Bab 1. Aku Pengemudi Ojol
1596Please respect copyright.PENANAkvRKwXPFVM
POV Haris
Jakarta. Kota yang tak pernah lelap, bahkan di tengah malamnya yang paling sunyi. Gemerlap lampu gedung pencakar langit memantulkan cahaya ke langit mendung yang jarang menyisakan bintang. Suara klakson bersahut-sahutan seperti irama tak berujung, berpadu dengan dengung mesin kendaraan yang memadati jalanan setiap jam.
Di tengah hiruk-pikuk yang tak kenal lelah ini, jutaan manusia menjalani cerita mereka masing-masing. Ada yang tergesa mengejar impian, ada yang terjebak dalam rutinitas yang melelahkan, ada yang terluka, dan ada pula yang menemukan cinta di tempat yang paling tak terduga.
Namaku Haris Priadi Mustafa, pria berusia 29 tahun. Aku seorang pengemudi ojek online. Separuh hidupku kuhabiskan di jalanan—di antara kemacetan kota Jakarta, di bawah gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti penjaga raksasa metropolis ini. Setiap hari, aku menyaksikan wajah-wajah orang yang berbeda di jok belakang motorku. Mereka datang dan pergi, membawa cerita yang tak pernah akan kuketahui sepenuhnya.
Namun, bila ditanya, aku tetap akan mengatakan bahwa aku pria yang beruntung.
Aku punya seorang istri yang cantik. Namanya Maryam usianya 26 tahun perempuan yang dulu kutemui saat aku mencari penumpang di depan sebuah mal di Jakarta Selatan. Ia sedang berdiri di tepi jalan, dengan hijab yang menutup kepalanyanya, dengan busana muslimah yang tak bisa menutupi keindahan tubunya yang montok.
Maryam tak banyak menuntut, meski aku sering kali hanya pulang membawa hasil yang tak seberapa. Ia tak pernah mengeluh ketika makan malam kami hanya nasi dengan telur dadar, atau ketika listrik di rumah sempat diputus karena telat bayar. Yang ia lakukan hanyalah memelukku lebih erat, seolah-olah kehangatan tubuhnya bisa mengusir semua kekhawatiran yang menghantui pikiranku.
Dan Hardi, putra kami. Usianya baru satu setengah tahun. Suaranya belum jelas saat memanggil "Ayah," tapi cukup untuk membuat rasa lelahku hilang kalau aku kembali dari berjuang mencari rezeki. Di rumah kecil kami yang sederhana di pinggir Jakarta Timur, Maryam menungguku dengan senyum yang selalu berhasil membuatku merasa pulang—sungguh pulang.
Tapi kehidupan, seperti jalanan Jakarta yang tak pernah bisa diprediksi, selalu menyimpan kejutan. Dan malam itu, ketika hujan turun dengan derasnya dan jalanan mulai sepi, aku tidak tahu bahwa sebuah pertemuan akan mengubah segalanya. Sebuah pertemuan yang akan mempertanyakan semua yang kupercayai tentang cinta, kesetiaan, dan pilihan-pilihan yang harus kita buat demi orang yang kita sayangi.
Jakarta memang kota yang tak pernah tidur. Begitu juga dengan rahasia-rahasia yang tersembunyi di setiap sudutnya.
Setiap kali aku memandang Maryam, istriku, rasanya seperti pertama kali jatuh cinta—seperti menemukan mutiara di antara hamparan pasir. Waktu terus berjalan, tapi pesonanya tak pernah luntur, malah semakin membara, membuatku terpana setiap hari.
Aku masih ingat jelas momen pertama kali melihatnya. Wajah ovalnya yang sempurna, dengan kulit sawo matang yang halus bak sutra, seolah memancarkan cahaya sendiri. Matanya selalu menyimpan cerita, kadang jenaka, kadang penuh misteri, kadang berbinar penuh cinta tapi selalu membuatku ingin menggali lebih dalam. Bibirnya yang merah alami, tanpa perlu sentuhan lipstik, selalu menggoda untuk dicium. Dan hijabnya? Justru membuatnya semakin memikat, seolah menambah aura elegan dan misterius yang bikin siapapun ingin mengenalnya lebih jauh.
Tapi bukan hanya wajahnya yang memukau. Tubuhnya adalah mahakarya Tuhan yang sempurna. Pinggangnya ramping, membentuk lekuk tubuh yang proporsional, Payudaranya yang montok dan pantatnya yang berisi, menungging bak buah ranum, membuatnya terlihat begitu seksi meski selalu tertutup hijab lebar dan busana muslimah yang longgar. Aku tahu, tak ada kain yang bisa sepenuhnya menyembunyikan kemolekan tubuhnya. Dan setiap kali kami berjalan bersama, aku bisa merasakan tatapan-tatapan liar yang mengikuti dari belakang, mencoba mencuri pandang pada istriku dan mungkin dengan fantasi liar mereka..
1596Please respect copyright.PENANAWlHsM19dJs
Suatu sore, kami sedang menikmati bakso di pinggir jalan, angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin romantis. Tiba-tiba, Maryam mencolek lenganku, suaranya berbisik penuh kegerahan.
"Mas, lihat tuh… bapak-bapak di meja sebelah, dari tadi ngelirik aku terus."
Aku mengikuti arah pandangannya. Benar. Seorang lelaki separuh baya, dengan kemeja lengan pendek yang sudah kusut, matanya tak lepas dari Maryam. Ketika sadar ketahuan, dia buru-buru menunduk, pura-pura sibuk dengan makanannya.
Aku hanya tertawa. "Biarkan saja, Sayang. Itu bukti kamu memang cantik. Wajar lelaki normal akan melirik kamu."
Maryam mencubit pahaku, wajahnya merah karena kesal. "Mas kok santai banget sih? Aku nggak nyaman digituin!"
"Terus aku harus gimana? Gamparin laki-laki itu?" balasku sambil menyuapkan bakso ke mulutnya. "Lagipula, aku nggak mungkin bisa melarang orang lain melihat. Yang penting, kamu gak pamer aurat."
Dia menghela napas panjang, tapi senyum kecil mengembang di bibirnya. Aku tahu, meski mengeluh, dia sebenarnya senang—senang karena aku bangga memilikinya.
1596Please respect copyright.PENANAr1V3j3b6iY
Bukan hanya di dunia nyata, di dunia maya pun Maryam sering jadi incaran. Suatu malam, sepulang dari mengojek, istriku menyodorkan ponselnya dengan wajah kesal.
"Mas, ini ada yang kirim DM aneh lagi," keluhnya.
Aku membaca pesan itu:
"Mbak, boleh kenalan ga? Aku suka sama senyum manisnya."
Maryam sudah membalas dengan sopan: "Maaf, aku sudah bersuami."
Tapi si pengganggu itu malah semakin menjadi: "Mbak puas ya sama suami? Kalo suami nggak bisa bikin Mbak puas, aku siap bikin mbak puas sampe kelojotan."
Aku cuma menggeleng, tertawa. "Hahahaha, kocak juga ya?"
Maryam memandangku, matanya menyiratkan keheranan. "Kok Mas malah ketawa sih? Ini tidak lucu Mas."
"Terus Mas harus gimana?"
"Balas kek. Tulis, 'Maaf, ini siapa ya? Aku suaminya. Aku saat ini lagi ngecek FB istriku. Kamu jangan DM aneh-aneh lagi ke istri aku!' Atau mau aku laporin ke polisi? Kan Mas bisa lakukan itu!"
Aku mengusap rambutnya. "Capek kalau ngeladeni kayak gitu. Apalagi kalau sampai ngelapor polisi seghala. Ribet. Kalau diseriusin, cuma bikin emosi aja. Cuekin saja, Dek!"
“Bukan lapor Polisi tapi setidaknya Mas bereaksi marah kalau ada yang ganggu aku.”
“Ah sudahlah yang penting mereka gak nyentuh kamu jadi biarin aja.”
Dia hanya mendesah mungkin karena tidak puas dengan jawaban aku. .
Memang, Maryam itu seperti magnet—selalu menarik perhatian, baik sengaja atau tidak. Tapi biarlah orang lain melihat, mengagumi, bahkan menginginkannya. Karena pada akhirnya, dialah yang pulang ke pelukanku, dialah yang memanggilku "Mas" dengan suara manja, dialah yang tidur di sampingku setiap malam.
Dan aku? Aku hanya perlu memastikan bahwa cintaku padanya lebih besar dari semua tatapan dan godaan itu. Karena Maryam—istriku, belahan jiwaku—selalu dan akan tetap menjadi milikku sepenuhnya.
1596Please respect copyright.PENANAm47kxdKr6S
Bersambung1596Please respect copyright.PENANA6qIWjRtPCo