Bab 2. Istriku Maryam yang sexi
Suatu hari, aku tiba di rumah lebih awal dari biasanya. Hujan turun sejak siang, dan udara Jakarta menjadi sedikit kurang ramah. Aku putuskan pulang ke rumah saja.
Tok. Tok. Tok.
“Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam.”
Pintu dibuka, dan dari celahnya muncul Maryam dengan daster ungu muda dan rambut yang disembunyikan rapi di balik kerudung instan.
"Waaah, tumben cepat pulang," katanya sambil tersenyum. Tangannya memegang pintu, tubuhnya sedikit condong ke depan.
Aku tersenyum, menyeka tetes hujan dari jaketku. "Hujan dan kebetulan rezeki hari ini udah lumayan. Ada yang ngasih tip juga."
"Alhamdulillah…Masuk dulu, Mas. Basah tuh. Aku buatkan teh anget, ya."
Aku melangkah masuk, melepas sepatu sambil memandangi ruang tamu kami yang hangat dengan tumpukan mainan di satu sudut ruangan. Sesaat kemudian, Hardi berlari kecil dari arah kamar, menyeret boneka Doraemonnya.
"Yaaah... Yaaah!" teriaknya riang sambil nyeruduk ke kakiku.
Aku jongkok dan memeluknya erat. "Anak ayah makin pinter aja..."
Maryam berdiri tak jauh dari kami, membawa nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring biskuit kering.
"Enak ya kalau Mas setiap hari pulang sore gini," katanya pelan.
"Iya juga sih Dek." kataku lirih, memeluk Hardi lebih erat. "Namnnya juga kerjaan narek ojol. Kalau gak rajin yah mana cukup buat sehari-hari."
Maryam duduk di sampingku. Ia menyentuh lenganku lembut. "Aku nggak minta Mas buat sering-sering pulang cepat. Cuma senang aja. Kalau sesekali kayak gini."
Aku menatap wajahnya, matanya selalu hangat. Aku ingin bilang bahwa aku ingin berhenti jadi ojol. Bahwa aku akan cari kerja yang lebih baik. Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Tapi sampai saat ini menjadi ojek online adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa aku jalani. Dengan itu aku membiayai hidup kami. Yang membuat kami bisa punya rumah meski hanya rumah kontrakan.
"Mungkin kalau aku dapat kerja yang bisa pulang sore asik juga. Cuma kerjaan kayak gitu susah dapatnya. Gak ada lowongan pekerjaan apalagi buat aku yang udah mau kepala tiga." kataku akhirnya. "Kalau saja ada lowongan kerja yang lebih baik tentu aku gak akan sia-siakan. Aku akan lebih cepat pulang di rumah. Tiap malam aku bisa bacain buku dongeng buat Hardi sampai dia tidur. Temenin kamu nonton drama Korea yang kamu suka."
Maryam tersenyum lagi. Kali ini lebih hangat. "Kalau kamu beneran mau ikutan nonton drama Korea, itu baru keajaiban."
Kami tertawa bersama. Hujan masih turun di luar, tapi di dalam rumah kami, kehangatan itu ada. Meski aku tahu, waktu kami terbatas. Tapi untuk malam ini, aku ingin percaya... bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Dan besok pagi, saat notifikasi di ponsel memanggilku lagi untuk kembali ke jalanan, setidaknya aku akan pergi dengan hati yang masih hangat oleh senyum istri dan pelukan anakku.
Untungnya, Maryam tak hanya duduk diam menungguiku pulang. Dia membantu menambah-nambah penghasilan keluarga kami dengan berjualan online sebagai reseller produk kecantikan. Aku sering terbangun di tengah malam oleh suaranya yang lantang saat live di media sosial, menawarkan produk dengan semangat yang tak pernah padam.
"Langsung order ya, Mbak! Stok terbatas!" Begitu ia biasa berkata, sementara aku tersenyum di balik selimut, bangga sekaligus haru melihat usahanya.
Tiga tahun sudah sejak kami mengikat janji di hadapan Tuhan dan keluarga. Waktu yang terasa berlari, tapi setiap detiknya diwarnai kebahagiaan yang tak tergantikan.
Maryam—perempuan dengan senyum yang masih bisa membuat jantungku berdegup kencang, bahkan setelah sekian lama. Istriku. Teman hidupku. Kekasih yang selalu berhasil membuatku merasa seperti lelaki paling beruntung di dunia.
Hari-hari kami diisi dengan tawa, canda, dan kehangatan yang tak pernah luntur. Tapi di tengah kesibukanku sebagai ojol yang menghabiskan waktu di jalanan, dan kesibukannya mengurus rumah, Hardi, serta jualan online—kami punya satu ritual yang tak pernah absen.
Malam itu, hujan turun lagi. Hardi sudah terlelap di kamarnya setelah bermain seharian. Maryam baru saja selesai live jualan, wajahnya masih bersemu merah karena semangat.
"Aduh, capek banget hari ini," keluhnya sambil menjatuhkan diri di sampingku di sofa.
Aku memandangnya, lalu tersenyum. "Tapi laris, kan?"
"Dibanding kemarin, iya," jawabnya, matanya berbinar.
Tanpa banyak bicara, tanganku meraih pinggangnya, menariknya mendekat. Maryam tak melawan. Dia selalu tahu apa yang kuinginkan.
"Hardi tidur di sebelah, Mas." bisiknya, tapi tangannya sudah merangkul leherku.
"Aku tahu," balasku sambil mencium pelipisnya.
Kami beranjak ke kamar dengan langkah cepat, seolah tak sabar. Pintu terkunci perlahan. Dan di bawah rintik hujan yang mengetuk jendela, kami saling melepas penat dengan cara yang paling intim.
Maryam selalu bisa membuatku lupa segalanya. Di pelukannya, di desahannya, di caranya menggigit bibir bawah setiap kali aku menyentuh titik-titik rahasianya—aku seperti menemukan surga di tengah kerasnya hidup.
Kami bercinta dengan gairah yang tak pernah berkurang, seolah tak ada esok hari. Seolah dunia hanya milik berdua.
Hujan masih mengetuk jendela kamar kami dengan rintik-rintiknya yang malas, menciptakan irama sunyi yang menemani malam ini. Hardi sudah terlelap di kamar sebelah, napasnya teratur dan tenang. Maryam baru saja selesai mandi, tubuhnya masih mengebul uap hangat ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk kecil yang melilit longgar di tubuhnya.
Aku memandanginya dari tempatku berbaring di ranjang. Rambutnya yang basah menempel di pundak, tetesan air mengalir perlahan di lekuk lehernya yang indah. Mataku mengikuti setiap gerakannya saat ia berdiri di depan cermin, mengeringkan rambut dengan handuk kecil.
"Kamu menatap aku kayak belum pernah lihat aku sebelumnya," bisiknya, tersenyum lewat pantulan cermin.
Aku bangkit dari ranjang, mendekatinya perlahan. Tanganku meraih handuk dari genggamannya, lalu dengan lembut kusisir rambut hitamnya yang basah ke belakang. Bibirku menempel di pundaknya, mengecup kulitnya yang masih hangat.
"Karena kalo tiap kali aku liat kamu, rasanya sama kayak pertama kali liat," gumamku di antara ciuman-ciuman kecil di bahunya.
Maryam memutar tubuhnya, menghadapku. Handuk yang melilit tubuhnya longgar sedikit demi sedikit, tapi ia tak berusaha menahannya. Tangannya meraih wajahku, jari-jarinya yang halus menelusuri garis rahangku.
"Mas..." bisiknya, napasnya sudah mulai tak teratur.
Aku tak menjawab. Sebagai gantinya, tanganku meraih handuk di tubuhnya dan melepaskannya perlahan. Handuk itu jatuh ke lantai dengan suara lembut, meninggalkan tubuhnya yang indah terbuka di hadapanku.
Bersambung3169Please respect copyright.PENANA8z8m6i0nNL