Bab. 5. DM dari teman lama istriku
Usai sholat magrib kami makan malam bersama. Aroma sop buntut hangat masakan istriku menggodaku untuk makan lebih banyak malam ini. Setelah selesai makan aku bersandar di sofa, mengusap perut yang sudah kenyang, sambil memandang Maryam yang sedang sibuk membereskan piring-piring kotor. Dia bergerak lincah di antara meja dan dapur kecil kami, hijab longgarnya sedikit terbuka memperlihatkan rambut hitam pekat yang diikat sembarangan.
"Dek, biar aku aja yang cuci piringnya," kataku sambil mencoba bangkit dari sofa.
Maryam langsung melotot, tangan kanannya memegang centong nasi, tangan kirinya menekuk di pinggang. "Diem aja dulu sana, Mas! Kan Mas udah capek seharian ngider. Aku aja yang urus ini!"
Aku tertawa melihatnya yang selalu bersikap seperti ratu kecil di rumah ini. "Tapi aku kasihan lihat kamu sibuk terus."
"Sibuk apanya? Jualan online kan sambil duduk manis di kamar. Nggak kayak Mas yang seharian kena polusi jalanan," balasnya sambil menyiram piring dengan air hangat.
Aku mendekatinya dari belakang, memeluk pinggang rampingnya yang tersembunyi di balik daster longgar. "Kalau gitu, aku bantu lap piringnya ya," bisikku di telinganya sambil sengaja meniup-niup lembut.
Maryam menggelinjang. "Ih, nggak bisa diam sih! Nanti piringnya jatuh!" Tapi aku bisa melihat senyum kecil mengembang di bibirnya.
Kami akhirnya berbaring santai di sofa, Maryam bersandar di dadaku sambil memegang secangkir teh hangat. Aku memainkan rambutnya yang sudah dilepas dari hijab, menikmati keharuman sampo favoritnya. Hardi sudah tidur setelah kecapean bermain.
"Jadi gimana jualan live-nya tadi?" tanyaku sambil mengecup puncak kepalanya.
Maryam langsung bersemangat, matanya berbinar seperti anak kecil yang dapat mainan baru. "Wah, hari ini lumayan lho, Mas! Ada pembeli baru dari Bogorbeli tiga set mukena! Katanya suka sama motif batiknya."
"Wah, hebat juga kamu," pujiku sambil memijat lembut pundaknya yang tegang.
"Tapi ada juga sih yang bikin kesel," keluhnya tiba-tiba, wajahnya berkerut. *"Ada ibu-ibu nawar habis-habisan. Udah diskon 30% masih minta tambah gratis ongkir pula!"*
Aku tertawa melihat ekspresinya yang menggemaskan. "Namanya juga usaha, Dek. Pembeli kan macam-macam."
"Iya sih, tapi..." Maryam tiba-tiba berbalik, matanya berbinar penuh rencana. "Mas, aku mau coba bikin live di Faceboook besok. Katanya lebih rame ya?"
Aku mengangkat alis. "Kamu nggak takut dapat komentar-komentar aneh?"
Maryam mencubit pahaku. "Eh iya nih Mas. Ada yang nge-DM lagi," ujarnya, suaranya setengah kesal, setengah geli. "Ngasih nomor telepon, ajak ketemuan. Katanya mau belanja banyak kalau aku mau ketemuan."
Aku tersenyum, malah merasa ada panas yang menggelora di perutku. Sejak dulu, aku selalu terangsang saat tahu ada lelaki lain yang tertarik dan berhasrat pada istriku. Mungkin itu semacam kebanggaan tersendiri—bahwa perempuan seksi dan cantik ini memilihku, tidur di pelukanku setiap malam.
"Artinya kamu memang cantik, sayang!" kataku sambil menepuk pantatnya dengan lembut. "Kalau gak ada yang ngejar, baru aku khawatir."
Maryam mendecak, tapi aku tahu dia senang. Bibirnya yang merah itu melengkung sedikit, meski matanya berpura-pura kesal. Dia selalu begitu—seolah tidak suka dipuji, padahal dalam hati, dia pasti berbunga-bunga.
Tapi malam ini, ada getar aneh dalam suaranya.
"Ada satu, Mas... DM lagi, tapi bukan di TikTok..." ucapnya ragu-ragu, jari-jarinya memainkan ujung selimut.
Aku mengusap rambutnya yang masih sedikit lembap dari keringat kami tadi. "Yang mana?"
Dia menghela napas panjang. "Dari... temen lama."
"Temen lama apa mantan?" Sahut aku, sengaja menggoda.
"Ih, Mas! Beneran, dia temen lama!" Sahutnya dengan suara manja yang membuatku semakin ingin menggodanya.
"Temen kapan?"
"SMA..."
"Paling juga mantan kamu, hehehehe." Aku tertawa, jari telunjukku mengusap tulang selangkanya yang masih merah bekas ciumanku tadi.
"Ih, Mas...!" Tangannya mencubit perutku, tapi tidak keras.
"Temen kamu yang mana sih, Dek?"
"Namanya Rudi."
Aku berhenti sejenak. Otakku langsung memutar memori. "Oh, Rudi yang kamu ceritain dulu waktu kita masih pacaran?"
"Iya, Mas..." Jawabnya malu-malu, matanya menghindar.
"Yah, itu mah beneran mantan kamu, Dek."
"Eh, iya, Mas..." Akhirnya dia mengaku, pipinya memerah.
Aku teringat cerita Maryam dulu. Rudi—mantan seriusnya, hubungan yang nyaris berujung ke pelaminan kalau saja tidak terhalang beda agama. Lalu Rudi memilih merantau ke Surabaya, meninggalkan Maryam yang kemudian kutemui bertahun-tahun kemudian sebagai penumpang ojol-ku.
"Oh," kataku, berusaha santai. "Terus dia DM apa di Facebook?"
Maryam mengangkat bahu. "Katanya mau ke Jakarta minggu depan. Pengen ketemuan."
Aku diam. Ada sesuatu yang menggelitik di belakang pikiran—bukan cemburu, tapi justru rasa penasaran yang aneh.
"Ya gapapa, ketemuan aja," kataku akhirnya.
Maryam mengangkat kepala, matanya membesar. "Serius? Mas gak keberatan aku ketemu mantan?"
"Kenapa enggak? Emang kenapa aku harus keberatan?"
"Kali Mas cemburu..."
"Cemburu apaan?" Aku tertawa, tanganku merayap ke pahanya yang halus. "Aku malah ngaceng ngebayanginnya."
"Ih, Mas mulai gila lagi nih!" Dia memukul bahuku, tapi tertawa. "Masak istri dibayangin macam-macam?"
"Boleh kan?"
"Eh, tapi beneran boleh ya?" Suaranya tiba-tiba bersemangat.
"Iya, boleh."
"Makasih ya, Mas!" Dia menyenderkan kepalanya di dadaku, senyum lebar mengembang.
"Tadinya aku cuma takut kamu nanti cemburu."
"Aku percaya sama kamu, Dek," potongku, lalu menurunkan suaraku. "Lagipula..." Aku menarik napas, memilih kata-kata. "Aku penasaran."
"Penasaran apa?"
"Apa yang bakal terjadi."
Maryam terdiam lama. Lalu, pelan-pelan, senyum nakal muncul di bibirnya.
"Jahat banget sih kamu, Mas," bisiknya, tapi ada nada main-main di suaranya.
Aku mengecup keningnya. "Kamu juga penasaran, kan?"
Dia tidak menjawab. Tapi di matanya, aku melihat sesuatu—kilatan liar yang membuat jantungku berdegup kencang.
Dan entah kenapa, aku merasa darahku mengalir deras ke bawah. Aku membayangkan Maryam bertemu Rudi. Membayangkan matanya yang teduh itu memandang mantannya. Membayangkan...
"Mas, kok malah makin keras?" godanya, tangannya meraba selimut.
Aku mendesah. "Salah kamu."
Malam ini, kami kembali bercinta satu ronde lagi kemudiian tertidur kelelahan.
1017Please respect copyright.PENANA5pRPBe5hb8
Bersambung1017Please respect copyright.PENANAzb2m25OsdD