Bukan hanya senang, tapi klien kami Enomoto-san tampak puas berkunjung di Kumoishi. Bahkan Enomoto-san sendiri mengaku takjub dengan proses produksi yang tempatnya tampak bersih, steril dan rapi. Kemudian gudang di lantai paling bawah yang juga terlihat luas dan nyaman.
Aku dan Kashiwagi-san akhirnya bisa mengakhiri pelayanan dan diskusi dengan klien yang katanya paling sulit, Enomoto-san, dengan luar biasa puas. Bahkan kami nggak pernah sedikitpun mendengar Enomoto-san mencibir di telinga suaminya mengatakan hal yang membuatnya mengganjal. Lagipula, justru rasa takjubnya membuat Enomoto-san tambah jahil ke suaminya,
Aku… sungguh takjub dengan mereka berdua.
“Sebelumnya mohon maaf, Enomoto-san. Saya senang dengan diskusi hari ini, tapi mengapa anda nggak menerima tawaran kami dari dulu?” tanyaku dengan heran. Aku tahu pertanyaan seperti agak sensitif. Tapi sebelumnya Enomoto-san telah mengizinkan kami untuk menanyakan segala hal padanya.
Enomoto-san mengatakan bahwa karena ia nggak bisa begitu saja menerima produk yang tidak ia ketahui kualitas rasa dan bahkan pembuatannya. Enomoto-san gigih untuk menjaga image toko kelontongnya yang berada di tengah jalan wisata domestik maupun luar negeri. Toko kelontongnya selalu mempertaruhkan namanya setiap hari.
Penawaran yang lalu padanya tidak terlalu serius dan tidak menemui kepuasan karena tampak kurang memenuhi kepuasannya. Apalagi, saat itu Enomoto-san mengakui tidak mendapatkan penwaran untuk kunjungan. Lagipula, tokonya tidak sebesar sekarang di Okinawa.
“Selain itu, aku nggak bisa mengecewakan Yvon-kun yang telah mengabulkan keinginan saya untuk membeli bangunan demi membuka toko. Yvon-kun terlalu baik pada saya…, jadi sudah sewajarnya saya bersungguh – sungguh, kan?” tatapan matanya sempat menunduk seolah mengandung nestapa walau sesaat. Kemudian menatapku masih dengan senyuman bunga matahari Enomoto-san.
Shimazaki-san sedikit malu saat istrinya berkata begitu. Nggak juga, bahkan ia selalu malu dengan tingkah usil dan romantis istrinya.
“Nah, karena saya terlalu lama berkeliling luar negeri. Saya pikir Yui kesepian. Saat itu saya nggak bisa melakukan apa – apa. Hingga saya memutuskan untuk pensiun di umur lima puluh dua, dan berpikir… hey! Bagaimana kalau saya menebus kesalahan saya yang selama ini membuatnya sendirian bertahun – tahun? dengan memberinya hadiah impiannya yang sangat besar?”
Aku dan Kashiwagi-san tersenyum kagum mendengar kata – kata Shimazaki-san. Nah, walau istrinya semakin mengusilinya.
“Fufufufu~ kamu nggak perlu terlalu jujur!”
“Hmph! Aku selalu jujur apa adanya!”
Setelah itu kami mengantarnya sampai keluar pintu Kumoishi sambil menunggu taksi mereka.
“Oh ya, anak muda, siapa namamu?” tanya Enomoto-san
“Ei-eijiro Munekata, nyonya,”
Enomoto-san mengatakan padaku bahwa sebenarnya suaminya dulu, Yvon Shimazaki, adalah orang yang pemalu dan tukang gugup, sepertiku.
“Nah, saya biasanya cenderung pendiam dan dingin. Saya punya semacam perkumpulan kecil yang bisa dikatakan kurang baik. Semua teman kelas selalu takut dan hormat pada saya, tanpa terkecuali, Yvon-kun. Bahkan ketika saya meminta uangnya, Yvon-kun hanya nurut dan nggak pernah protes. Ia biasanya rutin ngasih setiap minggu. Apakah kamu emang masokis dulu, sayang?” Enomoto-san berpaling ke arah suaminya.
“Apa? Enggaklah!”
Kashiwagi-san yang mendengar itu cukup terkejut.
“E-eh? Jadi…,”
“Nggak lama sekitar dua bulan. Yvon-kun nggak ngasih saya uang lagi. Lalu saya menagihnya, walau ia hanya tetap diam. Sampai saat saya berusaha keras, Yvon-kun malah ngasih saya cincin nikah! Kyaaaaa~!”
“Yui! Hentikan itu!”
“Oh~ Yvon-kun marah~”
Mobil taksi datang, mereka pun mengucapkan selamat tinggal.
Aku dan Kashiwagi merasa kasihan dengan Shimazaki-san sesaat. Namun… melihat hubungan mereka yang tidak biasa itu membuat jauh dalam lubuk hatiku merasa hangat. Menurutku, itu kisah asmara yang paling unik daripada manga atau novel manapun. Terdengar lebih organik.
Hingga…
Kashiwagi-san yang tanpa berpaling padaku, tiba – tiba mengatakan hal yang nggak kumengerti sama sekali.
“Hey, Munekata-san…, kenapa kita nggak mencoba saran Enomoto-san?”
(Eh? Saran? Kapan dia ngasih saran? Saran apa? Apa yang gadis rambut silver ini katakan?)
***
Jam – jam kerja telah berlalu. Aku yang sedari siang tadi memikirkan maksud perkataan Kashiwagi-san tentu aku masih kebingungan. Juga, karena keseringan mengikuti jam pulang Kashiwagi-san, entah kenapa aku merasa bersalah bila pulang lebih awal. Jadi…,
Ponselku menunjukkan pukul 19.00….
Seperti biasa laporan salesku hari ini meningkat walau nggak banyak. Pekerjaanku telah selesai, kini hanya memandangi pemandangan Edogawa dari jendela kaca yang besar. Berkelipan sinar kota, seperti manik – manik di kain hitam.
Tiba – tiba…,
“Munekata-san, kamu… sudah selesai?”
Kashiwagi-san mengampiri tempat dudukku bekerja. Tanpa disadari Kashiwagi-san memberiku jumpscare.
“E-eeh! A-ah… ya, ya. Saya sudah selesai,”
Kashiwagi-san kemudian mengajakku pulang bersama. Setelah membereskan beberapa dokumen Kashiwagi-san yang cukup berserakan, mematikan lampu ruangan serta AC, kami bergegas menuju lift.
Kashiwagi-san malam ini semakin aneh. Perangainya sangat ramah dan mukanya sedikit memerah. Aku nggak tahu apa penyebabnya, tapi Kashiwagi-san tentu membuatku deg-degan. Karena karakternya, juga karena hal alami. Karena aku, seorang pria yang mungkin tertarik dengan wanita. Bahkan Kashiwagi-san berbicara dengan bahasa keseharian daripada formal.
“Jadi… kamu sering pulang malam, Munekata-san. Apa tempat tinggalmu dekat sini?” tanya Kashiawagi-san yang memandangiku dari pantulan metal pintu lift.
“Nah, saya tinggal di Apartemen Furendori,”
“Ow, dekat dengan Kinji-san, dong?”
Aku tertawa ringan. Saat kutanya balik, aku kaget bahwa Kashiwagi-san juga tinggal dekat kantor. Sebenarnya masih satu pemilik dari Apartemen Furendori, atau lebih tepatnya dua blok apartemen di belakangnya. Apartemen Miryoku.
(Eh? Apartemen Miryoku? Bukannya Aemi-san juga tinggal di sana? Kenapa dia nggak bilang padaku?)
Kami telah turun dari lift, kemudian berjalan keluar dari gedung. Kami berpapasan dengan Goro-san. Saat keluar, Goro-san memberiku acungan jempol. Aku merasa aneh, mengapa begitu?
“Oh ya, Kashiwagi-san. Mumpung kita pulang bareng, mau makan soba?” kataku sambil berpaling padanya. Semakin aneh, roman mukanya tampak tersengal – sengal dan pipi agak memerah.
“O-oh…, soba? Apakah ada yang didekat sini?”
(Huh? Dia nggak tahu? O-oh…! mungkin karena Kashiwagi-san sering pulang larut malam dan karena kecapekan jarang memperhatikan sekitar!)
“Eh? Kalau anda berjalan pulang seharusnya melewati kedai kecil soba milik Yoichibei-san,”
Tidak lama kemudian…
Sebuah kedai dekat perempatan dan menempatkan di pinggir kiri gang. Kedai kecil dengan hiasan gantung spanduk merah berbentuk persegi panjang dua belas buah bertuliskan “Shiawase” dan dua lampion gantung merah oranye yang eksotis.
Saat kami hendak masuk ke kedai, tiba – tiba Kashiwagi-san seakan ingin ambruk. Nah, sebenarnya aku sudah merasa dia berjalan agak sempoyongan. Masalahnya aku nggak terlalu memperhatikan Kashiwagi-san.
“Ka-kashiwagi-san? A-anda nggak baik – baik saja?” Kupegangi pundaknya yang hendak roboh itu. Nafasnya semakin tersengal – sengal, wajah memerah dan sedikit berkeringat. Agak erotis sih melihatnya begitu. Kashiwagi-san seperti orang mabuk, meskipun aku nggak melihat ada kaleng bir di mejanya sedari tadi.
“Woah~! A-anda demam, Kashiwagi-san?” Aku memegangi dahinya.
“Hhhhh… Be-benarkah? Bisa tolong… bantu aku, Munekata-san…?”
Aku memegannginya saat berjalan dan membantunya duduk di kedai Yoichibei-san. Seolah seperti menolong nenek yang punggungnya encok saat duduk.
“Oya… ada apa dengan nona ini, Munekata-san?” Yoichibei-san sambil menggoreng sesuatu. “Kamu nggak ngapa – ngapain, kan? hahahaha!”
“Hey, hey, nggak mungkin lah!?”
ns 172.69.7.51da2