Bab 6. Mengizinkan Istri bertemu mantannya
Hari ini rezeki lumayan deras mengalir. Sejak pagi, notifikasi pesanan ojol terus berdering tanpa henti. Aku meliuk di antara kemacetan Jakarta, mengantar penumpang ke sana kemari. Matahari sore mulai merendah, mengecat langit Jakarta dengan warna jingga kemerahan yang perlahan memudar. Aku baru saja mengantar penumpang seorang wanita paruh baya yang ternyata tinggal hanya beberapa blok dari rumahku. Lucky day, pikirku. Sekalian saja aku pulang kalau begitu. Aku segera memacu motorku hingga sampai di rumah. Aku kemudian memarkir motor di samping rumah kami yang sederhana.
Bau masakan Maryam sudah menyambut dari dalam rumah sebelum aku sempat membuka pintu. Aku tersenyum—pasti dia memasak rendang kesukaanku hari ini.
"Assalamualaikum, Sayang," sapaku sambil melepas sepatu dan memberi salam dengan mencium keningnya.
“Waalaikumsalam.”
Maryam membalas salamku dengan hangat, tapi ada sesuatu yang berbeda di matanya hari ini—sekilat kegelisahan yang tak biasa.
"Mas, ini Rudi udah di Jakarta. Dia bilang dia mau ketemuan malam ini. Gimana nih, Mas?" tanyanya sambil memainkan ujung hijabnya.
Aku berhenti sejenak, menatap wajahnya yang cantik itu. Ingatanku langsung melayang ke malam sebelumnya—ketika tubuhnya bergerak liar di atasku, suara erangannya yang terengah-engah, dan bagaimana kami bermain dengan fantasi tentang... Rudi.
"Temui aja, gapapa!" jawabku dengan santai, sambil mengambil segelas air dingin dari kulkas.
Matanya membesar. "Ini beneran serius, Mas? Mas gak bercanda kan?"
Aku mendekatinya, menatap langsung ke matanya yang seperti kolam coklat itu. "Iya, gapapa. Aku gak bercanda. Temui aja dia, Dek."
Maryam menghela napas panjang, jarinya tak berhenti memilin ujung hijabnya. Aku bisa melihat pertarungan dalam pikirannya—antara rasa ingin tahu dan kesetiaan.
"Oke, Mas. Kalau Mas bilang gapapa… aku temuin dia ya," akhirnya dia mengalah.
Pikiranku kembali melayang ke kemarin malam—ketika tubuh Maryam yang berkeringat bergerak di atasku, bibirnya yang menggigit erangan, dan bagaimana aku menyuruhnya bercerita... bercerita tentang Rudi.
"Dia meremas payudaramu seperti ini?" tanyaku sambil mencubit putingnya yang sudah keras.
"Tidak—ahh—lebih kasar!" jerit Maryam.
"Lalu dia memaksamu membuka paha seperti ini?"
"Ya—oh Tuhan—dia lebih kuat dari Mas!"
Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti bensin yang menyulut api dalam diriku.
Aku menggelengkan kepala mengingat fantasi liar kami itu.
"Dia mau ketemu dimana?" tanyaku sambil duduk di kursi makan, mencoba menyembunyikan getar di suaraku.
Maryam mengeluarkan ponselnya. "Dia bilang mau ketemuan di cafe Dandelions."
Aku mengangguk. "Jam berapa?"
"Jam 8."
Ada jeda panjang antara kami setelah kata-kata itu. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.
"Mas..." Maryam memecah kesunyian. "Kamu benar-benar yakin tentang ini?"
Aku menarik napas dalam. "Dengarkan, Sayang. Aku percaya sama kamu. Dan..." aku berhenti sejenak, "...kita sudah bermain dengan fantasi ini kemarin. Mungkin ini cara untuk bikin gairah aku naik. Tapi kalau di kenyataan aku gak tahu kalau aku benar-benar bisa menerima kalau kamu melakukan kayak yang aku fantasikan.”
Wajah misterius Maryam masih terpateri di benakku— wajah penuh arti yang biasa muncul saat kami tenggelam dalam permainan-permainan intim kami. Matanya yang berbinar seperti dua bintang di kegelapan, bibirnya yang menggigit perlahan, seolah menahan ribuan kata yang tak terucap.
"Iya, Mas. Aku juga cuma mau ketemuan doang," ujarnya, tapi nada suaranya yang sedikit bergetar membuatku tahu ada lebih banyak cerita di balik kalimat sederhana itu.
Aku menariknya mendekat, mencium aroma shampo favoritnya yang lembut. "Tapi cerita ya setiap detailnya padaku jangan ada yang ditutupi ya Dek!" bisikku di telinganya, sengaja membuat napasku hangat menyentuh kulit sensitif di lehernya.
Maryam mengangguk, wajahnya memerah. "Detail... seperti apa?" godanya, tahu persis apa yang kumaksud.
"Semuanya. Apa yang dia pakai, bagaimana dia memandangmu, apa yang dia katakan..." Tanganku tak sengaja meraih pinggangnya yang ramping. "...dan jika dia menyentuhmu—di mana, bagaimana."
Maryam menarik napas pendek, tubuhnya sedikit gemetar. "Mas..."
Tapi sebelum dia melanjutkan, aku mencium dahinya. "Ayo, bersiaplah. Jangan sampai terlambat."
Maryam berjalan menuju ke kamar untuk bersiap menemui mantan kekasihnya, meninggalkanku di sofa ruang tamu dengan pikiran-pikiran liar. Kemudian aku berjalan menuju ke teras depan rumah, menatap jalanan yang mulai ramai dengan lampu-lampu malam. Bayangan Rudi lelaki mantan kekasih Maryam yang pernah memegang peran penting dalam hidup istriku itu sebelum aku—terus menghantuiku.
Aku membayangkan bagaimana Rudi akan menyambutnya? Dengan pelukan hangat? Dengan ciuman di pipi yang terlalu lama? Apakah matanya akan jelalatan menyusuri tubuh Maryam, seperti yang selalu kami bayangkan dalam permainan kami? Akankah dia menyentuh lengannya saat berbicara, atau mungkin... lebih dari itu?
Kontolku yang mulai mengeras terasa menyiksa di balik celanaku. Aku mengutuk dalam hati—betapa ironisnya, rasa cemburu yang menggerogoti justru membangkitkan gairah yang lebih besar.
"Aku berangkat ya, Mas."
Suara Maryam menyadarkanku. Aku berbalik, dan...
Astaga.
Dia berdiri di sana dengan busana muslimah modis dan hijab lebar—secara teknis menutup aurat dengan sempurna, tapi sama sekali tidak bisa menyembunyikan pesonanya. Pinggulnya yang berlekuk indah tetap terlihat jelas saat dia bergerak.
Tonjolan payudaranya yang montok membentuk siluet menggiurkan di balik pakaiannya.
"Hati-hati," kataku, berusaha menjaga suara tetap stabil. "Dan... jangan lupa, kamu istriku."
Maryam mendekat, mencium pipiku. Aku bisa mencium wangi parfumnya yang biasa dipakai di acara-acara khusus—bukan parfum sehari-hari. "Selalu," bisiknya, lalu pergi.
950Please respect copyright.PENANADSYS1i263J
Pintu tertutup. Aku duduk sendirian di ruang tamu. Hardi anakku sudah tidur.
Jam dinding berdetak perlahan. Aku mencoba menyalakan TV, tapi tak ada yang menarik. Pikiranku hanya berisi Maryam—Maryam dan Rudi.
Aku mengambil ponsel, mengecek jam. Sudah lima belas menit sejak dia pergi.
"Apa yang terjadi kalau mereka ketemuan?"
Apakah mereka sudah bertemu? Apakah Rudi memeluknya terlalu lama? Apakah Maryam tersipu malu seperti dulu?
Mereka mantan dan aku membayangkan mereka saat pacaran sampai sejauh apa. Apa mereka pacaran hanya pegangan tangan doang? Apa mereka sampai ciuman? Dan sekarang mereka bertemu lagi. Apa mereka akan memiliki hasrat untuk ….
Kontolku semakin keras membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang berujung mesum di kepalaku. Aku mengeluarkannya dari celana, mulai mengocok perlahan sambil membayangkan hal-hal liar berbau sensual yang mungkin terjadi antara Maryam dan Rudi mantannya. Maryam dan Rudi duduk terlalu dekat. Tangan lelaki itu "tak sengaja" menyentuh paha Maryam. Maryam terkejut, tapi... tidak menolak.
"Kamu masih sama cantiknya," bisik Rudi dalam bayanganku.
"Kita... tidak boleh," jawab Maryam, tapi napasnya sudah berat.
Rudi kemudian menciumnya dan Maryam merespon dengan penuh gairah.
Aku mengerang, tanganku mengocok dengan lebih cepat.
ns216.73.216.251da2