Lengang. Kata itu menggantung berat di udara lembab lorong Kos Gang Jambu. Jam dinding di ruang tamu berdetak genap dua belas kali, suaranya seperti palu kecil mengetuk kesunyian. Malam Jum'at ini terasa berbeda, lebih pekat, lebih... berbisik.
Di balik sepuluh pintu kamar, kehidupan tersembunyi berdenyut. Kamar 3, cahaya laptop menyorot wajah Lina yang tegang, jemarinya menari cepat di keyboard—skripsi atau chat panas dengan si Dosen Muda? Kamar 5, desahan halus dan suara rintihan melodius dari earphone Siska, mungkin sedang terhanyat dalam video call yang membuat pipinya merona sepanjang malam,dengan tangan terus bergerak di bawah selimutnya yang sudah menyibak sebagian.sesekali gadis itu menggigit atau mengulum jaru-jarinya dengan nafas memburu.. Kamar 7, Teh Dewi yang semok... sudah terlelap pulas, novel romansa terbuka di dadanya, mimpi-mimpi indah tersungging di bibirnya. Kamar 9, cahaya temaram dan gelak tawa kecil sesekali—Nadia pasti lagi asyik roleplaying absurd dengan pacar lamanya lewat pesan suara. Kesibukan masing-masing, terkurung rapat, menyumbang pada kesepian koridor yang tak biasa.
Kecuali dari Kamar utama pemilik Kostan.. Di sanalah pusat "kegaduhan" malam ini. Suara jeratan nafas kasar Om Suryo, seperti mesin pompa yang kehausan, bersahut-sahutan dengan lengkingan Tante Wulan yang naik-turun, kadang mendesah panjang penuh hasrat, "Yoo... Sury......ooowwhhh..pi.....gilaaa...eemmhh...uenaak tenaaan...!", kadang tercekik pendek, "Aduh... jangan... sana!". Bunyi pegas ranjang yang berderit-derit memecah kesunyian dengan irama kacau, seperti orkestra amatir yang sedang memainkan simfoni keinginan yang kurang romantis, tapi sangat... hidup. Suara mereka memang mirip kucing yang sedang di buai asmara—tapi kucing yang sedang berjuang mati-matian di atap seng yang panas. Membuat siapa pun yang kebetulan lewat atau mendengar tak bisa tidak membayangkan siluet gerakan tak beraturan di balik gorden tipis itu.
Dan di tengah simfoni ranjang yang gaduh itu, sesuatu yang lebih sunyi terjadi.
Creeeak...
Pintu Kamar 12—kamar yang bisik-bisik para penghuni sebut 'keramat'—terbuka perlahan. Seperti mulut gua kuno yang menganga, mengeluarkan penghuninya.
Ririn.
Ia melangkah keluar, bayangan rampingnya jatuh memanjang di lantai ubin yang dingin. Yang ia kenakan bukan piyama atau daster malas. Oh, tidak. Yang menyelimuti tubuh orientalnya yang seksi bak patung pualam itu adalah sehelai gaun. Gaun malam. Merah darah.
Desainnya sederhana tapi mematikan. Strapless. Membiarkan bahu mulus dan tulang selangkanya yang anggun terbuka, menjadi kanvas bagi bayang-bayang yang bermain liar. Kainnya jatuh lurus, membungkus lekuk tubuhnya dengan setia—pinggang ramping yang seolah bisa dipatahkan, lalu melebar pelan di atas paha yang padat, sebelum akhirnya menyapu lantai pendek beberapa sentimeter di atas mata kaki. Kainnya? Seperti sutra yang dicelup dalam cahaya bulan, bergerak mengikuti setiap lenggangnya dengan gemulai, memantulkan kilau samar yang menggoda. Gaun itu bukan hanya mengundang mata pria melotot; ia memerintahkannya. Seakan-akan mengatakan, "Lihatlah, tapi jangan berani menyentuh."
Aroma pun menari di udara sebelum ia melangkah. Bukan wewangian murahan yang menusuk. Ini sesuatu yang dalam, hangat, dan memabukkan. Seperti vanila Bourbon yang direndam anggur merah tua, dihiasi sejumput kayu cendana eksotis dan taburan rempah gelap yang misterius. Wangi yang berkelas, mahal, dan menyisakan jejak memori yang dalam. Wangi seorang wanita yang tahu persis kekuatan yang ia bawa.
Ia melangkah. Di atas sepatu hak tinggi yang runcing dan setajam senyumnya yang tak tersungging saat itu, kakinya bergerak. Ringan. Sunyi. Seolah ia bukan menginjak ubin keras, tapi berjalan di atas matras beludru. Tak ada bunyi. Hanya desahan halus kain sutra merah yang bergesekan dengan udara malam. Senyap yang menegangkan.
Pandangannya, dingin dan fokus seperti pisau bedah, menyapu lorong. Saat melewati Kamar om Suryo, matanya yang biasanya lugu itu menyipit sesaat. Ia melirik. Jendela kamar itu, dengan gorden tipis yang tak sepenuhnya tertutup, memamerkan siluet. Dua bayangan manusia bergerak dengan ritme liar, seperti wayang yang diracik nafsu. Siluet Om Suryo yang gempal namun membungkuk, naik turun dengan energi brutal. Siluet Tante Wulan yang melengkung, tangan mencengkeram sesuatu—bantal atau rambut—kepala terlempar ke belakang dalam pose ekstase yang nyaris karikatural. Gerakan eksotis? Ya. Panas? Tak diragukan. Tapi di mata Ririn yang berjalan sunyi dengan gaun merahnya, adegan itu mungkin hanya tampak seperti… tarian primitif yang kacau di bawah bulan. Sebuah alunan yang jauh dari simfoni yang ia cari. Bibirnya yang merah merona mungkin menyunggingkan sesuatu—bukan senyum, bukan juga cibiran. Sebuah ekspresi yang terlalu dalam untuk ditafsirkan. Lalu, ia berpaling.
Menyusuri lorong, sosok merahnya bagai setitik api yang melayang dalam kegelapan. Angin malam yang menyelinap dari ujung gang berbisik lembut, menyentuh kulitnya yang terbuka. Ia tak menggigil. Ia hanya berjalan. Menuju pintu gerbang kos yang terkunci longgar. Tangannya yang halus mendorongnya. Creek.
Luar. Gang Jambu juga sepi. Hanya lampu jalan yang kuning dan temaram menjadi saksi. Suara kota besar mulai terdengar samar dari kejauhan—desingan mobil, dengung mesin, musik yang teredam—seperti ombak di pantai yang tak terlihat.
Lalu, dari balik kabut tipis dan bayangan gedung, ia muncul. Sebuah mobil. Merah menyala. Seperti perpanjangan gaun Ririn, atau sebaliknya. Modelnya klasik, anggun, tapi berotot. Mesinnya mendengkur rendah, penuh tenaga yang tertahan, seperti nafas binatang buas yang sabar menunggu. Ban hitam mengkilatnya berhenti persis di ujung gang, menyembunyikan sebagian besar tubuhnya dalam misteri.
Pintu penumpang terbuka. Tak terlihat siapa pengemudinya. Hanya kegelapan yang menunggu di dalam.
Ririn tak ragu. Ia melangkah mendekat, gerakannya tetap gemulai, anggun, penuh kepastian. Gaun merahnya berkilauan sejenak diterpa cahaya lampu jalan sebelum akhirnya menyatu dengan bayangan di dalam mobil. Seperti darah yang diserap oleh malam.
Clunk. Pintu tertutup rapat.
Mesin meraung lebih dalam. Mobil merah itu melesat, meninggalkan Gang Jambu yang masih terpaku dalam kesunyiannya, hanya diselingi oleh "simfoni" dari Kamar Tante Wulan yang belum usai. Ia menyusup masuk ke dalam hingar-bingar kota metropolitan yang tak pernah benar-benar tidur, membawa gadis dalam gaun merah dan semua misteri yang melekat padanya.
Lenyap. Seperti asap yang ditiup angin tengah malam.
Di Kos Gang Jambu, lorong kosong kembali. Kamar 12 terbuka sedikit, gelap gulita di dalamnya. Bau parfum mahal itu masih melayang sesaat, bertarung dengan aroma malam lembab dan suara jeritan Tante Wulan yang mencapai klimaksnya. Malam Jum'at baru saja memulai adegan utamanya, dan Ririn, sang bintang yang tak diundang, telah menghilang ke panggung lain yang lebih besar dan lebih berbahaya.
Malam itu, udara di kamar Andi terasa pengap. Bukan cuma karena jendela yang cuma terbuka selebar jari, atau kipas angin tua yang berputar lesu seperti penyu kelelahan. Pengapnya berasal dari dalam. Dari pikirannya yang dipenuhi satu sosok: Ririn, si pendatang baru di kamar 12.
Sejak Ririn pindah dua minggu lalu, Andi merasa hidupnya jadi... kurang fokus. Kuliah? Ngantuk. Game online? Boring. Makan? Cuma nasi sama indomie doang rasanya. Pikirannya melayang ke bayangan tubuh oriental yang seksi tapi lugu itu, senyumnya yang misterius, cara berjalannya yang membuat kain biasa sekalipun seperti ingin berbicara. Malam ini, bayangan itu makin menjadi-jadi. Dia membayangkan Ririn sedang membaca buku di teras kos, lampu temaram menyoroti lekuk lehernya yang jenjang. Lalu, dalam imajinasinya, Ririn menoleh padanya, mata hitamnya berkilau, bibirnya menyungging...
Oh boy.
Di bawah selimut tipis, "Terong Kesayangannya" - julukan pribadi untuk si junior yang kadang bandel - mulai menunjukkan gejala tidak biasa. Awalnya cuma gerakan kecil, isyarat halus. Tapi begitu bayangan Ririn dalam pikiran Andi mulai tersenyum lebih dalam, mungkin membetulkan strap gaun imajiner yang turun (imajinasi Andi memang cukup detail), si Terong langsung melakukan standing ovation sepenuh hati. Keras. Tegap. Tak beraturan dalam artian sangat bersemangat dan menekan kain celana pendeknya yang tipis sampai membentuk tenda yang cukup memalukan.
"Duh, jangan sekarang, Tong..." desis Andi dalam hati, mencoba memalingkan wajah yang panas ke samping. Matanya mencari gangguan, apapun.
Dan gangguan itu datang dari ranjang sebelah. Dito, teman sekamarnya, sedang tenggelam dalam mimpi yang, dari ekspresinya, pasti sangat... basah. Posisinya? Telentang, mulut menganga lebar, senyum bego terpampang jelas. Dari sudut bibirnya, air liur bening menetes pelan, membasahi bantal dengan noda kecil yang melebar. Sesekali, kakinya menyentak, seperti sedang menendang sesuatu. Atau mungkin, dalam mimpinya yang jelas-jelas terjadi di air terjun (atau kolam renang? Atau... kolam air panas berduaan?), dia sedang menyepak riak air atau... sesuatu yang lain? Suara ngoroknya yang ritmis - "Ngggkk... shhhhlurp... ngggk!" - terdengar seperti soundtrack absurd untuk fantasi panas Andi. Adegan komedi yang sempurna di tengah krisis hormon Andi.
"Dasar Dito, mimpi apaan sih sampe kayak kecoa kesetrum," gumam Andi frustasi, mencoba menertawakan situasi untuk meredakan tekanan di bawah selimut. Tapi bayangan Ririn, lengkap dengan senyum misteriusnya, muncul lagi lebih kuat. Si Terong semakin bersemangat, seakan menyambut kedatangan sang dewi dalam pikiran.
Tak tahan. Udara pengap dan desakan di celananya membuatnya merasa harus bergerak. Mungkin ke kamar mandi. Mungkin cuma ke luar kamar menghirup udara. Apa saja. Dengan gerakan hati-hati, ia menyingsingkan selimut, berusaha menutupi "kondisi" celana pendeknya dengan tangan (strategi klasik cowok kos), lalu merangkak turun dari ranjang atasnya. Kaki menyentuh lantai dingin. Ia melirik Dito. Masih tersenyum lebar, air liur segar menetes lagi. "Beruntung banget lu, Dit. Tidur nyenyak kayak bayi... yang lagi mimpi mesum," batin Andi.
Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu kamar dan meluncur ke koridor lantai dua. Suasana sepi. Hanya suara "simfoni" dari kamar Om Suryo-Tante Wulan di lantai satu yang masih terdengar samar-samar, naik turun dengan intensitas yang mulai menurun, mungkin mendekati finale. Cahaya lampu koridor temaram.
Dan tiba-tiba... ada sesuatu.
Selembar aroma. Halus, tapi pasti. Menyelinap di udara malam yang lembab. Bukan bau masakan tengah malam. Bukan pula bau obat nyamuk atau sampah. Ini... hangat. Dalam. Eksotis. Vanila Bourbon bercampur anggur merah tua, sejumput kayu cendana... Parfum Ririn!
Aromanya seperti kait halus yang menyentuh langsung ke otak limbik Andi. Segera, bayangan Ririn melompat kembali ke pikirannya, lebih nyata. Dia membayangkan Ririn baru saja lewat di sini, gaun merahnya berkilauan, kulitnya memancarkan kehangatan... Aroma itu membuatnya sedikit pusing, seperti melayang. Desakan di celananya, yang sempat mereda, kembali bangkit dengan semangat baru. Si Terong seakan berseru, "Dia dekat! Aku bisa merasakannya!"
Matanya, seperti ditarik oleh magnet, menelusuri koridor. Lalu... terpaku.
Pintu Kamar 12. Kamar Ririn. Kamar yang "keramat" itu.
Terkunci? Tidak. Malam ini, pintunya... terbuka sedikit. Hanya selebar jari telunjuk, tapi cukup untuk mengeluarkan seberkas kegelapan pekat dari dalam dan... menyemburkan aroma parfum Ririn yang jauh lebih pekat, lebih memabukkan. Seperti pintu gua harta karun yang terkuak.
Jantung Andi berdebar kencang, hampir menyembul dari dadanya. Nafasnya tersengal. Di kepalanya, bayangan Ririn tak lagi diam. Dia membayangkan Ririn berada di dalam sana, mungkin baru pulang, sedang melepas sepatu hak tingginya, atau... berbaring di ranjangnya, menunggu. Fantasinya liar: Apakah dia sengaja membiarkan pintu terbuka? Isyarat? Untukku? Aroma itu seperti suara, seperti bisikan halus yang memanggil namanya: "Andi... masuklah..."
Kaki Andi bergerak hampir tanpa perintah. Satu langkah. Lalu dua. Mendekati celah pintu yang gelap dan menggiurkan itu. Si Terong di celananya seakan ikut menegang, penuh antisipasi dan hasrat yang membara. Lorong sepi, hanya jeritan terakhir Tante Wulan dari bawah yang memecah kesunyian, seakan memberi iringan pada langkahnya yang gemetar. Apa yang akan dia temui di dalam? Ririn yang sesungguhnya? Atau sesuatu yang lain? Misteri yang lebih gelap dari kamar itu sendiri?
Dia berhenti persis di depan celah pintu. Nafasnya tertahan. Tangan berkeringat. Dia mengulurkan tangan, jari-jarinya gemetar, hampir menyentuh gagang pintu... Siapkah dia menghadapi apa pun yang ada di balik pintu kamar keramat itu? Atau... akankah bayangan Ririn dalam pikirannya menjelma menjadi kenyataan?
Langkah kaki!
Suara itu memecah konsentrasi Andi yang sedang terpaku pada celah pintu Kamar 12 yang gelap dan memanggil. Langkah itu berasal dari arah dapur belakang, dekat kamar mandi. Keras, agak terburu-buru, menginjak lantai keramik.
Andi tersentak seperti kesetrum. Fantasi Ririn yang memanggilnya ke kamar langsung buyar. Panik! Kalau ketahuan ngintip pintu kamar orang, apalagi kamar "keramat" dan penghuninya yang misterius itu... pasti berabe! Dengan gerakan canggung, ia berbalik, berusaha menyembunyikan "tenda" di celana pendeknya dengan tangan, dan mencoba melesat menuju tangga.
"Andi...?"59Please respect copyright.PENANA2eVbRoVECJ
Suara itu pelan, serak, tapi memotong kesunyian malam. Suara Tante Wulan.
Darah Andi serasa membeku. Perlahan, ia menoleh. Di ujung lorong menuju dapur, berdiri Tante Wulan. Cahaya temaram dari dapur menyorot siluetnya. Hanya handuk! Sehelai handuk mandi berwarna krem yang dibelitkan ketat di tubuhnya yang padat berisi, mulai dari bawah ketiak hingga ke pertengahan paha. Rambutnya masih basah, menempel di leher dan bahunya yang kekar. Kulitnya memerah, mungkin masih hangat dari mandi atau... sisa-sisa "pendakian gunung" tadi.
Dia melambaikan tangan, gesturnya lemah gemulai. "Andi, say... Bantuin Tante bentar, dong?"59Please respect copyright.PENANACmIr7j7Woq
Andi mencoba menelan ludah, tapi mulutnya kering. "I-Iya, Tante? Ada apa?" Suaranya serak.59Please respect copyright.PENANAievj5Jwqwi
"Kran air di kamar mandi dalem... macet total. Ga bisa nutup. Airnya muncrat kemana-mana!" keluhnya, tapi matanya, yang masih berbinar sisa-sisa afterglow, mengamati Andi dari ujung kepala sampai... ke area "masalah" yang masih ia tutupi. "Om Suryonya... udah naik gunung terlalu capek," ujarnya sambil menyunggingkan senyum nakal. "Langsung terkapar kayak batang pinang tumbang habis digergaji."
Naik gunung. Kata itu menggema di kepala Andi. Imajinasinya langsung nyambar. Ia membayangkan Om Suryo yang gempal dan botak sikit tapi mulai beruban itu, dengan wajah berkeringat dan nafas ngos-ngosan, berjuang mendaki "gunung" kembar nan subur milik Tante Wulan. Gunung yang curam, licin, mungkin sedikit bergetar, dengan puncak yang... sensitif. Pendakian ekstrem tanpa alat! Dan akhirnya, sang pendaki gagah itu kehabisan tenaga, tersungkur di lereng yang empuk, tak berdaya. Duh, pikiran jorok gue! Andi mengutuk dalam hati, pipinya memanas lagi. Si Terong, yang sempat sedikit kempes karena kaget, meronta-ronta lagi seakan tertarik oleh metafora "gunung" yang sangat visual itu.
"O-Oh... iya, Tante. Saya bantu." Andi mengangguk kaku. Ia mencoba berjalan menuju kamar mandi di ujung lorong. Tapi jalannya... lucu. Kaku, kaki sedikit mengangkang, badan condong ke depan, tangannya masih menempel kencang di depan selangkangannya, seperti anak kecil habis khitan yang baru belajar jalan lagi. Setiap langkah terasa seperti penyiksaan bagi si Terong yang terjepit dan membara.
Tante Wulan mengikutinya dari belakang. Andi bisa merasakan pandangannya menempel di punggungnya, lalu turun... dan mungkin tertahan di area "tangan pelindung"-nya. Ada desahan kecil, hampir seperti tawa yang dipendam, yang terdengar.
Di kamar mandi, keadaan kacau. Air menyemprot deras dari kran wastafel tua, membanjiri lantai. Andi, berbekal pengalaman jadi tukang serba bisa dadakan di kosan, langsung menuju sumber masalah. Ia mencoba memutar kenop kran sekuat tenaga. Tapi karat dan usia membuatnya nyaris tak bergerak.
"Keras ya, Ndi?" Tante Wulan bersuara dari ambang pintu, bersandar di bingkainya. Handuknya terikat ketat, menonjolkan lekuk tubuhnya yang berisi. Cahaya dari lampu kamar mandi menyorot bagian bawah handuk, menyinari paha yang padat dan betis yang kuat. "Perlu tang? Biasanya Suryo pake tang biar kuat."
"I-Ini dulu saya coba, Tante," gumam Andi, berusaha fokus pada kran yang bandel. Ia mengerahkan tenaga, menekan tubuhnya ke wastafel. Tapi gerakan itu malah membuat celana pendeknya semakin menekan si Terong. Sakit! Tapi... anehnya...
Merasa perlu tang, Andi berbalik. "Tante, tang-"
Kalimatnya tercekat.
Tante Wulan tidak lagi di ambang pintu. Dia sekarang berdiri tepat di depan Andi, di dalam kamar mandi yang sempit, hanya berjarak setengah langkah. Aroma sabun mandi bunga murah bercampur keringat dan sesuatu yang lebih hangat, lebih dewasa, memenuhi udara lembab. Handuknya masih membungkus tubuhnya dengan ketat, tapi posisinya... agak lebih rendah. Garis dekolté-nya lebih terbuka, memperlihatkan awal bukit "gunung" yang padat dan masih kemerahan. Tetesan air dari rambutnya jatuh ke lekukan itu.
Mereka saling tatap. Udara terasa mendadak panas dan berat. Andi grogi. Napasnya tersengal. Pipinya membara. Tapi di bawah, si Terong seakan merasakan tantangan. Ia bergerak sendiri, sebuah kedutan tegas yang terasa jelas melalui kain tipis, seakan memberi hormat atau... menantang.
Mata Tante Wulan, tajam dan berpengalaman, bagai kilat menyambar. Tak perlu waktu lama. Pandangannya turun, melirik cepat ke area strategis yang masih ditutupi tangan Andi. Sebuah senyum nakal, penuh arti, merekah di bibirnya yang masih bengkak samar. Matanya berbinar dengan cahaya main-main dan sesuatu yang lebih dalam.
"Wah, Andi..." suaranya rendah, berdesir, seperti suara gula merah yang digerus. "Kayaknya bukan cuma kran air di sini yang keras dan mau muncrat, ya?"
Andi tercekat. Otaknya blank. Darah berdesir ke seluruh tubuhnya, terutama ke satu titik. Ia hanya bisa membuka mulut, tak ada kata keluar. Tangan yang menutupi "Terong Kesayangannya" terasa basah oleh keringat dingin dan panas sekaligus.
Tante Wulan melangkah setapak lebih dekat. Aromanya makin kuat. Dia mengangkat tangan, bukan untuk menyentuh Andi, tapi untuk menata handuk di dadanya yang agak melorot. Gerakannya sengaja lambat, sensual. "Jangan malu-malu, Say," bisiknya, senyum nakalnya makin lebar. "Tante tau, anak muda lagi semangat-semangatnya. Apalagi kalo ada angin malam yang bawa-bau wangi mahal lewat..." Matanya menyipit, seakan menembus rahasia Andi yang memendam Ririn. "Tapi hati-hati, Nak. Main dekat kamar keramat... katanya suka ada yang ngeliatin lho, penunggunya. Bisa-bisa kamu diajak naik gunung juga..." Dia menekankan kata "naik gunung" dengan nada menggoda, sambil matanya lagi-lagi menyapu tubuh Andi dari atas ke bawah, berhenti sejenak di "medan perang".
Andi merasa akan pingsan. Tawa gugup akhirnya meledak. "H-Ha...ha... Tante ini... ngomong apa sih..." Ia mencoba mengalihkan, tubuhnya meringkuk, mencoba menekuk badan untuk menyamarkan keadaan darurat di bawah. "Tangnya, Tante... saya butuh tang..."
Tante Wulan tertawa, suaranya gemerisik seperti daun kering. "Iya, iya. Tante ambilin. Kamu tunggu sini..." Dia berbalik, dan saat berbalik itu, handuknya yang sudah di tepi bahaya itu... nyaris melorot! Ujungnya terlepas sebentar dari jepitan di ketiak, memperlihatkan kilasan punggung yang mulus dan lekuk pinggang yang dalam sebelum dengan cepat dia tarik kembali. "Ups! Bahaya," candanya sambil menoleh ke Andi, matanya berkedip-kedip nakal. "Jangan sampe gunungnya longsor sebelum didaki, ya?"
Dia melenggang keluar kamar mandi, meninggalkan Andi sendirian di tengah cipratan air kran yang masih muncrat liar dan... kekacauan yang jauh lebih liar di dalam celananya serta kepalanya. Nafasnya tersengal-sengal. Suara hantaman jantungnya mengalahkan derasnya air. Apa yang baru saja terjadi? Apa arti semua itu? Dan yang paling penting..bisakah dia menahan "Terong Kesayangannya" agar tidak benar-benar "muncrat" di kamar mandi Tante Wulan?
Tante Wulan berjalan cepat melewati lorong lantai satu, kakinya yang kuat berdekap di lantai keramik dingin. Aroma kopi, bumbu dapur, dan sisa-sisa kehidupan kosan menyambutnya, tapi satu hal yang membuat langkahnya tersendat sejenak: Pintu Kamar 12.
Masih menganga sedikit, gelap dan bisu seperti mulut yang tertahan bicara. Matanya, tajam meski masih basah, melirik ke celah itu. Ada sesuatu… magnetis. Gelap. Mengundang. Tapi juga membuat bulu kuduknya merinding. Dengan gerakan cepat, hampir refleks, ia mendorong pintu itu hingga menutup rapat. Tok! Suaranya keras di kesunyian.
Tapi saat tangannya menyentuh gagang kayu yang dingin, sehelai aroma menyelinap ke hidungnya. Wanginya. Vanila Bourbon, anggur merah tua, cendana, dan rempah gelap yang sama yang melekat pada Ririn. Wangi mahal dan memabukkan. Namun, kali ini… terasa berbeda. Lebih dalam. Lebih tua. Seperti sesuatu yang terkubur lama dan baru terangkat. Aroma itu menusuk langsung ke pangkal otaknya, bukan membangkitkan hasrat, tapi semacam… desakan aneh. Seperti dorongan primitif untuk lari, atau justru… menyerah. Jantungnya berdebar kencang, bukan debar nafsu Om Suryo, tapi debar ketakutan yang campur aduk dengan kegelisahan tak jelas. Ia merasakan panas tiba-tiba menjalar dari ulu hati ke seluruh tubuhnya, membuat kulitnya yang baru kering kembali berkeringat dingin.
"Aduh, jangan-jangan emang ada yang nggak beres di kamar itu," pikirnya buru-buru, memaksa diri berpaling. Ia melihat sekeliling. Lorong kosong. Hampir semua lampu kamar penghuni sudah padam. Hanya desahan kecil, seperti erangan mimpi, terdengar samar dari Kamar 5. Suasananya mencekam. Ia buru-buru masuk ke gudang kecil di dekat dapur, meraba-raba dalam gelap, dan menemukan tang besi yang dingin dan berat. Pegangannya terasa seperti penahan kenyataan.
Dengan tang di tangan, ia bergegas kembali ke kamar mandi. Pikirannya masih dipenuhi aroma aneh itu dan sensasi desakan yang mengganggu. Ia mendorong pintu kamar mandi yang tadi dibiarkan sedikit terbuka.
"Aku balik, Nak! Tangnya udah-"
Kalimatnya terpotong. Matanya membelalak.
Sosok Andi membelakangi pintu, berdiri tepat di bawah pancuran yang sudah berhasil dimatikan (kran utamanya sudah ia putar dengan susah payah sebelum Tante pergi). Tapi Andi tidak sedang memeriksa pipa. Celana pendek dan boxernya melorot hingga ke paha. Tangan kanannya memegang "Terong Kesayangannya" yang masih tegak, merah, dan mengkilat oleh… air? Tangan kirinya mengusap-usapnya dengan kain lap, wajahnya memerah padam, bahunya naik turun seperti habis lari maraton.
"Sial! Gue cuma mau pipis bentar buat bikin si Tong kempes! Kenapa malah…" batin Andi panik saat mendengar pintu terbuka. Ia berbalik dengan gerakan kaget, seperti pencuri ketahuan. Matanya bertemu mata Tante Wulan yang terpana. "T-Tante! Ini… bukan… aku cuma…" Gagapnya tak terbendung. Ia mencoba menarik celananya, tapi gerakan itu justru memperlihatkan lebih banyak.
Dan di saat itulah, nasib bermain.
Tali handuk kecil yang menyelip di ketiak Tante Wulan, mungkin sudah longgar oleh gerak-geriknya tadi dan kejutannya sekarang, melorot. Kain handuk krem yang menjadi satu-satunya pelindung itu, terlepas. Jatuh. Mendarat lembut di lantai basah kamar mandi dengan suara plop yang terdengar sangat keras di telinga mereka berdua.
Dunia seakan berhenti.
Tante Wulan berdiri tegak, sepenuhnya telanjang. Tubuhnya yang padat, berisi, matang, terbentang di bawah cahaya lampu neon kamar mandi yang terang benderang. Kulitnya kemerahan, bekas cengkeraman dan ciuman Om Suryo masih samar terlihat. Payudaranya yang montok, dengan puting kecoklatan yang masih tegak mungkin karena udara dingin atau sesuatu yang lain, "gunung" yang baru saja didaki Om Suryo. Perutnya yang tidak lagi rata tapi berisi lembut yang menarik. Pinggulnya yang lebar, tanda melahirkan. Dan segitiga gelap di antara pahanya yang kuat, basah mungkin dari air mandi atau… sesuatu yang lebih dalam. Tak ada yang tersembunyi.
Andi terpaku. Mata bulatnya menyapu seluruh pemandangan yang tak pernah ia bayangkan akan dilihat secara langsung. Mulutnya terbuka. Darah yang tadinya mengalir ke satu tempat, kini serasa berhamburan ke seluruh tubuhnya, membuatnya panas dan dingin sekaligus. Si Terong di tangannya, yang sempat sedikit kendor karena kaget, langsung bangkit kembali dengan semangat berlipat ganda. Keras. Berdenyut-denyut. Seperti menunjuk-nunjuk langsung ke arah pemandangan surgawi (atau neraka?) di depannya.
Aroma itu kembali. Wanginya. Wangi Ririn. Wangi kamar 12. Tapi kali ini, terasa lebih kuat, lebih menusuk. Seperti asap tebal yang menyelimuti kamar mandi kecil itu. Menyentuh kulit mereka. Menyusup ke lubang hidung. Menari di ujung saraf.
Tante Wulan tidak berteriak. Tidak menutupi diri. Matanya yang terbelalak tadi, perlahan berubah. Pupilnya membesar, menangkap cahaya neon dengan kilau aneh. Napasnya yang tersengal tadi, berubah menjadi desahan panjang, dalam, dan… serak. Pipinya yang sudah merah, semakin membara. Pandangannya tak lagi pada wajah Andi, tapi turun. Ke tangan Andi yang masih memegang "senjata"nya yang tegak dan mengkilat oleh air. Ke tubuhnya sendiri yang terbuka.
Desakan aneh yang ia rasakan tadi di lorong, berubah menjadi gelombang panas yang tak terbendung. Seperti arus listrik liar yang menyambar dari ubun-ubun ke seluruh tubuhnya, membakar rasionalitas, membungkam suara hati. Rasanya… seperti kesurupan. Dipaksa oleh sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, dari sekedar nafsu biasa.
"Anak… nakal…" bisik Tante Wulan, suaranya parau, hampir seperti orang lain. Bukan nada marah. Tapi nada… lapar. Dia tidak mengambil handuknya. Dia malah melangkah. Satu langkah. Mendekati Andi yang masih terpaku, seperti patung Yunani yang salah tempat.
Andi? Ia juga merasakannya. Wangi itu memenuhi kepalanya. Membuat pikirannya berkabut. Bayangan Ririn lenyap, digantikan oleh kehadiran nyata di depannya. Kehangatan tubuh. Keberanian yang memancar. Hasrat yang sama-sama membara. Rasanya seperti mimpi, mimpi basah yang sangat nyata dan… diperbolehkan. Si Terongnya berdenyut, seakan merespon energi liar yang memancar dari tubuh telanjang Tante Wulan.
Tante Wulan sudah sangat dekat. Aroma sabun bunga, keringat, dan wangi misterius itu bercampur jadi satu. Tangannya yang kuat, bukan tangan lembut gadis muda, terangkat. Bukan untuk menampar. Bukan untuk menutup. Tapi… untuk menyentuh. Ujung jarinya yang masih dingin menyentuh perut Andi yang kencang, membuatnya tersentak.
"Dewi…" gumam Andi, tidak sadar apa yang diucapkannya, mata berkaca-kaca oleh kabut hasrat dan aroma mistis.
Tante Wulan tersenyum. Senyum yang tidak seperti biasanya. Lebih dalam. Lebih gelap. Lebih… tahu. "Waktunya… mepet, Say…" bisiknya, napasnya membelai wajah Andi. "Dini hari… nyamuknya mulai bangun…"
Tang besi di tangannya jatuh. Brukkk! Suaranya memecah kesunyian, tapi tak memecah mantra yang menyelimuti mereka. Tangan itu sekarang bebas. Bergerak ke pinggang Andi, mencengkeram. Kuat. Memutar tubuhnya, mendorongnya dengan lembut tapi pasti ke dinding kamar mandi yang dingin dan basah. Tubuhnya yang panas dan telanjang menempel, menghangatkan Andi yang gemetar.
Di luar, jam terus berdetak. Menuju dini hari. Menuju saat para penghuni lain mungkin benar-benar terbangun. Menuju saat Om Suryo mungkin terbangun dari "kelelahan naik gunung"-nya.
Tapi di dalam kamar mandi yang beruap itu, di bawah pengaruh wangi memabukkan dari kamar keramat, dua tubuh yang seperti kesurupan itu mulai menari. Tarian primitif. Panas. Terburu-buru oleh deadline waktu. Tangan menjelajah. Mulut mencari. Nafas menjadi satu. Erangan pertama Tante Wulan, dalam dan serak, bukan lagi seperti kucing, tapi seperti serigala betina yang menemukan mangsanya, memenuhi ruangan kecil itu. Si Terong Kesayangan Andi, yang tak lagi kesakitan, menemukan jalannya menuju kehangatan dan kelembaban yang mengundang di antara paha Tante Wulan yang terbuka lebar. Dinding basah menjadi saksi bisu. Kran yang sudah diperbaiki diam, seakan menahan napas.
Mereka tidak punya waktu. Tapi wangi itu, dan desakan aneh yang dibawanya, membuat segalanya terasa… penting. Seperti ritual yang harus diselesaikan sebelum ayam jantan berkokok. Sebelum dini hari benar-benar tiba dan sihir ini pudar.
..Bersambung.....
ns216.73.216.176da2