×

Penana
search
Loginarrow_drop_down
Registerarrow_drop_down
Please use Chrome or Firefox for better user experience!
Jemari yang Ranum
G
308
0
0
97
0

swap_vert

Namaku Hanum. Usiaku 18 tahun. Aku tidak mempunyai saudara. Hanya saja saudara angkat. Sejak kecil ayah selalu menutup jemariku. Entah mengapa. Pernah sekali aku bertanya kepadanya mengapa ia selalu membungkus ataupun menutup jemariku. Ia hanya menjawab tutup saja, nanti ada yang lihat. Aku manggut walau dalam benakku begitu banyak pertanyaan. 

29 September 1992, Ayah mengajakku ke rumah temannya. Sebelah desa. Teman semasa muda dulu. Aku ikut saja. Tak lupa ayah menutup jemariku. Kadang aku merasa marah dan gerah dengan perlakuan ayah terhadap jemariku. Padahal tidak ada luka ataupun cacat. Biasa saja sama seperti jemari teman temanku. Tidak ada yang istimewa. Ketika sampai di rumah teman ayah,begitu bahagia mereka bertemu,seolah bertahun tahun berpisah. Tak lupa teman ayah memperkenalkan ku pada anaknya,lelaki,seumuran denganku. Aku jadi gugup. Ingat film atau sinetron di tv tentang perjodohan. Apa mungkin ayah mau menjodohkan ku dengan anak temannya itu. 

Anak teman ayah itu biasa saja parasnya. Tinggi. Begitu rapi dalam berpenampilan. Tidak banyak bicara. Banyak senyum saja. Sikap dinginnya begitu membuatku seperti patung yang hendak diperjualbelikan. Sedangkan ayah asyik ngobrol dengan temannya. Namun ketika pandangan kami bertemu,aku merasa kegerahan. Ia mulai memperhatikan jemariku yang dibungkus kain oleh ayah waktu di rumah tadi. Kedua sorot matanya tiada henti menatap jemariku yang tertutup. Aku mulai gelisah. Sikap dingin yang tadinya membuatku terdiam kini membuatku kegerahan. Dalam benakku bertanya mengapa tiada henti ia menatap jemariku yang tertutup. Apa ia melihatku seperti orang aneh. Ingin rasanya aku cepat pulang dan melepaskan kain penutup ini. Gerah hingga ke hati.

Ketika sampai di rumah, amarah membuatku terdiam. Aku mulai menggigit penutup jemariku melepaskan darinya. Kuat. Ikatan yang kuat. Aku berusaha hingga airmataku menetes. Aku menggigit tidak karuan sambil membayangkan tatapan mata anak teman ayah tadi. Peluh membasahi wajahku. Ketika semuanya hampir terbuka,jemari ayah menggenggam tanganku. Aku menoleh. Raut wajahnya sendu. 

"Jangan nak, jemarimu masih ranum".

favorite
0 likes
Be the first to like this issue!
swap_vert

X