Bab 7. Kembali hanya bisa berfantasi
934Please respect copyright.PENANAHlXyff7Hvm
Rudi menarik Maryam ke kamar kecil kafe. Pintu terkunci. Tangannya meremas payudara istriku yang selama ini jadi milikku.
"Kamu basah," bisik Rudi.
"Ini salah..." erang Maryam, tapi tubuhnya melengkung menyerah.
"AKU ISTRI HARIS!" teriak Maryam dalam fantasiku, tepat saat aku menyemprotkan cairan kenikmatanku, memercikkan sperma ke mana-mana.
Aku terengah-engah, tubuh basah oleh keringat.
Realitas kembali menghantamku—aku baru saja masturbasi sambil membayangkan istriku dengan mantannya. Aku menikmatinya. Aku membersihkan diri, lalu terjatuh di sofa. Pertanyaan yang tadi mengganggu kini semakin besar:
Apa yang sebenarnya aku inginkan? Apakah aku ingin Maryam tetap setia? Atau... apakah aku benat-benar ingin dia melangkah lebih jauh dengan Rudi, agar kami punya cerita panas untuk yang benar-benaar real yang akan jadi pemincu gairah saat kami bercinta? Atau aku hanya sekedar berfantasi saja dan tak perlu berharap ini jadi kenyataan. Kalau mereka sekedar bertemu saja aku sudah senang. Tapi kalau aku juga berharap lebih aku sendiri merasa aneh. Tapi ada dorongan bagiku untuk mengarah menjadi pribadi yang aneh itu.
Telepon berdering. Aku terkejut. Pesan dari Maryam:
*"Mas, kita cuma minum kopi. Tapi... kamu mau dengar detailnya kan? Aku udah mau pulang nih. Sabar ya Mas."*
Aku menarik napas dalam. Malam ini masih panjang. Dan mungkin... lebih panas dari yang kubayangkan.
***
Aku membersihkan ceceran spremaku dan mengepel lantai yang kena sperma. Setelah selesai aku duduk di sofa, jari-jariku tak henti mengetuk-ngetuk lengan kursi. Jam di dinding berdetak dengan lambat, setiap detik terasa seperti siksaan. Pikiranku dipenuhi gambaran-gambaran liar tentang apa yang mungkin terjadi antara Maryam dan Rudi.
"Harusnya istriku sudah pulang sekarang," gerutuku dalam hati, mengecek ponsel untuk kesekian kalinya.
Ketika pintu akhirnya terbuka, jantungku berdegup kencang. Maryam masuk dengan wajah tenang, tapi matanya berbinar dengan cara yang membuatku penasaran.
"Assalamualaikum Mas, aku pulang,"
“Waalaikumsalam.”
“Mas udah gak sabar nunggu ya?” Ujarnya sambil melepas hijabnya.
Aku langsung bangkit dari sofa. "Iya gimana pertemuan kalian. Seru ya Dek? Cerita sekarang!" desak aku, tak sabar.
Maryam tersenyum kecil, lalu dengan sengaja berlalu di depanku menuju kamar. "Aku mandi dan ganti baju dulu ya, Mas. Badan aku lengket nih."
"Dasar!" Aku menggeram dalam hati. Dia tahu persis bagaimana membuatku semakin penasaran.
Aku mencoba bersabar. Suara air mandi dari kamar mandi seolah memperlambat waktu. Setiap tetes air yang jatuh seperti mempermainkan saraf-sarafku.
"Apa benar hanya minum kopi?"934Please respect copyright.PENANAlVCT1CxvWf
"Apakah dia menyentuhnya?"934Please respect copyright.PENANAqwGEOChyr9
"Bagaimana ekspresi Maryam saat bertemu mantannya setelah sekian lama?"
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. Aku bahkan tak menyadari tanganku sudah mengepal erat.
Maryam akhirnya keluar dari kamar, mengenakan handuk yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Rambutnya masih basah, wangi sabun mandinya memenuhi ruangan.
"Yaudah, sekarang cerita," paksaku, menariknya duduk di sampingku.
Maryam menghela napas. "Ya seperti yang aku bilang tadi, Mas. Kita cuma ketemu, ngobrol biasa, minum kopi. Nggak ada yang spesial."
Aku memandangnya skeptis. "Detailnya, Sayang. Aku mau tahu semuanya."
Maryam mulai bercerita dengan suara datar:
"Rudi udah nunggu pas aku dateng. Dia pesanin kopi susu kesukaan aku—dia masih ingat."
"Hmm," batinku, mencoba menahan gejolak cemburu.
"Kita ngobrolin kerjaan dia di Surabaya," lanjut Maryam sambil menatapku, "terus dia tanya kabar kita. Aku cerita kalau aku udah nikah dan bahagia.. Dia juga udah nikah dan istrinya di Surabaya."
"Terus?" Tanyaku lagi masih mendesaknya.
"Ya udah, Mas. Cuma gitu doang," jawab Maryam sambil mengangkat bahu.
Aku mengangguk, tapi tangan tak sengaja meremas bantal di sampingku.
"Nggak ada pegangan tangan? Nggak ada pelukan? Nggak ada sentuhan aneh-aneh? Beneran cuma ngobrol biasa?”
“Iya mana ada kayak gitu. Kita kan ketemuan di Cafe yang rame.”
Aku agak kecewa mendengarnya. "Seriusan cuma segitu?"
"Iya! Kamu kira apa? Mau aku ngarang cerita panas biar kamu seneng?"Tanya Maryam sambil tertawa kecil.
Ada sedikit kekecewaan dalam hatiku—aneh, aku sudah mempersiapkan diri untuk cerita yang lebih... menggairahkan.
"Jadi dia nggak sama sekali..."
"Nggak, Mas," potong Maryam. "Dia sopan banget malah. Kayaknya dia gak pernah berubah. Masih sopan kayak waktu dulu."
Dia mendekatkan wajahnya, matanya berbinar nakal. "Kamu kecewa ya? Padahal udah siap-siap denger cerita hot?"
Aku menarik napas dalam. "Nggak juga. Aku cuma..."
Maryam tiba-tiba mencium pipiku. "Aku tahu kamu mau denger cerita seru. Tapi maaf ya, aku bukan wanita murahan dan gak mungkin kan aku merayu dia buat gituin aku."
Tapi kemudian, tiba-tiba Maryam berbisik di telingaku:
"Tapi... kalau kamu mau, kita bisa bikin cerita sendiri sekarang. Cerita tentang apa yang bisa terjadi tadi tapi cuma fantasi saja..."
Aku menatapnya, melihat kilauan nakal di matanya yang selama ini kukenal. Dan saat itulah aku menyadari—mungkin pertemuan mereka memang biasa saja.
Tapi malam ini? Malam ini masih bisa menjadi luar biasa.
Lampu kamar temaram menyinari tubuh Maryam yang sedang berbaring di atas kasur, kulit sawo matangnya berkilau oleh lapisan keringat tipis. Aku menatapnya dari ujung kaki, menikmati setiap lekuk tubuhnya yang tersembunyi di balik piyama pendek yang mulai kusingsingkan perlahan.
"Jadi benar tidak ada sesuatu yang spesial tadi?" bisikku sambil jari-jariku menyusuri betisnya yang mulus.
Maryam menggeleng, rambutnya yang tergerai seperti sutra hitam berhamburan di bantal. "Beneran, Mas. Cuma ngobrol biasa," jawabnya, tapi matanya berbinar dengan cara yang kukenal terlalu baik.
Aku merangkak naik, tubuhku menindihnya dengan lembut. "Kalau begitu... mungkin kita bisa buat versi kita sendiri," desakku, bibirku menyentuh daun telinganya yang sensitif.
Permainan fantasi kembali kami mulai. Tanganku merayap di bawah kaos longgarnya, menemukan payudaranya yang sudah mulai mengeras. "Bayangkan... bagaimana jika Rudi tadi tidak bisa menahan diri?" kugumam sambil memainkan putingnya antara jari.
Maryam menghela napas. "Mas... dia nggak akan— ohh!"
"Dia pasti melihatmu seperti ini," bisikku sambil menyingsingkan kaosnya sepenuhnya, memperlihatkan buah dadanya yang montok. "Melihat payudaramu yang indah ini, berpikir bagaimana rasanya menyentuhnya."
Aku membungkuk, menangkap putingnya yang keras di antara bibirku. Maryam melengkung, tangannya mencengkeram rambutku.
Agar makin bergairah kami memakai narasi yang membakar.
"Dan ketika kau minum kopi," aku terus bercerita di antara ciuman, "matanya pasti tertuju pada bibirmu yang basah—"
"Ahh... Mas!"
"—berpikir bagaimana rasanya jika bibir itu melingkari kontolnya."
Maryam memekik, tapi aku bisa merasakan betapa basahnya dia sekarang. Tanganku menyusup ke dalam celana pendeknya, menemukan kelembaban yang sudah menunggu.
"Dia pasti ingin melakukan ini," geramku sambil dua jari masuk ke dalam memeknya tanpa peringatan.
934Please respect copyright.PENANAa71qlpOAya
Bersambung.
934Please respect copyright.PENANACH162W4Gsb