×

Penana
search
Loginarrow_drop_down
Registerarrow_drop_down
Please use Chrome or Firefox for better user experience!
Hello Iam Alvida
R
0
0
0
142
0

swap_vert

"Kau sudah siap?" tanya Lean disampingku, pria itu telah mengeratkan genggaman tangannya padaku. Seakan berusaha memberikanku sebuah kepastian akan keputusan akhirnya. Tidak ada yang mesti aku ragukan terhadapa apa yang telah pria itu lakukan selama berada disisiku. Bertahan atas segala sikapku, bagiku itu merupakan sebuah keajaiban. Jadi, kurasa hingga akhir aku tidak akan pernah menyesali apa yang akan kami berdua ambil saat ini.

"Biar bagaimanapun ini adalah hal yang harus kita hadapi, tapi sekali lagi kutanya padamu. Apa kau siap menghadapi Marco dengan keadaan ini?" aku perlu setidaknya memvalidasi keyakinan pria itu lagi. Sebelum dia jatuh, terpuruk, atau bahkan menyesalinya. Aku tidak akan pernah memaksanya untuk berada disisiku jika dia tidak mampu. Aku akan melepasnya disini sekarang juga. Membuang seluruh janji manis, angan kosong, yang sejatinya telah kami rajut bersamaan. Oleh sebab itu, inilah tanya terakhirku. Aku perlu ketegasan darinya. Tidak menginginkan seorang pria yang hanya bermaksud singgah tanpa memberik kejelasan.

"Aku selalu siap. Asalkan untukmu siapapun itu akan aku hadapi." Terdengar klise, seperti seseorang yang hendak menantang maut. Kata-katanya sekilas mungkin terlihat manis saat ini. Tapi aku sendiri belum tahu pasti apa yang akan terjadi jika Lean dipertemukan dengan Marco malam ini. Terlebih dirinya membawa sebuah deklarasi yang teramat penting. Aku menghela napasku dengan berat. Semestinya ini lebih akan memberatkan Lean dibanding aku. Namun lebih daripada itu aku merasa ikut tersapu dalam emosi yang penuh dengan ketegangan ini.

Genggaman tangannya padaku, menyadarkan aku bila sejatinya tidak hanya aku yang menghadapi kemelut ini. Melainkan Leandra juga ikut berpartisipasi dalam scenario ini. Haruskah kuberikan hatiku padanya sekarang? Meski sejujurnya aku memang telah memberikan separuhnya jauh sebelum hari ini terjadi.

"Baiklah mari kita pergi." Mungkin ini akan menjadi babak baru bagi kehidupan kami berdua. Entah akan manis atau sebaliknya. Aku sudah menepis segala logikaku. Alvida.. kusebut namaku sendiri saat kedau mataku terpejam dan melangkah pasti. Siapkah aku memberikan seluruh hidupku hingga tuan nanti kepada Lendra? Pemuda biasa yang kasta hidupnya terlampau berbeda juga dengan usia terpaut jauh daripadaku? Kuhembuskan napasku sendiri dengan kasar lalu satu jawaban muncul kepermukaan. YA!

***

"Bukannya sudah kuperingatkan berkali-kali jika dalam proses cutting itu harus dilakukan dengan detail dan hati-hati? Dan apa yang saat ini kulihat? Apa ini pantas untuk dilanjutkan?" Sudah menjadi sebuah rahasia umum bagi karyawanku saat aku datang secara tiba-tiba keruang kerja mereka itu adalah sebuah mimpi buruk. Kedatanganku akan selalu berakhir dengan mood yang buruk. Sebab kebanyakan dari mereka semua tidak bisa bekerja sesaui dengan standar yang aku tetapkan. Orang menyebutku sebagai si perfeksionis yang gila. Salah sedikit saja aku akan mengamuk. Stigma tersebut tidak sepenuhnya salah. Karena memang aku bukan tipikal orang yang bisa berlapang dada terhadap kesalahan kecil sekalipun. Tak peduli meski terhadap orang amatiran.

"Ma—maafkan saya Nyonya. Saya mohon.. saya tidak akan mengulangi hal ini lagi. Karena itu berikan saya satu kesempatan lagi." Seperti biasa bila aku memergoki kesalahan mereka, akan terjadi sebuah drama klasik berupa permohonan maaf dan juga air mata. Dalam situasi ini biasanya aku akan mulai disudutkan oleh semua pandangan oranglain terhadapku. Tapi aku tidak peduli.

"Aku tidak membutuhkan maaf darimu. Daripada kau berpura-pura menangis didepanku seperti itu. Mestinya kau sadar diri dan bersihkan kekacauan yang sudah kau buat. Selesaikan dalam tiga puluh menit. Aku akan Kembali mengeceknya lagi nanti. Anggap itu sebagai kemurahan hatiku." Aku berbalik meninggalkan ruang kerja karyawanku. Inspeksi selalu meninggalkan bekas yang mendalam terutama dalam hal emosi. Sakit kepala yang kuderita juga tak kunjung membaik sebab aku terlalu sibuk mengurusi pagelaran busana yang waktunya sudah tidak lama lagi. Persiapan cukup sibuk, tak jarang aku begadang dan lembur untuk menyelesaikan beberapa rancanganku. Meski untuk beberapa rancangan telah aku serahkan pada karyawanku seperti tadi. Namun bisa kulihat sendiri bila hasilnya tidak memuaskanku. Makanya untuk beberapa rancangan aku sendiri yang menuntaskannya.

Menghempaskan diriku sendiri diatas kursi kerja diruangan pribadiku adalah hal yang paling bisa aku nikmati di kantor ini. Sebab hanya ditempat ini aku sedikit bisa menghembuskan napas lega, dan menikmati waktuku yang tak terbatas untuk bergelut dengan kertas dan pensil. Membuat sketsa dan bermain dengan imajinasiku. Sebab sejak pukul delapan pagi, dimana jam kerja kantor dimulai aku baru bisa Kembali keruanganku pukul dua siang. Jam makan siang bahkan terlewatkan karena banyak kesalahan yang aku dapati dibagian produksi. Padahal semua pegawainya adalah orang-orang yang berbakat dibidang masing-masing dan mereka tidak berkerja dalam waktu satu hari. Mereka adalah satu team, dengan jam terbang lebih dari satu tahun. Semestinya mereka semua bisa professional. Namun apa yang aku dapatkan justru jauh daripada ekspektasiku sendiri. Masih bisa dimaklumikah orang-orang professional melakukan kesalahan sepele yang kerap dilakukan pemula? Sungguh, itu membuatku naik pitam.

Aku adalah penganut semua hal serba sempurna. Detail kecil tak luput dari perhatian. Jadi, Ketika ada satu kesalah kecil sudah tidak bisa ditolerir lagi. Sebut saja bila ini adalah buah hasil yang ditanam keluarganya sejak kecil. Didikan memang tidak pernah salah. Aku sudah terlalu biasa untuk menjadi yang terbaik diantara yang terbaik.

Sekali lagi kugoreskan pensil diatas kertas putih kosong di meja kerjaku. Kembali membuat satu rancangan baru sebagai pelengkap dari seluruh rangkaian busana yang akan diperagakan dalam kurun waktu satu bulan lagi. Mengingat Fashion Week musim ini adalah target yang kukejar, ada banyak hal kecil yang perlu dirampungkan secepatnya.

Imajinasi dan inovasi. Dua hal yang menjadi modalnya sejak menggeluti bidang ini. Cita-cita yang berhasil dia wujudkan meski dalam waktu yang tidak sebentar. Pelatihan, study, semua hal itu bahkan sudah menghabiskan separuh dari masa mudaku. Sampai titik dimana aku melewatkan kisah romansa, atau hal lainnya. Melajang dengan setumpuk pekerjaan tidak pernah terpikirkan menjadi kehidupan yang aku inginkan. Hanya seperti itu saja.. tiba-tiba dan aku menjalaninya. Dan soal inspirasi dia sudah tahu jawaban paling baik untuk menjadi solusinya.

Satu-satunya hal terbaik yang bisa mendatangkan sebuah inspirasi hanya satu hal. Guru, sahabat, bahkan keponakanku sendiri kerap kali menceramahiku soal itu.

Hal yang mudah, tidak sulit, menyenangkan, tidak melelahkan, membuat hati jadi lebih Bahagia, membawa banyak perubahan positif dalam hidup. Ya itulah yang aku butuhkan. Namun sejauh ini aku sama sekali tidak tahu bagaimana cara untuk melakukannya. Tidak pernah..

"Haloo!"

Kepalaku terangkat kearah pintu ruang kerjaku yang dibuka secara seenaknya oleh entitas yang tak asing. Tak banyak reaksi yang aku tunjukan padanya. Hanya tatapan datar sesaat lalu Kembali bergelut denagn pekerjaan. Menganggap seolah kehadiran tamu tak diundang itu benar-benar tak pernah ada. Jam kerja ada untuk kerja, prinsip kaku yang aku pegang bahkan hingga saat ini. Itulah sebabnya aku berhasil menjadi wanita yang sukses dan konsisten berkiprah dalam dunia bisnis.

"Ketuk pintu dulu." Kataku pada akhirnya merespon.

"Aku bosan memberitahu Aunty untuk berhenti bersikap formal begitu. Pergi yuk Aunty ini jam makan siang. Aunty perlu bersantai sedikit."

"Pergilah sendiri. Aku sibuk."

"Ah.. aku tidak mau~ aku mau pergi dengan Aunty. Aku bosan. Masa sih pekerjaan Aunty tidak habis-habis? Kan Cuma menggambar, itu bisa dilakukan kapan-kapan"

"Ini bukan hal sesepele itu. Bonnie."

"Astaga, aku tidak mau menerima penolakan hari ini. Sekarang kita pergi makan. Lihat badan Aunty yang kurus begitu. Hidup jangan dibawa terlalu serius Aunty."

"Ini resiko pekerjanku."

"Ayolah Aunty, masa kau sedingin ini pada keponakanmu sih, apa aku perlu bersujud di kakimu supaya kau bersedia menemaniku?"

"Kau berisik sekali."


favorite
0 likes
Be the first to like this issue!
swap_vert

X