Bab 4. Rutinitas
Dan kami pun tenggelam dalam ronde kedua yang lebih panas, lebih liar, lebih penuh nafsu yang diselingi oleh fantasi aku yang paling dalam seolah aku melihat memek istriku sedang dihujam oleh kontol pria perkasa yang tak aku kenal.
Maryam mendekapku erat, kuku-kuku mungilnya menancap di punggungku saat tubuhnya bergerak liar di atas batangku yang sudah kembali tegak berdiri. Napasnya pendek-pendek, dadanya yang montok bergoyang mengikuti irama gairah kami.
"Ahh... Mas... lebih keras!" rengeknya di telingaku, suaranya serak penuh hasrat.
Aku meremas pantatnya yang berisi, membantunya bergerak lebih cepat. "Sssst... Enak banget goyangan kamu, Dek. Andai memek kamu ketemu kontol yang lebih kuat dan bikin kamu kelojotan," bisikku sambil mengecup lehernya yang basah oleh keringat.
Maryam semakin menjadi goayngannya. "Ah Mas gila... ahh… Tapi rasanya terlalu enak!"
Bibirnya menyambar mulutku, lidahnya yang licin bermain-main dengan lidahku dalam ciuman yang panas. Tangannya meraih erat rambutku, menarik kepalaku mundur sehingga aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca penuh nafsu.
"Ouwhhhhhh ouwhhhhhh owuuuuuuuhhhhhh uhhhhhhhhhh.." Rintihan Maryam makin liar.
Gerakannya makin erotis. Turun naik, maju mundur dan berputat sambil menggesek-gesekkan klitorisnya di pangkal batangku.
Aku mengerang. "Aku... ahh... bayangin kamu lagi gituan sama kontol gede bikin aku makin nafsu."
"Ouwhhhhh ouwhhhhh uhhhhhhhhhhhhh…" Maryam hanya bisa melenguh.
"Aku... bayangin dia ngentot kamu dari belakang... ahh... sambil pegangin payudara kamu. Dek."
Maryam menjerit kecil, kontraksi di lubangnya semakin kuat mencengkeram batangku. "Dasar... hhh... Mas….mesum…. Ahhhhhhh!"
Aku membalikkan posisi kami dengan kasar, sekarang aku yang di atas. "Kamu suka kan, Sayang?" tanyaku sambil menampar pelan pantatnya.
"Nggak... ahh... aku cuma suka sama Mas!"
Tapi erangannya semakin menjadi ketika aku memelintir putting susunya dengan jemariku.
"Ouwhhhh yah gitu…Uhhhhhhhhhhhhh enak banget… Ahhhhhhh. " Racau Maryam.
Dengan gerakan kasar, aku menarik pinggulnya dan menancapkan batangku sampai ke pangkal. Maryam menjerit, tangannya mencengkram sprei sampai putih. Aku mulai mengayunkan pinggul dengan irama ganas, setiap dorongan membuat tubuhnya terguncang.
"Mas... aku mau... ahh... aku mau keluar lagi!"
Aku meremas payudaranya yang bergoyang, sambil kembali memainkan putingnya yang sudah mengeras. "Oh iya aku juga… Kita bareng."
Persetubuhan kami makin liar. Aku sudah tidak bisa menahan orgasmeku lagi. Aku hujamkan makin dalam dan Crotttttttt crotttt crottttttttttttt. Diikuti oleh Maryam yang juga mencapai puncak kenikmatannya. Tubuhnya melengkung, lubangnya menguncup erat sambil memancarkan cairan panas.
“Arghhhhhhhhh…” Maryam mengerang panjang, tubuhnya gemetar menikmati keluarnya setiap tetes cairan kenikmatannya yang membanjir dalam memeknya.
Kemudian memeknya meremas-remas kontolku yang masih ada dalam memeknya. Sepertinya dia merasakan gelombang kenikmatannya yang membuat memeknya berdenyut semakin keras.
Kami terjatuh bersamaan, napas tersengal-sengal, tubuh basah oleh keringat dan cairan bercinta. Maryam memelukku erat.
"Tumben Mas bisa bikin aku puas kali ini." bisiknya lembut.
Aku mengecup dahinya. "Iya, Sayang. Itu karena fantasi liar aku…."
“Hmmmmmm fantasi mas aneh banget. Cuma fantasi doang kan Mas. Jangan mikir aku bakal gituan beneran ama laki-laki lain ya Mas.”
“Eh iya, Dek.”
Tapi di dalam hati, aku tahu... fantasi itu akan kembali muncul di lain waktu. Dan Maryam... diam-diam menyukainya.
*****
Matahari pagi baru saja mulai menyembul dari balik gedung-gedung tinggi, menebar cahaya keemasan yang menyapu sisa kabut pagi. Aku menarik napas dalam, menghirup udara Jakarta yang sudah mulai tercemar bau knalpot meski hari masih pagi. Motor tuaku yang setia bergetar di antara pahaku, mesinnya berdengung pelan seperti mengeluh tapi siap untuk kembali bekerja.
"Duh, macet lagi dari pagi," gerutuku dalam hati saat melihat lautan lampu merah di depan.
Jam sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi, tapi jalanan Sudirman sudah padat seperti kaleng sarden. Para pekerja kantoran dengan setelan rapi, mahasiswa dengan tas punggung besar, sampai ibu-ibu dengan belanjaan pasar - semua berebut tempat di trotoar yang sempit.
Ping!
Suara notifikasi dari aplikasi ojol membuatku tersentak.
"Order dari Mas Dika, tujuan SCBD. Wah, lumayan nih," batinku sambil menerima orderan itu.
Perlahan aku menyusuri celah-celah antara mobil, skill yang sudah kukuasai setelah tiga tahun menjadi ojol. Bau keringat, bensin, dan sate padang dari warung tenda bercampur jadi satu. Sesekali aku melirik gedung-gedung megah yang menjulang, tempat orang-orang dengan gaji puluhan juta bekerja - jauh berbeda dengan penghasilanku yang kadang cuma cukup untuk makan dan bensin.
"Pak Ojol! Sini Pak!"
Seorang pemuda berkacamata melambai-lambaikan tangan dari halte bus. Wajahnya terlihat panik, arlojinya terus diperhatikan.
"Ke Grand Indonesia, buruan Pak! Meeting jam 7!"
Aku mengangguk, memberinya helm cadangan yang sudah kusiapkan. Dalam 10 menit, dengan skill manuver antara busway dan truk container, kami sampai di tujuan.
"Ini duitnya Pak, keep the change!"
Rp50.000 mengganjal di tanganku. Lumayan untuk tambahan uang jajan Maryam nanti malam.
Siang hari semakin terik. Aku berhenti sebentar di warung kopi langganan. Bang Salim, pemilik warung, sudah menyiapkan kopi hitam pekat kesukaanku.
"Lagi rame nih Kang?" tanyanya sambil membersihkan gelas.
"Iya Bang, apalagi pas jam makan siang," jawabku sambil menyeruput kopi yang membakar lidah.
Blaaar!
Suara klakson truk membuatku tersentak. Sebuah mobil mewah nyaris menyerempet motorku. Sopirnya melotot, mulutnya komat-kamit mengumpat. Aku hanya bisa menghela napas - itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari di jalanan Jakarta.
Saat lampu merah, mataku tertarik pada seorang ibu muda yang sedang berusaha menenangkan bayinya di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, aku menghampiri.
"Butuh tumpangan, Bu?"
Wanita itu mengangguk lemas. "Ke puskesmas Kelapa Gading Pak... anak saya demam..."
Aku segera membantu mereka naik. Perjalanan 20 menit dengan jarak segitu yang biasanya kalau lewat aplikasi biayanya sekitar Rp30.000, kali ini kulakukan dengan gratis. Bayi itu terus menangis, tangisannya menyayat hati.
"Terima kasih banyak Pak," ucap sang ibu dengan mata berkaca-kaca saat kami tiba.
Matahari sudah mulai condong ke barat ketika aku akhirnya memutuskan pulang. Dompet di saku sudah agak tebal - cukup untuk beli makan malam spesial buat Maryam. Jakarta mungkin kota yang keras, tapi hari ini ia memberikanku berkah tersendiri.
Sambil menyalakan lampu sein untuk belok ke gang rumah, kudengar suara Maryam dari dalam sedang menemani Hardi anakku.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam..”
"Wah Mas udah pulang! Kebetulan aku masak sop buntut kesukaan Mas!"
Senyum mengembang di wajahku. Semua lelah hari ini terbayar sudah. Apalagi melihat Hardi yang asik bermain dengan mobil-mobilannya.
1117Please respect copyright.PENANA35OuxrftBA
Bersambung1117Please respect copyright.PENANAfHleBrbjUp