Kashiwagi-san bahkan saat menunggu soba dihidangkan, posisi kepalanya telungkup bersandar pada tumpukan kedua tangannya.
“Ka-kashiwagi-san… mending saya antar pulang saja ya?”
“Ng-nggak! Aku baik – baik saja! Lagipula aku ingin makan soba~” Suara Kashiwagi-san agak parau dan sedikit merajuk.
“Yoichibei-san, aku pesan seperti biasa. Bagaimana denganmu, Kashiwagi-san?”
“A-aku… sama sepertimu saja.”
Beginilah Kashiwagi-san…, agak keras kepala. Aku izin pada Yoichibei-san untuk titip pada Kashiwagi-san sebentar untuk membeli minuman energi dan tisu basah.
Kemudian, aku lari sekencang – kencangnya menuju konbini yang terletak tiga blok dari kantor.
***
Aku kembali dalam lima menit untuk jarak tempuh yang seharusnya memakan waktu dua kali lipatnya. Tentunya, itu dibayar dengan kaki yang lelah sambil mengatur ritme nafas.
Dua soba dengan dua udang goreng telah siap di meja. Kashiwagi-san kini posisi mengangkat kepalanya, lalu berpaling ke arahku.
“Kashiwagi-san, silahkan Docari Cweet nya.” Aku segera membuka botol minuman itu lalu kuberikan pada Kashiwagi-san.
“Te-terima… kasih.” Kashiwagi-san tanpa ragu meneguk isinya.
Setelah itu aku membuka tisu basah dan kutempatkan di meja hadapannya.
“Anda baik – baik saja nona?”
Kashiwagi-san mengangguk kecil. “Ayo… kita makan, Munekata-san!” Ia seolah membuat dirinya tampak semangat meski gagal. Lagipula, suaranya layu dan wajahnya agak pucat.
“Ba-baiklah….”
Kashiwagi-san tampak menikmati soba Yoichibei-san. Meski kondisinya lemas, aku bisa tahu bahwa senyuman itu tercipta dari perasaan puas melahap makanan yang enak. Aku harap Kashiwagi-san merasa baikan setelah makan mie soba.
.
.
Setelah puas dengan soba Yoichibei-san, aku mengantar Kashiwagi-san. Kashiwagi-san terlihat lebih baik daripada saat perut kosong tadi sampai berjalan agak sempoyongan. Kini ia bisa berjalan sendiri dengan normal. Kashiwagi-san mengatakan bahwa itu sungguh memalukan baginya untuk nggak tahu ada kedai soba dekat tempatnya tinggal.
“Ngomong – ngomong… aku ingin tahu tempat tinggal, Munekata-san~” nadanya masih merajuk.
(Duh, aku inginnnya cepat tidur karena capek banget! Tapi… Kashiwagi-san agak sedikit mengkhawatirkan.)
Memang telah kukatakan Kashiwagi-san tampak lebih baik, tapi nadanya masih tampak lemas dan mirip orang mabuk.
“A-anda serius nggak ada masalah?”
“Kamu ini ngomong apa? Aku ini sehat kok! Hehehe~”
(Hehehe~ nya itu yang nggak sama sekali, lah! Duh, bagaimana ya!?)
Kami berbelok ke apartemen Furendori. Kami langsung menuju lift. Apartemen Furendori adalah apartemen murah dengan fasilitas semi ke atas, seperti lift. Jika seseorang bertanya apa yang membuatnya murah, nah jawabannya satu. Bila tidak kerja di Kumoishi, bisa dipastikan agak jauh dari tempat kerja lainnya. Dan tempat ini hanya punya empat lantai.
Kashiwagi-san tiba – tiba diam namun kepalanya menunduk ke bawah. Melihat pantulan metal dari lift, Kashiwagi-san tampak aneh. Kondisi tubuhnya tampak nggak stabil lagi.
Hingga angka tertera pada lift menunjukkan nomor empat.
#Bruk!
Kashiwagi-san ambruk.
(Kashiwagi-san!)
Aku segera menggendongnya layaknya cinderella di negeri dongen. Sebenarnya… aku tidak punya pilhan lain. Aku menutup segala kemungkinan pikiran aneh, dan fokus untuk menggendongnya sampai kamar tidurku.
Pintu lift terbuka. Aku belok kiri, dan berjalan agak cepat.
Aku sempat bertemu Kinji-san di balkon.
“Woah~ selain mendatangkan Enomoto-san, kamu juga menculik Kashiwagi-san? Benar – benar spesial dirimu, Eijiro!”
“Hey, hey! Apakah ada waktu untuk itu?”
Aku menjelaskan situasi kami padanya, soal Kashiwagi-san yang tiba – tiba demam dan lemas. Anehnya, Kinji-san nggak terlalu kaget soal itu. Kinji-san mengatakan bahwa nggak ada yang aneh dari orang yang terus memforsir pekerjaannya sampai kemalaman.
“Aku ada obat panas dan vitamin. Kalau kamu mau akan kuambilkan, Eijiro?”
“Ehh? Kalau itu aku juga punya! Maksudku, apakah kamu punya semacam antibiotik?”
“Ehh~ ya nggak ada, lah…. “
Aku kebingungan sambil menahan beratnya seorang insan. Bukannya Kashiwagi-san berat, tapi insan yang mengangkat insan apalagi berdiam di satu tempat, bebannya semakin terasa.
“Ah!” Kinji-san tampaknya punya sebuah ide. Ia sekejap menuju kamarnya untuk mengambilkan sesuatu.
(Hah… akhirnya Kinji-san ada solusi…”
Dalam beberapa detik… Kinji-san pun datang.
“Nih.” Ia memberiku sebuah kotak. Sesaat aku merasa sangat lega. Namun saat melihat tulisan di kotak itu baik – baik….
“Kondom? Alat kontrasepsi? Untuk apa!?” Aku mengeluarkan tanduk iblis imajinasi dan wajah emosiku.
(Orang kampret tolol ini!)
“EHH~ KAMU MAU MELAKUKAN ITU TANPA PELINDUNG?!” Ekspresi terkejutnya yang sangat tidak kumengerti dari si bodoh ini.
“BUKAN ITU POINNYA! BUODOH!” Aku langsung bergegas menuju kamarku tanpa menggubris sikap konyol Kinji-san.
Aku menurunkan Kashiwagi-san sebentar dengan lembut, lantas memasukkan kunci ke lubangnya.
“Munekata-san…~” Kashiwagi-san mengigau.
Setelah pintu itu terbuka, aku menggendongnya lagi dan segera menaruhnya ke tempat tidurku. Karena alat kontrasepsi yang ditawarkan Kinji-san tadi, sedikit memengaruhi pikiranku.
Bagaimana? Nah, Kashiwagi-san yang semakin berkeringat membuat kemeja birunya agak transparan setelah melepas jas silvernya. Apalagi melihat roman mukanya yang merah dengan nafas tersengal – sengal.
“Mu-munekata-san… maukah kamu meminjamkan salah satu bajumu…?” Kedua tangannya diangkat seolah ingin meraih sesuatu.
(Gimana coba? Lagipula, rudal balistiknya juga bukan main! Aku… bisa saja melebur jadi abu!)
***
Paginya,
Pukul 08.00…. Untungnya hari sabtu. Kumoishi libur di hari sabtu dan minggu.
Kashiwagi-san masih belum bangun dari tempat tidurku. Karena kejadian kemarin, Yamashita-san meneleponku soal Kashiwagi-san yang ditelepon ibunya nggak menjawab. Kashiwagi-san selalu ditelepon ibunya setiap hari di jam – jam setelah kerja.
Pada awalnya, Yamashita-san khawatir saat kujelaskan mengenai kondisi Kashiwagi-san. Tapi saat aku mengatakan bahwa aku telah memberikan Kashiwagi-san obat penurun panas dan vitamin, Yamashita-san menjadi lebih lega. Yamashita-san mengatakan bahwa hal itu sering terjadi. Ia memintaku untuk nggak terlalu khawatir karena pasti besok paginya Kashiwagi-san akan baik – baik saja.
Nah, meskipun begitu, Kashiwagi-san masih nyenyak tidur di kasurku. Sementara aku, mengambil futon (kasur) tambahan.
Aku bahkan telah menyiapkan bubur dengan ayam yang dicincang dari resep nenekku yang melegenda. Nenekku menyebutnya congee ayam bawang. Aku biasa sarapan dengan nasi yang telah dijadikan bubur. Selain mudah dicerna, aku bahkan nggak perlu mengunyah. Ngomong – ngomong, congee ayam bawang milik Kashiwagi-san telah kutaruh di atas drawer tempat tidur dengan jus jeruk hangat.
(Kashiwagi-san….)
Kashiwagi-san memang seperti anak kecil yang nggak berdaya saat tidur. Bahkan melihatnya begitu saja sudah bisa melupakan semua sikap dinginnya padaku. Namun, aku nggak pernah berhenti merasa khawatir padanya. Sejak mengenal pribadinya yang amat pekerja keras hingga lupa diri, aku nggak bisa berhenti berpikir.
(Kenapa aku selalu ingin dekat dengan Kashiwagi-san? Kenapa aku selalu kepikiran? Lantas, apa maksud yang Kashiwagi-san waktu itu?)
“Hah… semoga Kashiwagi-san merasa baikan setelah ini….”
Setelah ini aku ada agenda untuk membantu Kinji-san memainkan gamenya. Aku segera login, dan ternyata… Kinji-san telah online.
(Woah~ Bahkan Aemi-san online? Kok tumben?)
Di dalam sebuah party, kami bertiga mengobrol sebentar. Alasan Aemi-san ikut online karena ingin mengajakku- lebih tepatnya kami berdua, aku dan Kashiwagi-san, ke sebuah pameran di Akihabara. Kami mengobrol melalui voice chat.
“Nah, kalau begitu nanti tolong ajak Kashiwagi-san!” kata Aemi-san bersikeras.
“E-entahlah…. Kashiwagi-san sedang sak-“
“Aemi-chan, nanti aku ikut kok!” Kashiwagi-san tiba – tiba menyeleweng ke arah mic headphone yang kugunakan.
“EEHHH~~! Ka-kashiwagi-san!” Aku terkejut karena bibirnya menyentuh pipiku seolah mencium pipiku langsung.
Aku langsung melompat dari kursi putar, spontan terjatuh.
Roman muka Kashiwagi-san tampak cerah dan dingin seperti kemarin. Kondisinya tampak sudah sehat. Dengan sweeter dan celana pendek yang kupinjamkan padanya, ia langsung berjongkok mendekatkan wajahnya. Menatapku dengan intens.
(Eeehh!? A-apakah dia ingin protes soal bajunya? Ta-tapi… bukannya kemarin dia sendiri yang bilang?!)
Dahinya kini bersalaman dengan dahiku. Batang hidungnya tinggal sejengkal, hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya.
“Se-selamat p-pagi~ Kashiwagi-san…. Bo-bolehkah sa-saya berdiri-“
Lantas, ia malah mendekat. Kini mulutnya nyaris menyentuh bibirku.
“Munekata-san…. Saya lelah dengan lelucon kami. Saya telah merepotkan anda kemarin. Kini, saya nggak akan jadi pengecut lagi,”
“Y-y-ya?”
(Hiiiiiii~ Menakutkan sekali!)
“Apapun yang terjadi….”
Aku nggak paham lagi apa niatnya. Namun tanpa kusadari, aku merasakan sensasi empuk dan kenyal. Sesuatu ada yang menabrak bibirku.
“Saya mencintai anda, Eijiro-san. Tolong jangan menolak….” Suara Kashiwagi-san terdengar cukup putus asa.
Setelah kecupan itu, Kashiwagi-san merangkulku sambil menangis. Seolah ia telah berusaha keras dan merindukan hasilnya.
Jujur di benakku yang amat dalam, aku sangat terkejut. Manajerku… Kashiwagi-san yang tatapannya dingin itu! yang nadanya bila marah seperti memanggangku di atas bara api!
Tiba – tiba jatuh hati padaku? Apa itu masuk akal? Apa yang terjadi sebenarnya!?
TO BE CONTINUED
ns 172.70.100.162da2