Nampaknya sudah jam dua sore. “Kami pamit dulu, Thompson!” Toh, sepertinya Cecil juga sudah terlalu lama memperhatikan Thompson.
“Silahkan. Nanti malam mampir ke festival, ya.” Festival, ya…
“Akan aku usahakan, tapi kalau Cecil rumahnya dekat sini, kok.”
…
…
…
Ya… Beruntungnya dapat pulang dengan dua bungkus es-krim gratis. Semoga kak Lisa sudah pulang.
Tapi…
Brrrr….
Untuk jam dua siang, saat ini benar-benar dingin. Ada apa dengan suhu akhir-akhir ini. Di berita sedang maraknya Global Warming, tetapi cuaca saat ini sama sekali tidak warm.
Hadapi saja dulu. Semoga besok lebih hangat. Namanya juga musim dingin.
…
…
…
Nampaknya sekarang Cecil sudah sampai rumahnya. Coba ku chat. Toh lagi lampu merah.
-------
Cynthia : Sudah sampai rumah?
Cecil : Yoi! Kau bertanya seperti soerang pacar. Sudah kuduga…
Cynthia : Aku normal tahu! Baiklah, sampai nanti malam kalau Kak Lisa mau ikut juga. Rencananya aku ingin ngobrol dulu dengannya.
Cecil : Ok, sampai nanti!
-------
Waktunya pulang. Mungkin Kakak masih tersenyum-senyum karena berhasil dapat adaptasi.
Tilung!
Apa lagi, ya?
-------
Cecil : Hati-hati sampai rumah, ya.
-------
Iya-iya!
Tapi…
Baru sadar…
Tam tadi tidak ada di kuburan. Atau dia di bagian belakang. Toh, kuburan itu sangat luas. 4 hektar itu sudah seperti tanah sultan…
Ah! Kenapa saat seperti ini malah memikirkannya.
Pulang! Pulang! Jangan mikir yang aneh-aneh.
-----Space-----
104Please respect copyright.PENANAzIJGga1AM1
104Please respect copyright.PENANAoiDNqDuwjB
Sampai rumah.
“Cynthia! Akhirnya pulang juga.”
Untungnya. Kak Lisa sudah datang. Jadi tak perlu menaruh es-krim dalam pendingin.
“Kakak mau es-krim?” Menyodorkan bungkusan.
“Wah!!! Dari kedai baru, ya?”
“Benar. Ini gratisan, lho. Yang jual Thompson, teman waktu SMA.”
“Laki-laki, ya.” Terdiam sejenak. “Cynthia sudah dewasa.”
“Heh?”
“Ya sudah, kau duduk di meja makan, Kakak akan mengambil gelas.” Kakak memang baik. Ya… dia adalah wanita dewasa, dengan segala imajinasi yang ada dalam otaknya. Jenis novel yang ia buat, adalah sci-fi. Entah, bagaimana ia membuatnya, tapi buatannya cukup populer, kok.
…
“Jadi, naskah kakak kali ini di terima. Dan, akan dipantau dalam tiga bulan. Penjualan lebih dari satu juta copy akan mendapat adaptasi kartun. Aku begitu senang, Cynthia.”
“Waw… Pak Norman benar-benar mengerikan.”
“Ya… Dia ahlinya jika meyakinkan juri. Dia bilang, kali ini berpotensi untuk adaptasi menjadi serial atau movie.”
Akhirnya Kak Lisa mencicipi es-krimnya. Sepertinya gigi itu berkedut.
“Es-krim ini dingin sekali.” Padahal sudah dibawa keluar. “Tapi, enak sekali. Temanmu ahli dalam membuatnya. Siapa namanya tadi?”
“Thompson.” Kakak agak buruk dalam mengingat nama orang.
“Thorsen. Ya…” Tuh kan.
…
Tapi… sepertinya bukan hanya es-krim itu yang dingin. Sekarang suhunya berapa, sih?
Eh!
Yah… Sepertinya internet sedang error karena cuaca yang ekstrim ini, mungkin. Tak mungkin suhunya 10 derajat.
“Cynthia!”
“Ya?” Sepertinya Kak Lisa mengingat sesuatu.
“Ganti pakaianmu, cepat! Duh! Bagaimana bisa lupa.”
Ap apa yang terjadi. Tiba-tiba Kak Lisa panik begitu dan mengambil pakaian-pakaian hitam dari lemarinya sambil berlari. Padahal dia santai-santai saja tadi sampai es-krimnya habis. Tapi, kalau pakaian itu, berarti…
“Kita akan pergi ke pemakaman adik Pak Wali Kota Roh.”
-----Space-----
Beruntung sampai rumah Pak Roh, peti matinya baru diangkat. Padahal Kak Lisa sampai tidak sempat menggunakan riasan. Tapi… nampaknya karena dingin bahkan riasan Kak Lisa tadi pagi belum rusak. Dari tadi pagi berarti dia belum cuci muka.
Nampak, seorang wanita tengah berada dalam dekapan bahu Pak Roh, sepertinya istri adiknya. Wanita itu menangis menitihkan air mata. Benar-benar menyedihkan ketika mengetahui kekasih sendiri harus memasuki liang lahar.
Hah…
Jadi ingat ibu…
“Cynthia!”
“Cecil!” Dia juga disini.
“Maaf ya… Kuajak ngobrol di kedai sampai lupa ada pemakaman.”
“Tak apa, Cecil. Kakak juga lupa, kok.” Ujar Kak Lisa.
“Eh! Ada Kak Lisa juga. Selamat ya kak!”
“Hei!” Cecil beralih pandang. “Kau pasti akan dipukul Pak Roh kalau bilang ‘selamat’ lagi.”
“Ma maaf… Tapi aku jadi penasaran bukunya Kak Lisa.”
“Ini adalah mahakarya, Cecil.” Kakak menyombongkan diri.
“Cecil. Kau lihat Thompson?”
“Dia di depan. Tiba-tiba dia yang jadi pembawa peti mati karena yang lain nampaknya sedang sakit perut sekarang. Dia mengangkatnya dengan Thomas, lagi. Nampaknya nama mereka akhir-akhir ini sering muncul.”
“Oh…” Kok bisa pas begitu, ya?
“Cynthia, Kakak jadi ingat Tam kalau ke kuburan.” Ya… Selain ibu aku juga jadi ingat dengan Tam. “Tapi biasanya dia tidak akan di upacara, sih.”
Tapi…
Orang tua berbaju putih itu?
Kok…
Mereka disana. Bukan Tam, tapi seorang lelaki berambut merah dan menutup tubuhnya dengan jubah putih khas gurun bersama Pak Walter. Kalau Pak Walter, ia memakai pakaian yang sama. Apa yang mereka lakukan? Kelihatannya Pak Walter menyalami Pak Roh dengan ramah, apa mereka kenalan?
Untuk sekarang, sebaiknya fokus pada pemakamannya saja.
Hal-hal aneh seperti ini dapat dipikirkan nanti.
…
Ah… Ternyata Thompson dan Thomas yang masuk kedalam liang lahar bersama orang-orang lainnya. Mereka mengangkat peti itu dengan tangan-tangan mereka.
Mereka baik sekali mau melakukannya.
Ya…
Melihat istri adiknya Pak Roh…
Pemakaman selalu seperti ini.
Mungkin tidak semua, tapi pasti ada tangisan mewarnainya. Tangisan…
Semakin dekat seseorang, maka akan meninggalkan luka yang begitu dalam. Dan, tangisan adalah salah satu bekas lukanya. Menyedihkan melihatnya.
Apalagi, suasana dingin dan sepi ini. Benar-benar…
Namun…
Satu hal itu terus membuat penasaran…
Hal ganjil…
Di sisi lain, nampaknya Pak Walter begitu dekat dengan Pak Roh. Ia berdiri di sampingnya, dan lelaki berambut merah di sampingnya lagi. Apa hubungan mereka?
Lebih tepatnya…
Siapa mereka?
Dan… Dia lagi nangis juga? Kok wajahnya aneh…
104Please respect copyright.PENANAQLcInR7yp6
-----Space-----104Please respect copyright.PENANAtx14GhCEw7
104Please respect copyright.PENANADsYhkdpfSN
104Please respect copyright.PENANAsrZRfVlerb
“Pemakaman, selalu begini, kan…”
“Guru?”
Dia berdiri di belakang. Wajahnya masih sama seperti dulu, potongannya-pun. Potongan sedikit jabrik dengan sampingan yang begitu pendek. Tubuhnya mungkin tidak tinggi, tapi jubah itu terlihat gagah. Jubahnya yang sebagai identitas juga janggutnya yang sepertinya lupa di cukur. Jarang, tapi jantan.
Namanya…
“Kau masih memanggilku begitu? Pemakaman seperti biasa, ya?”
“Ya…”
“Hah… Jawaban singkat. Kau tidak berubah ya, Tam.” Dia terdiam sejenak. “Dan kau masih cantik seperti dulu.”
“Dan Guru masih suka meledekku. Dan, terlambat seperti biasa.”
“Hahaha… Jangan terlalu dingin, Tam. Ya… Aku tidak memaksamu terus tersenyum seperti Murad, sih. Bahkan dia terlihat konyol ketika memasang wajah sedih. Lihat itu!”
Ya… Memang Murad adalah orang yang riang. Dirinya, jadi seperti orang sesak napas ketika pura-pura terisak. Bahkan Walter terus-terusan menahan tawa. Kenapa mereka harus datang ke pemakaman? Mereka pikir ada di sana?
Tapi…
Ya…
Memang dia di sana.
“Guru, dimana Light?”
“Disini!”
Dia keluar dari belakang. Nampak rambut hitamnya acak-acakan oleh dahan pohon. Dan, ada satu yang nyelip di rambut kribonya itu. “Kau dari mana?” Tentunya sontak bertanya.
“Memasang beberapa penghalang dan jebakan. Pak Walter memang ahli barikade, tapi mungkin ini bisa meringankannya sedikit. Tapi, Tam, apa benar tidak ada informasi musuh apa kali ini? Aku sudah meretas beberapa kamera tapi tidak ada apap-apanya, lho.” Light tampak ketakutan. Lelaki seperti Tam memang begitu. Dia masih dalam pelatihan guru, jadi, ya…
Guru memang suka mencari murid yang aneh.
Tapi. “Benar. Kita tak tahu dia apa sebelum menunjukkan kulit aslinya. Hanya saja, energinya cukup kuat. Dan tidak stabil.” Ujar Guru. Bahkan ia tidak tahu itu makhluk apa.
“Tak apa. Setidaknya kita tahu seberapa kuat dia. Dan dimana.”
“Sepertinya aku akan memasang penghalang lebih banyak. Permisi Guru, Tam.” Light benar-benar ketakutan. Junior begitu semua sih. Tapi dia sama sekali tidak ingin memanggilku, kak.
...
“Menunggu sejauh lima puluh meter begini memang membosankan. Dan sepertinya pemakaman akan segera selesai.” Ujar Guru.
“Mungkin dia menunggu gelap, Guru. Kalau prediksi Walter benar, alat yang kubawa sudah tepat.”
“Memang aneh. Tapi prediksi Walter tidak pernah salah. Jangan remehkan pengalaman sesepuh.”
“Ya, kau benar, Guru. Mari tunggu sebentar lagi…”
Toh..
Pemakamannya sudah selesai.
104Please respect copyright.PENANAsynnGHwWuR
---------Continued---------104Please respect copyright.PENANA1fp9CMfkJk