Hari benar-benar dingin, kan. Entah, namun melakukan ini dapat sedikit menghibur.
Trotoar ini nampak asing. Sudah diperbaiki, ya…
Baru dua bulan sejak bunga terakhir yang ditebar di makam Pak Steven, sudah banyak yang berubah di kota ini. Trotoarnya, bahkan lampunya sudah diganti. Hanya lampunya saja, sih. Toh, merknya tetap sama.
Dan nampaknya pagi ini Bu Rina sudah memiliki pelanggan. Mienya memang enak. Entah sudah berapa kali makan di kedai itu. Toh, tiap kesana pasti ada menu yang berbeda. Dia koki yang begitu handal dalam bidangnya, entah bagaimana masakannya selain mie. Dia juga masih terlihat cantik sebagai Singgle Parents.
Dan, pelanggannya…
Hmm… Kalau tidak salah namanya Cynthia, ya…
Satu sekolah. Duduk tepat disamping.
Kenapa dia ketika berjalan di kuburan selalu memandang. Aneh. Apa yang membuatnya tertarik. Sabitnya, ya… Lain kali sebaiknya jangan dibawa. Sepertinya terlihat mengerikan…
Jadi ingat Grim Reaper.
Lalu. Tiba-tiba ada dia. Dia…
Thomas.
Ia keluar dari kedai itu. Jarang-jarang melihatnya. Sekarang dia pakai kacamata, toh. Bingkainya terlihat lucu. Rumah Bu Rina di luar kota… jadi jarang melihatnya. Apa dia sedang bekerja? Nampaknya ia masih kelas tiga SMA.
Eh! Ohh… sudah hampir tahun baru, ya. Makanya sekolah libur. Tapi, sepertinya hanya beberapa tempat yang libur. Apa persiapan toko dan kedai yang lain untuk nanti malam, ya…
Nanti malam sepertinya ramai.
Sepertinya…
Hmm…
Ya…
Berapa meter lagi, ya…
Oh! Di depan.
Satu-satunya toko bunga di Cochlea. Tempat yang bagus dengan tembok batanya. Wangi… Tempat ini wangi.
…
…
…
“Tam, siapa yang meninggal?”
“Eh!” Padahal aku baru saja masuk. “Adik pak Roh meninggal, dan rencananya dikuburkan di kota ini.”
“Dia meninggal dimana?” Bu Sesca bertanya dengan nada antusias, namun juga terdengar sedih. Ia mengenal Rein?
“Ibu mengenalnya?”
“Rein… Dia teman satu kelas. Ia cukup terkenal dan pintar. Ya…” Wajahnya memerah.
Hah…
“Pak Rein meninggal di Rumah Sakit Cochlea Barat semalam. Ia overdosis obat tidur hingga memberi pengaruh terhadap kinerja otaknya. Kegagalan kerja otak, yang membuatnya meninggal. Nanti sore akan dikuburkan.”
“Wah… Tam tahu banyak, ya. Kau gadis yang pintar.” Ah! Lagi-lagi…
Ekspresi seseorang ketika tahu seseorang meninggal selalu seperti itu. Ia menangis. Tanpa sadar Bu Sesca mengusap air matanya. Ia terisak. Ia menyayangi Rein, ya…
Mungkin dulu mereka pacaran. Hubungan yang erat. Orang bilang semakin dekat semakin berat.
…
…
…
“Eh! Maaf Tam. Ibu tidak sengaja… Ma maaf ya…” Ia masih mengusap air matanya. Lalu menyodorkan sepaket bunga yang biasa dibeli.
“Tak apa Bu. Aku juga minta maaf.”
Ya… Sudah tertebak ketika hendak membayar. Lagatnya selalu begini. “Sudahlah, itu untuk Rein kan… Tak apa.” Dia tersenyum, tak tahu itu tulus atau menahan sakit. Namun saat yang seperti ini senyum mereka terlihat lebih indah dari biasanya.
Hah… hmmm… sudahlah.
“Terimakasih.”
Hanya itu yang terlontar dan pergi. Hari ini memang benar…
Dingin.
Lapar…
Ya, nampaknya mitos tentang udara dingin membuat perut lapar itu benar adanya. Tapi, warung mie itu… nampaknya mereka sudah kembali. Saat seperti ini, paling enak Dark Pool, kan. Dan, semoga ada menu pedas yang baru.
Cukup berjalan melewati beberapa bangunan, dan nampak Thomas menyambut sembari membersihkan bekas mejanya Cynthia. Nampaknya ia memakan dengan seseorang. Sepertinya Cecil.
Thomas ya…
Sudah lama tidak melihatnya.
“Kak Tam ingin makan apa.” Dia ramah seperti terakhir kali.
“Dark Pool.”
“Wah! Nampaknya banyak gadis yang suka Dark Pool, ya.” Senyumnya masih sama ketika SMP. Dan.. Hah… Biarlah.
“Eh, ada Tam!” Bu Rina keluar dari dapur masih memegang centong sup. Ibu Thomas dan beberapa saudara lainnya. Ya, dia Bu Rina. Wajah agak bulat dengan rambut hitam yang ia gulung di belakangnya.
“Pagi Bu…”
“Silahkan duduk.” Duduk di dekat penghangat nampaknya adalah tempat yang bagus, meski agak dekat dengan pojokan tempat mereka berdua tadi makan.
“Eh!” Thomas menatap kantung plastik putih yang nampaknya sedikit transparan terkena cahaya lampu. “Bunga untuk apa itu, kak?”
“Oh… Ternyata benar kau sedang membeli bunga tadi. Bagaimana kabar Sesca?”
“Dia menangis begitu mendengar Pak Rein meninggal.”
Bu Rina juga terdiam sejenak. “O oh… itu sudah pasti. Dulu Sesca sangat mencintai Rein, namun Rein keburu pergi ke luar negeri, sih.” Nadanya juga sedikit berat ketimbang tadi. Meskipun hubunganya berbeda, namun jika mengenal akan sedikit terjadi goncangan. Dan jelas berbeda dengan Thomas.
“Pak Rein ya…” Hanya ekspresi menyesal saja yang akan terlihat dari wajahnya. “Jadi Kak Tam mau menaburnya nanti di pemakaman.”
“Setelah pemakaman. Aku tidak terlalu dekat dengannya. Nampaknya kurang sopan jika aku berada di pemakamannya.”
“Itu yang kau ucapkan di pemakaman-pemakan sebelumnya, kan.” Ujar Bu Rina. “Kau begitu baik, lho. Kau mempersiapkan dan menggali kuburannya, itu sudah membuatmu pantas untuk hadir di pemakamannya. Dan bukannya kau dekat dengan Wali Kota?”
“Ya… dan tidak. Dia membantuku dan aku membantunya. Hubungan kita tidak lebih seperti membayar dan dibayar. Tidak lebih.”
“Kakak sejak masih SMA tidak berbeda. Masih dingin jika membahas hubungan sosiologi.” Heh…...
“Bagaimana bisa gadis sebaik dirimu bicara begitu dingin seperti itu. Bagaimana caramu menilai dirimu sendiri?” Nampaknya Bu Rina sedikit kesal.
“Aku, ya aku. Hanya orang lain yang bisa menilaiku dari sudut pandang mereka, dan hanya aku yang dapat menilai orang lain dari sudut pandangku.”
…
…
…
“Hah… Khas mu sekali… Tam.” Bu Rina kembali ke dalam dapur.
Thomas juga terdiam sejenak. “Meski Kak Tam dingin, tapi ideologinya selalu keren. Nanti akan kucatat tadi. Jadi… selain Dark Pool kakak mau pesan apa?” Mirip.
“Mungkin Api soalnya aku agak lapar kali ini. Dan, sepertinya Laut Merah ini menu baru. Aku juga memesannya. Oh iya… Boleh pesan jeruk satu teko? Yang hangat.” …
“Tentu boleh. Kalau musim dingin sepertinya para wanita mudah lapar.” Mengatakannya dan langsung pergi ke dapur. Hah… Sudahlah.
Untuk kehidupan, mungkin manusia menjalaninya dengan sama. Mereka akan bermain, belajar, dan bekerja. Manusia saat hidup itu begitu unik. Tidak akan pernah selesai jika memikirkan kehidupan manusia meski hanya satu orang.
Namun…
Sangat berbeda dengan kematian.
“Manusia itu sama ketika mereka mati. Karena mati, ya mati.” Setidaknya kematian selalu meninggalkan jejak.
Kesedihan, motivasi, dan mungkin beberapa rasa bangga dari orang-orang yang semasa hidup berjuang dengannya. Namun…
Yang namanya mati ya mati. Kehidupan mereka berakhir di alam ini. Karena masih hidup di alam ini, tidak mungkin bisa tahu apa yang terjadi di alam sana. Toh, sebaiknya tidak tahu. Karena pintu mereka berbeda dengan pintu yang selama ini ada di sini. Pintu yang berbeda cara membukanya. Jika salah, mungkin kita akan dianggap maling atau sebagainya.
Ini sedikit kontradiktif sih, karena aku baru saja memikirkan kematian.
Ya… salah satu cara untuk membuka pintunya ya…
Mati.
…
…
…
Bagaimana cara pikirnya kalau bukan manusia, ya…
…
“Permisi!”
Eh!
Cecil dan Cynthia?
---------Continued---------
ns 172.70.126.152da2