×

Penana
search
Loginarrow_drop_down
Registerarrow_drop_down
Please use Chrome or Firefox for better user experience!
OSANANAJIMI
G
3.6K
0
0
288
1

swap_vert

PROLOG

     Tubuhku melemas ketika aku mendengar isak tangisnya dari balik ponsel ini. Lelaki yang sedang disebrang pulau nanjauh disana. Seseorang yang selalu bersamaku menemani menempuh berbagai tingginya gunung di seluruh Indonesia ini terisak tangis saat aku memberitahu bahwa aku baru saja jadian dengan Tio teman sekantorku. Ya, dia sahabatku Aran. Aku memberitahu kabar yang menurutku baik. Aku tak tahan untuk menceritakan kepada para sahabatku, Sadir dan Aran yang sudah sangat lama menemaniku. Menjadi tempat curhatku dan sahabat mendaki berbagai gunung di Indonesia. 

       Suara air mengalir yang mengisi bak di toilet kamarku, tak bisa menyembunyikan suara dari perasaan seseorang yang ada di balik ponsel ini. Suara isak tangisnya terus memenuhi ruang emosiku. Aku beranjak dari kasurku, terdiam untuk terus memahami situasi yang sedang terjadi saat ini. Bingung? Sedih? Bahagia? Aneh? Semua bercampur aduk.

             Aku berdiri dengan tubuh gemetar, menghampiri toilet. Langkahku lemas, otak ku berimajinasi hebat. Perasaanku tak menentu. Aku bingung. Entah apa yang harus aku katakan. Air bak sudah mulai terisi penuh. Aku terduduk di atas toilet, sambil mematikan keran dan aku terus memastikan, benarkah dia menangis?

               “kamu nangis?”

Hening….

               “ran, hallo?”

               “ran, hey…. Ran?”

       Tak ada balasan apapun yang aku dengar dari balik sana. Hanya suara isak tangis yang mulai lirih namun panggilan terus berjalan.

               “iya din, aku denger!” ucap nya dengan sangat lirih. Bahkan hampir tak bisa terdengar jelas oleh kupingku.

               “loh kok nangis sih!. Aku kan ngasih kabar baik. Ya harusnya kamu seneng dong. Ih aneh!”

               “iya, iya, aku seneng kok. Ini kan lagi nangis bahagia” katanya dengan sangat polos.

     Aku terdiam mendengar kata-kata itu. Bahkan sekarang tubuhku mulai menunjukan rasa yang sangat iba kepada dia. Kepalaku pening, air mataku mulai berkumpul untuk menerobos tumpah keluar. Seketika tanpa disadari, pipiku mulai basah oleh air mata yang sedari tadi tidak sabar ingin keluar membasahi wajahku yang mulai memerah.

        Aku menangis. Tapi batin ku tetap menolak dengan keadaan ini. Kenapa? kenapa harus aku menangis juga? Batinku tetap tidak menerima. Aku terus menahan air mata ini agar tak ikut larut bersamanya. Tapi tidak bisa!

               “kamu kenapa? Kenapa kamu nangis? Salah aku apa? Kamu ga nerima aku jadian sama Tio? Aku kira kamu sahabat baik aku. Sadir merespon baik waktu aku beri kabar. Kenapa kamu nangis Aran? Jelasin ke aku Aran” ucapku. Air mataku tumpah sambil berkata itu. 

               “kamu tau din, aku suka sama kamu. Sudah lama aku kasih tau kamu din. Kamu merespon itu kan? Aku selalu berfikir kalau kamu akan selalu baik-baik saja menjaga perkataan itu. Aku tau kamu lebih daripada Sadir. Aku engga pernah khawatir kamu pergi keluar kota atau kemanapun itu bersama teman laki-laki lain kamu, karena aku tau kamu. Aku faham kamu. Tapi ternyata aku salah” “aku berusaha untuk terus menjaga komunikasi denganmu dengan menggunakan apa saja itu. Aku berusaha untuk terus terhubung internet, untuk nemenin kamu main game, agar aku tetap tau kabar kamu bahwa kamu tetap baik walaupun aku jauh disini.”

               “tapi kamu ga memberikan aku kepastian Aran!. Aku ga tau kalau kamu menaruh harapan besar sama aku”

               “kepastian? Pentingkah itu untukmu din?” “perhatian yang aku kasih sama kamu, apakah itu masih kurang dari kepastian yang kamu inginkan?”

               “……..”

               “aku berfikir ‘kepastian’ ‘status hubungan’ ‘pacaran’ untuk kamu itu ga penting. Dengan respon kamu sejauh ini, dengan respon kamu terhadap semua yang aku kasih ke kamu, aku udah anggap itu kepastian buat aku din”.

               “sorry Ran”

              “yaudah, semua udah terjadi. Masa kamu baru jadian, mau di putusin lagi kan ga mungkin. Sekarang kamu baik-baik sama Tio. Jaga perasaan dia. Jangan sampai ada yang terluka antara kalian. Sekarang, aku akan mulai menerima keadaan ini. Kamu ga usah khawatir lagi kalau aku engga ngehubungin kamu ya. Jangan tunggu aku gabung war sampe larut malam. Tidur tepat waktu. Jaga pola makan. See you din. Thanks for all”.

Tut… tut… tut…

     Dia tak membiarkan aku berkata apapun. Panggilannya mati dan aku tak bisa menelfonnya kembali. Air mataku seketika mengalir deras membasahi pipiku. Suara tangis ku menggema seisi ruangan. Aku terduduk lemas sambil menatap ponselku dengan foto kita bertiga di atas puncak gunung tertinggi pulau jawa.

     Tak ada yang bisa aku lakukan. Aku telah melukai seseorang yang sudah melindungiku sejak lama. Aku sangat menyesal. Bahkan sampai hari ini...

favorite
0 likes
Be the first to like this issue!
swap_vert

X