan roh ini. Tapi satu hal yang pasti, jika itu menyangkut para Magus resmi, maka pasti itu hal yang buruk. Benar-benar buruk.
Apa Hvel mencoba mencegah aku masuk ke dalam kota untuk melindungiku?
Pikiran itu terbesit secara tiba-tiba. Benar atau tidaknya hal itu tidak penting. Keberadaan Hvel jauh lebih penting sekarang. Tapi, dimana dia harus mencari adiknya? Lalu, apa tujuan Hvel membuatnya tertidur di hutan pagi tadi?
Tadi, berapa lama aku tidur...?
Sementara hari sudah semakin sore.
-=-=-
Setelah terpikir sebuah ide, Exel berjalan ke arah tempat ia bekerja, Adventurer’s Guild. Dia ada di luar bangunan besar nan mewah itu, karena selain sebagai tempat berkumpul para petualang, tempat itu juga sebuah restoran sekaligus penginapan.
Tidak ada salahnya dicoba, kan?
Sekarang hanya tinggal mengorbankan beberapa koin emas. Dia membutuhkan seseorang dengan mobilitas tinggi dan kemampuan mencari yang hebat. Dengan itu, pasti Hvel bisa ditemukan.
Tapi setelah dia membuka pintu masuk, Exel benar-benar kecewa.
Suasana ramai yang seharusnya menyambut dirinya, meski hari sudah petang, sama sekali tidak dia dapatkan. Kosong, tidak ada siapapun di dalam kecuali dua orang yang mungkin memang bertugas untuk menjaga bangunan ini.
“Baru juga mulai, kita udah didatangi musuh. Hei, petir, bisa kamu tangani dia?”, ucap salah satu dari dua orang itu.
“Yah... siapa kalau bukan Exeleion. Aku sudah menaruh curiga padanya sejak dulu.”, balas yang satunya.
Kedua orang itu menghampiri Exel.
M-mereka...!
Sekarang terlihat jelas karena lebih dekat, Exel mengenal siapa kedua orang di depannya itu. Mereka berdua adalah Magus yang ada di Adventurer’s Guild; meski seharusnya identitas mereka sebagai Magus ditutupi, tapi Exel punya satu atau dua sumber informasi yang bisa--
Exel menghentikan lamunannya karena terasa sesuatu yang begitu mengancam sedang dipegang salah satu dari dua Magus tadi.
Biru. Panjang seperti pedang, tapi bentuknya tidak karuan.
“Kau datang kemari karena pemberani atau bodoh?”, tanya pria itu ketika dia melempar benda biru itu pada Exel.
Melempar bukan kata yang tepat, karena benda biru itu masih tetap dipegang oleh pemiliknya. Memanjang mungkin lebih tepat, tapi, mengingat bentuknya yang tidak karuan, dan warna biru terang yang seperti petir...
Secepat kilat, petir itu menyambar Exel.
Tidak, tidak bisa dihindari. Mengandalkan refleks tubuhnya, Exel menghadang petir itu dengan kedua tangannya.
Hingga dia sadar kalau itu adalah tindakan yang bodoh.
“Agh!”
Sekarang, kedua tangannya kaku. Rasa sakit yang menyengat, diikuti oleh matinya seluruh indera peraba di kedua tangannya itu.
“Yah, aku kecewa.”, ujar pria petir tadi.
Sembuh. Penyembuh. Pemulih. Cepat!
Exel langsung merapalkan sihir penyembuh. Secara sinkron, kedua kakinya sudah melangkah menjauh dari pria itu. Keluar dari bangunan tadi.
Cepat! Sembuh!
Tangannya terasa agak membaik, tapi itu masih belum cukup untuk bisa digunakan seperti biasa. Sedikit bisa bergerak. Exel yang menyangka dirinya sudah berhasil kabur ternyata salah besar.
Cahaya merah tipis berbentuk seperti jarum besar menyayat tangannya, meninggalkan luka bakar yang panasnya begitu membakar.
Bersama dengan itu, dia menoleh ke belakang. Ke dua orang tadi yang masih berdiri di depan bangunan Adventurer’s Guild.
Pria yang menjadi rekan si petir, ternyata mampu menembakkan cahaya merah tipis dari ujung jari telunjuknya. Tapi kali ini, mampu Exel hindari.
A-apa?!
Ledakkan lumayan besar terjadi di sebuah rumah tempat jarum merah itu mendarat. Apa itu sihir yang sama yang mengenai tangannya tadi? Bukan, jelas bukan. Yang itu jauh lebih kuat. Sementara itu, sihir penyembuh Exel mulai selesai.
Regenerasi.
-=-=-
Setelah gelapnya malam menghampiri Hvel, akhirnya gadis itu menyadari satu hal.
Sudah dimulai...
Pandangannya tertuju ke arah dinding kota. Sesuai perkiraannya, terasa aura Mana yang begitu pekat. Dinding yang menjadi pelindung untuk mencegah Magus yang ada didalam untuk keluar, atau sebaliknya.
Aku... apa aku bisa kembali?
Hvel menyesali keputusannya. Untuk masuk ke sini, dan membiarkan dirinya sendiri terkurung disini. Kenapa? Kenapa dia harus melakukan semua itu sementara dia bisa kabur dari kota ini bersama kakaknya?
Tapi penyesalan selalu terjadi ketika semuanya sudah terlambat.
... aku harus bisa kembali. Demi kakak.
Setelah menarik napas panjang, gadis tak terlihat itu melanjutkan perburuannya.
-=-=-
Menggenggam sebuah longbow yang hangus separuhnya, Exel melangkah dengan tertatih-tatih.
“Kau melawan dengan baik. Sebagai seorang pemanah, kau harusnya bangga.”, ucap salah satu lawannya.
“Tapi sebagai seorang Magus, jujur, kami kecewa.”, sambung temannya.
Saat ini, Exel tidak peduli lagi lawannya itu siapanya siapa, yang jelas, dua pria itu adalah lawan yang benar-benar tangguh. Mulutnya pun tidak berniat untuk berkata apa-apa.
“Maaf, Exeleion, tapi kami tidak punya waktu semalaman.”
Bersama ucapan itu, petir menyambar, membuat tubuhnya terbaring kaku di atas tanah.
S-sembuh...
Pandangan Exel semakin memudar. Dia sangat tidak yakin dirinya akan dibiarkan hidup. Perutnya yang terlalu mual menandakan kalau sihir pengendali waktu miliknya sudah terlalu banyak digunakan. Maksudnya, sihir penyembuh itu.
Lalu, cahaya merah memenuhi pandangan matanya, membuat dia dipaksa mengetuk pintu sang Kematian. Seperti orang yang akan segera mati pada umumnya, dia pun segera mengingat apa, siapa, yang akan dia tinggalkan...
Adikku...
Hvel. Gadis itu. Yah, dia paling akan menangis selama beberapa hari sebelum akhirnya kembali ke kehidupan normalnya.
Maaf, Hvel. Padahal, kita baru bertemu kemarin...
Api kesadarannya semakin meredup. Rasa sakit, kaku, dan terbakar di seluruh tubuhnya makin terasa.
Ternyata, aku belum melakukan apa-apa untukmu ya...
-=-=-
Setelah mendengar suara ledakkan, gadis tak terlihat itu langsung datang kesini.
Dua Magus sedang bertarung dengan satu Magus lain... yang sepertinya begitu familiar...
Kakak?! Kenapa... kenapa kakak ada disini?!
Hingga kakaknya disambar sebuah petir yang berwarna biru. Terbuat dari Mana. Mana yang berubah wujud seperti itu hanya bisa dilakukan oleh Magus terlatih.
Karena inilah... kakak... kakak seharusnya jangan kesini!
Hvel mencoba sebaik mungkin untuk tidak menjerit. Untuk tidak bersuara. Karena kali ini, dia benar-benar tahu harus melakukan apa.
Kalian... kalian akan mati!
Magus yang satunya lagi hampir selesai merapalkan sebuah mantra. Cahaya merah yang menyilaukan kemudian muncul, tapi Hvel sama sekali tidak peduli soal itu.
Dia hanya terus berlari dengan sunyi, dan setelah cukup dekat, tangannya mengambil sebilah pisau dari balik jubahnya.
Mati!
Secepat yang pertama, Hvel menancapkan pisau itu di orang kedua. Dengan presisi tinggi, tepat di jantung.
Matilah!
Sihir itu berhasil dia gagalkan, karena perapalnya tewas seketika.
Setelah memastikan dua orang itu mati, pandangan dan tubuhnya segera menuju sang kakak. Hvel langsung mengecek hal pertama yang paling dia takutkan, yaitu denyut nadi.
“Syukurlah...”, ucap gadis itu pelan.
-=-=-
Hvel telah melakukan semua prosedur medis yang dia ketahui, dan yang harus dia akui, dia cuma bisa membalut luka kakaknya dengan perban. Dia tidak bisa menggunakan sihir penyembuh.
Dan sekarang, dia harus membawa kakaknya pulang. Di saat seperti ini, tempat umum bisa menjadi medan pertempuran kapan saja.
Hvel cuma bisa memikirkan satu cara. Dia tidak mungkin mengangkat apalagi menyeret kakaknya, jadi, dia memilih menggunakan sihir angin andalannya. Setelah membuat sang kakak yang berbaring tidak terlihat, angin itu juga mengangkatnya beberapa sentimeter di atas tanah.
Tapi sebagai gantinya, Hvel harus membiarkan dirinya terlihat.
“Jadi, kamu dari keluarga mana?”, tanya sebuah suara secara tiba-tiba.
Sama seperti gadis remaja tadi, Hvel bisa merasakan keberadaan Mana yang menandakan kalau dia itu Magus.
“Kamu... kamu ingin bertarung?!”, balas gadis berambut putih langsung ke intinya.
“Ya. Karena itu, ayo katakan nama keluargamu.”, ucap gadis itu sambil menyiapkan dua batu yang dia bawa.
Sementara Hvel terus menggerakkan angin yang membawa kakaknya ke tempat yang aman. “Kenapa harus kujawab? Lagipula, nama keluarga tidak penting ‘kan?”
Gadis itu melempar kedua batu kecil ke arah Hvel. “Tentu saja.”
Dengan lincah, Hvel menghindar. Dia, pun, menyadari kalau bertarung seperti ini bukan gaya bertarungnya. Seorang assassin harus menyerang dari arah yang tidak bisa ditebak oleh lawannya.
“Kamu kuat...”, puji Hvel pelan.
“Itu tidak akan berguna, bodoh.”
Dua batu yang tadi Hvel hindari meledak. Dia sudah tahu hal ini, jadi Hvel memang sudah menjauh.
Aku... aku tidak tahu lagi harus bagaimana.
Angin tidak lagi bisa dia kendalikan. Ini sudah batasnya. Angin untuk mengangkat tubuh kakaknya sekaligus membuat kakaknya tidak terlihat... itu untuk keselamatan kakaknya, dan, Hvel sangat tidak ingin laki-laki itu mati.
“Menarilah, gadis kecil.”
Beberapa batu kemudian dilempar ke arah Hvel, yang, dengan lincahnya berhasil dia hindari. Meski terkadang, dia harus melakukan gerakan ekstrim untuk menghindar. Kelincahannya tentu terlatih sebagai seorang assassin.
Kalau terus menghindar begini... aku akan kalah.
Dia menyiapkan sebilah pisau andalannya. Lalu dia melemparnya.
Gadis yang membawa banyak batu kerikil di genggaman tangannya itu menghindar dengan mudah. “Usaha yang bagus, tapi aku ingin melihat sihir. Ayo, tunjukkan sihirmu!”
Hingga tiba-tiba, Hvel mampu merasakan Mana yang sangat pekat mendekat dengan cepat dari arah selatan. Itu bisa berarti dua hal. Sihir yang sangat kuat, atau seorang Magus yang sangat hebat. Dua-duanya sama-sama berbahaya. Kepekatan Mana yang tidak dimiliki oleh gadis yang menjadi lawannya kali ini, ataupun milik Hvel sendiri.
“Sungguh pertarungan yang membosankan, Nona-Nona.”
Suara berat milik seorang pria.
Gadis pengguna batu kerikil tadi, langsung mengambil langkah seribu. Begitupun Hvel. Mereka sama sekali tidak menunggu hingga suara itu terdengaruntuk mulai berlari.
Apapun itu tadi... bahaya. Tapi setidaknya, aku dan kakak selamat.
Tidak perlu sihir untuk berlari tanpa menggunakan suara. Hanya segudang pengalaman. Hvel terus berlari, seraya memastikan angin yang membawa sang kakak masih tetap aman. Sesekali, dia kembali melihat kebelakang untuk memastikan pria biru tadi tidak mengejarnya. Dan untungnya, memang tidak dikejar.
Bulan sabit menjadi saksi bisu malam permulaan ‘pemanggilan roh’ di kota Ris Emerald.
-=-=-
ns 172.69.7.179da2