“Eh! Kalian kembali.” Thomas menyapa duluan. “Kalian ingin memesan apa lagi?”
“API!!!” Cecil begitu bersemangat.
“Kak Cynthia, haruskah aku membeli obat diare dulu?” Wajah khawatir.
“Tidak perlu kok.” Ujar Cecil. Nampaknya dia benar-benar suka makanan pedas meski menyiksanya. “Aku bawa sendiri tadi.” EEEHHH!!!
Dan lagi. Apa yang dilakukan Tam. Dia suka makan Mie? Hah… Memang tak satupun orang yang tahu dia wanita seperti apa. Bahkan rata-rata hanya tahu namanya adalah Tam. Sama sekali tidak ada yang peduli dengannya. Tapi, kenapa begitu?
Mendekat ke sekat dapur dan mengajak bicara ke Bu Rina. “Bu, apa yang Tam pesan?”
“Hehe… kau benar-benar tertarik padanya, kan.” Bu Rina tersenyum. “Tapi, sebaiknya jangan tanyakan apa yang dia pesan. Tapi kalau kau memaksa.”
Dia membisik. Dan…
Apa maksudnya ini? Gadis itu ingin mati di kedai ini? Dia bisa mati diare, lho.
Mendengar menunya saja membuat merinding. Apa yang terjadi pada Cecil tadi mungkin akan ratusan kali lipatnya. Hebat, dan menakjubkan sekaligus mengerikan. Terbuat dari apa lambungnya?
Tapi, Cecil juga pesan hal yang sama. Mungkin dia ketagihan. Jangan terlalu dipikirkan.
Kembali ke tampat duduk di pojok sana dan menunggu pesanan.
…
Menu Tam yang pertama kali dihidangkan. Ia memesan…
Hijau, Merah, Hitam…
Lidah langsung berkenyut memperhatikan menu itu.
Dia… dia… dia jelas-jelas bukan manusia. Se sebaiknya biarkan orang itu.
“Silahkan dinikmati.” Nampaknya untuk yang lain juga sudah selesai. Thomas juga langsung membawakan pesanan Api dan Mie Bawang. Ia nampak lebih berkeringat dan sedikit gemetar kini. Mungkin ketika makan di samping, ada mobil datang dan Thomas harus mengangkut barang.
“Kalau ada lagi, silahkan panggil aku.” Ujarnya. Dan dia menuju dapur. Tapi, Tam nampaknya menyapanya sedikit dan Thomas menjawab dengan senyuman. Entah mereka dekat atau standar pelayanan.
“Cynthia! Kau pesan jus jeruk?” Cecil berbisik.
…
…
…
“Hmmmm… Hehehe…” Cecil jadi sedikit takut. Pikiran jahil tiba-tiba keluar. “Kudengar ada baiknya jika makan dahulu baru minum. Sebaiknya… Nanti… Minumnya… Oke… He he he…”
“Me menyeramkan…”
Ya… Sedikit mengerjai orang ternyata menyenangkan juga.
-----Space-----
“Kau nampak berkeringat.” Juga gemetar.
“Terimakasih perhatiannya, Kak Tam. Mengangkat barang-barang dari mobil cukup berat. Tapi aku tak apa kok.” Dia tersenyum.
Dia cukup hebat…
Dan, sebaiknya makan mie ini dulu.
Pertama, pastikan aromanya.
Hmmm… Sudah kuduga… Mie ini bahkan dari aromanya saja sudah menggugah. Apa yang mereka masukkan. Bahan organik, ya. Baunya asli dan berbeda dari mie yang di kedai lain. Tanpa campuran bahan kimia dan obat-obatan… Nampaknya tak apa jika langsung kucoba.
Hmm…
Hah…
Rasanya begitu nikmat. Tapi…
Biarlah.
Di sisi lain, nampaknya Cynthia menikmati makanannya. Dia membelakangi, tapi mendengar suara seruput mie-nya, ya…
Dan temannya.
Ia hampir mati.
Tidak semua orang menyukai mie sepedas ini. Tapi, sensasi ini lumayan. Tubuh menjadi hangat dan sedikit mencubit mulut. Namun, campuran bumbunya yang terbaik, meski rasanya agak berbeda dari hari kemarin. Mungkin… Karena Thomas yang membuatnya. Dia jarang ke sini.
Tapi, dia cukup hebat. Sepertinya dia berlatih di rumah. Rumah ya…
“Thomas!”
“Ya, ada apa Kak?”
Dia lebih berkeringat dari tadi dan wajahnya memerah. Ia mendekat, dan napasnya agak terengah.
“Kau yakin baik-baik saja?”
“A aku baik kok. Paling hanya sedikit kelelahan. Nanti setelah istirahat sebentar paling langsung sembuh.”
“Kau yakin bukan karena tertekan?”
Dia sedikit bereaksi. “Ti tidak kok. Aku datang kesini atas permintaanku sendiri. Bukan dipaksa Ibu.”
“Ibu? Kau biasanya memanggilnya Mama.”
“Kalau sudah dewasa, rasanya tidak enak jika memanggilnya Mama. Terdengar seperti anak-anak.”
Oh begitu. Dia anak yang hebat.
Dia langsung pergi setelah pembicaraan berakhir.
Dia...
Ah, sudahlah. Dia memang hebat.
Sampai mana tadi.
Eh… Tanpa sadar Dark Pool sudah habis. Saking laparnya mungkin sampai lupa jika sumpit terus menerus menghantarkan mie ke mulut. Tak apa. Masih ada Api dan Laut Merah. Seharusnya lebih pedas dari pada Dark Pool, tapi ya…
Pasti tidak lebih pedas dari masakannya…
…
…
…
Huh…
Akhirnya habis.
Sepertinya Cynthia dan Cecil masih makan. Mereka wanita yang banyak makan sepertinya. Dan, bagaimana bisa wajah Cecil semerah itu? Dia terlalu memaksakan diri. Wanita ketika ada maunya memang mengerikan.
Sama sepertiku.
Dan saat ini, mungkin bersantai sejenak menyenangkan. Sayangnya Walter belum datang. Mengobrol dengannya menyenangkan meskipun sebentar. Dan, yang terpenting selalu ada sesuatu kalau dia datang. Dia pria yang penuh kejutan.
Tilung!
Pucuk dicinta.
-------
Walter : Tam, kau dimana?
Tam : Ada apa?
Walter : Jangan balik bertanya! Toh paling kau sudah tahu, kan?
Tam : Iya iya… Warung mie.
Walter : Yang disamping, ya?
Tam : Ya.
Walter : …
Bagaimana keadaan kuburan?
Tam : Jarang-jarang kau mananyakannya. Baik kok. Nanti sore ada upacara. Kau mau datang?
Walter : Nanti malam saja. Biasanya tidak seru kalau awal-awal.
Tam : Ya… Kau benar.
Walter : Kau masih mengasah sabitnya?
Tam : Ya.
Walter : Baiklah, aku segera kesana, ya. Rinciannya nanti.
Tam : Ok.
-------
Akhirnya…
Ada yang bisa menghibur di bulan yang dingin ini.
Eh!
“Permisi!”
Dia datang.
Kalau tidak salah… Namanya Thompson, ya. Dia satu kelas. Kemarin dia pindah dari Chranedas, ya. Orang Cochlea memang susah pergi dari kotanya. Dan sepertinya ia berjualan es-krim. Kedai di samping kedainya.
Hmm…
Thomas menyambutnya dengan Bu Rina. Lelaki yang cukup baik, atau tetangga yang baik. Es-krim gratis untuk tetangga. Padahal aku juga tetangganya. Mungkin lain kali aku akan menyapanya.
Dia langsung pergi. Dan nampaknya wajah Cecil memerah melihat Thompson. Atau memang sudah merah dari tadi…
Cynthia…
Dia sempat melihat Thompson, tapi langsung berbalik lagi setelah…
Ah sudahlah. Hal seperti itu biasa terjadi.
Dan…
Walter datang.
Dasar! Pakaian formal serba putihnya benar-benar mencolok. Dia ingin pamer? Ya… seperti itulah orang ini. Pria tua dengan rambut putih dan kumis aneh bewarna putih dengan topi bundar khas pesulap. Jika bewarna hitam mungkin sudah mirip Charlie Chaplin. Mungkin karena menggunakan tongkat juga. Mungkin…
Dia duduk dan melepas topinya. Seperti biasa, Thomas yang datang. Apa pelayan yang lain jam kerjanya diundurkan agar dapat bekerja hingga malam festival selesai?
“Pesan apa, tuan?”
“Apapun asalkan manis.”
Thomas terdiam sejenak dengan pesanan lelaki itu. Tapi ia langsung mengangguk dan menuju dapur. Kedai ini memang profesional. Mendadak membuat mie manis-pun bisa.
“Jadi, kali ini apa, Walter?”
“Sabar, Tam. Aku lapar dan ingin makan dulu. Kau tidak buru-buru, kan?”
“Ya…”
Mungkin, sekitar sepuluh menit sampai Thomas kembali dan menghidangkan mie-nya Walter.
…
…
…
“Jadi, kali ini apa?”
“Kau begitu sabar menunggu, ya.”
Jika memang dibutuhkan. Toh, harus sabar dengan yang tua. Dan seperti biasa, dia mengeluarkan amplopnya. Amplop hijau, ya…
“Agak berbeda dengan kemarin, kali ini sedikit menggigit. Dan, aku masih belum tahu siapa.”
Berpikir sebentar. “Apa yang diinginkan dari barang basi?”
“Hei.” Mendekatkan wajahnya. “Yang sudah basi dan baru basi itu berbeda, lho.”
“Dia tidak berubah dan tenang. Kali ini tugasnya agak aneh rasanya.”
“Kau yakin?”
“Tentang apa?”
“Dia mengincar itu?” Tatapan Walter berubah.
“Jadi itu alasanmu.”
BYUR!
Tanpa sengaja gelas berisi jeruk terjatuh. Beruntung Thomas segera datang dan mengelapnya. “Biar kubersihkan, kak.”
“Maaf ya…”
“Tak Apa.” Balas Thomas.
Dan dia langsung pergi setelah mengelap tumpahan itu. Namun dia langsung berbalik karena Cynthia nampaknya memesan jus jeruk, dan baru ia benar-benar pergi.
“Oh… Ya… Kau merawat sabitmu dengan baik, bukan?” Walter melanjutkan kata-katanya.
“Kau bahkan bisa berkaca dengannya.”
“Dan…”
“Ya…”
“Kau tahu dimana orangnya?”
…
…
…
“Sangat dekat.”
---------Continued---------
ns 172.69.59.128da2