“Se sepertinya… Sebaiknya kita segera pergi ke kedai es-krim, Cecil. Kau sudah tidak seperti dirimu.” Bibirnya seperti menggunakan lipstick. Dan warna bibirnya hampir mirip kulitnya yang sedari tadi memerah. Ia terlihat lemas, tapi kenapa sumpitnya masih bergerak untuk menghantarkan mie-mie yang agak gelap itu?
“Ini pedas, Cynthia.” Dia hampir menangis. “Tapi begitu enak!” Bukan itu masalahnya!!!
Tapi memang benar. Mie-nya begitu enak. Entah apa yang mereka masukkan, tapi sudah dua mangkuk mie berbeda masuk kedalam perut. Rasanya jauh berbeda namun begitu enak. Jujur saja, kedai ini tidak memiliki ciri khas. Tiap mie begitu enak, namun rasanya tidak ada yang sama bahkan mirip. Padahal yang dipesan tadi masih sama-sama mie ayam.
Dan mungkin, Cecil menunggu bibirnya menghitam baru berhenti memakannya.
…
…
…
“Habis!!!” Dia terlihat begitu merdeka. “Thomas! Boleh kupesan semangkuk Dark Pool lagi!” EEEHHH!!!
“Jangan Cecil! Nanti kalau diare bagaimana.” Sembari menyeretnya agar keluar dan membeli es-krim. “Terimakasih makanannya! Nanti kami kembali lagi.”
“Kami tunggu, Cynthia!” Bu Rina sedikit berteriak.
Akhirnya Cecil menurut dan keluar dari kedai mie itu.
…
…
…
Kedai es-krim benar-benar disampingnya…
“Nampaknya es-krim di tempat ini enak.” Cecil masih berusaha menghilangkan rasa pedas dari lidahnya. Ucapan barusan berdasarkan papan menu di depan kedai yang ada fotonya juga. “Cynthia, masih ada jus jeruk tidak?” Suaranya masih lirih seperti tadi.
“Kau sudah habis satu teko dan aku hanya minum satu gelas tadi, lho.”
Yang penting, seharusnya es-krim dapat membuat lidahnya tidak begitu kesakitan. Jadi, waktunya untuk es-krim!
…
“Selamat datang!” Seorang lelaki menyambut dengan ramah. Tapi, wajahnya agak… nampaknya… “Eh! Cynthia ya? Dan Cecil juga.”
“Thompson! Kau sekarang berjualan?”
“Hehehe… omsetnya lumayan lho. Aku pindah dari Chranedas ke tempat ini. Jadi kalian masih disini toh. Cochlea memang tempat yang bagus.” Satu lagi pria ramah, kali ini berambut merah tua tanpa kacamata.
“Boleh kami duduk. Nampaknya Cecil…”
Thompson melihat wajah Cecil yang merah dan hanya peduli pada lidahnya.
“Biar kutebak… Dark Pool.” Ia tersenyum menjawabnya.
“Kok kau tahu?”
Dia tersenyum begitu sombongnya. “Karena aku juga korban!” Dan apa yang dia sombongkan?
…
“Eh! Hampir saja aku lupa. Silahkan duduk! Sebentar, akan kuambilkan menunya.” Ia segera pergi ke belakang.
Sama seperti sebelumnya, Cecil meminta untuk duduk di pojokan. Dia suka sekali dengan pojokan.
Dan, setelah duduk Thompson kembali.
“Kalian mau pesan apa?”
“Hmm…” Memandangi menu yang menunya agak sedikit asing, membuat bingung dengan namanya.
“Eh! Maaf, aku kan baru buka disini. Biar kusarankan menu yang bagus untuk kalian. Tadi Cynthia makan mie-apa disamping.”
“Kenapa kau bertanya?”
“Untuk Cecil sudah jelas es-krim apa saja akan nikmat jika di makan ketika kepedasan seperti itu. Kalau untukmu…”
“Aku mau pesan yang segar saja. Mungkin yang sedikit asam, tapi jangan jeruk. Tadi sudah minum jus jeruk disamping. Dan Cecil tadi habis jus jeruk satu teko.”
“Orang bernama Thomas disamping begitu hebat.” Tiba-tiba dia menyebut Thomas.
“Ada apa dengan Thomas?”
“Membuat sensasi pedas menghilang sebentar dengan meneguk jus jeruknya yang agak masam, Menjadikan nafsu untuk merasakan pedas akan hilang dan kembali secara terus-terusan. Ia membuat paradox agar pelanggannya menikmati makanannya tanpa puas! Dan jujur, selama masih berada dalam kedai itu, rasa kenyang tidak akan pernah hilang entah kenapa.”
“Sebagai saingan kau membencinya?”
“Dia adalah RIVAL!!!” Ah! Cowok memang susah ditebak isi pikirannya.
…
“Yang segar agak asam dan bukan jeruk ya… Paling mangga kalau tidak belimbing.”
“Kalau begitu dua-duanya.” Ada es-krim rasa begituan, toh,
“OK!” Thompson kembali ke dalam dapurnya dan mulai meracik.
Aneh, padahal sudah keluar dari kedai itu. Tapi rasanya mulut masih ingin makan sesuatu. Dan pedas yang dirasakan Cecil masih bermukim di atas lidahnya.
“Tadi Thompson ya?” Eh! Dia baru sadar. “Kok, sepertinya dia tambah tampan.”
“Hah…” Menghela napas. “Semua lelaki kau bilang tampan.”
Tapi… Memang benar sebenar-benarnya. Dia tampan, baik, dan ramah. Ia berbeda sekali waktu sekolah dulu…
…
Yang penting…
…
Nampaknya untuk yang ini tidak terlalu lama dan Thompson sudah kembali membawakan dua cawan berisi es-krim yang cukup banyak. Ukuran jumbo, ya?
“Silahkan dinikmati!” Ujarnya. Kemudian. “Bolehkah aku duduk disini?” Bermaksud duduk disamping Cecil.
Wajah Cecil memera- yang memang sudah merah cabai mengangguk.
“Terimakasih, Cecil.”
Dia duduk dan sepertinya Cecil memandangi Thompson sembari memakan es-krimnya. Wajahnya juga sudah mulai padam. Dan, memang sebaiknya segera memakan es-krim itu.
“Hei, kalian masih ingat Tam?”
Agak tersedak karena tiba-tiba ia menanyakannya. “Ada apa dengan Tam?”
“Biar kutebak. Kau tadi melihatnya di kuburan, ya…”
Sakit tersedaknya sudah hilang dalam sekejap. “Ya… karena tempatnya memang disitu. Tadi dia juga lewat depan.”
“Hmm… Dia masih disitu, toh.”
“Kau tadi pagi tidak melihatnya? Biasanya, bahkan matahari belum terbit, ia sudah bersih-bersih. Begitu kata orang.”
“O oh… Paling kesiangan. Dia juga sering telat ke sekolah. Tapi, aku tadi melihatnya lewat, kok.”
…
“Tam tidak sering telat ke sekolah, sih…” Ya… Kuburan sebesar itu, sesekali mungkin dia kelelahan dan kesiangan.
“Dia masih sering menabur bunga, ya…”
Thompson sedikit mengejutkan. “Kau mengenal Tam?”
“Tidak begitu dekat. Tidak ada yang benar-benar mengenalnya, mungkin. Bahkan dia menolak untuk kerja kelompok di rumahnya, kan.”
“Seingatku teman-teman yang menolak karena mereka berpikir letak rumahnya di kuburan.”
“Oh… Aku lupa.” Ujar Thompson. “Dia wanita yang aneh. Aslinya aku mau melihatnya lebih dekat di kuburan. Namun sabitnya… mungkin dia akan mengambil nyawaku begitu datang ke kuburan. Hahaha… dia masih memegang sabitnya, kan?”
“Ka kau benar juga tentang sabitnya, sih… memang menyeramkan.” Cecil masih sibuk memandangi Thompson, ya. Dia tidak angkat bicara. “Sabit itu selalu di dekatnya.”
Dan, sepertinya sudah waktunya es-krim ini masuk kedalam mulut lagi. Nanti bisa meleleh.
…
“Tapi dia cukup imut, lho.”
UHUK! Dia membuatku tersedak. “Apa maksudmu?” Dan kali ini Cecil angkat bicara. Apa ini? Cemburu di pandangan pertama setelah beberapa tahun? Anu… Penggambaran yang ku buat rasanya… Sudahlah.
“Ya… Kulit putih, rambut hitam dikuncir dengan badan ramping begitu. Kalau dia tidak introvert sepertinya kalian juga setuju akan ucapanku.”
…
…
Dengan kaku Cecil mengangguk. “Kau benar juga, bahkan Cecil menyetujuinya. Ya… mungkin itu salah satu bukti bahwa orang jangan dinilai dari cantiknya saja.”
“Hmmm… Kau benar.” Ujar Thompson.
“Kau tahu, masih ada gadis yang lebih cantik seperti Aiko yang sekarang menjadi Idol atau Cecil mungkin.”
Wajahnya Cecil seketika memerah.
“Aiko levelnya terlalu tinggi, Cynthia. Dan, nampaknya Cecil harus kuliah, toh dia adalah sahabat terbaik ketika SMA. Hubungan kita sudah jauh lebih dalam ketimbang pacar tahu.”
Ucapan Thompson benar-benar manis dan pahit secara bersamaan.
Tiba-tiba, es-krim ini juga sudah habis. Dan nampaknya Cecil juga sudah tidak kepedasan.
“Maaf Thompson, tapi kami mau kembali kesamping, karena Cecil punya voucher makan, jadi rencanya kami makan mie sepuasnya kemudian untuk ending dengan es-krim. Kami akan kembali nanti.”
Thompson tersenyum dan mengangguk. “Silahkan. Kedai buka sampai malam untuk festival. Sampai jumpa beberapa menit kedepan.”
Cecil berdiri dan membalasnya. Kami keluar dengan perut yang sudah dingin. Benar-benar! Padahal bicara begitu tentang Thomas, tapi es-krimnya sendiri benar-benar membuat perut menjadi lapar. Apa mereka berdua bersaudara?
Intinya.
…
“Bu Rina, Kak Thomas, kami pesan mie lag-”
…
…
…
Eh!
Yang duduk di sana…
Tam!
---------Continued---------
ns 172.69.58.246da2