Hening.
Tak satupun pria dalam ruangan itu bersuara. Marcus duduk di kursi didekatnya selama hampir lima belas menit, terlihat menyambut baik keheningan dengan ketenangan yang luar biasa. Pengalamannya selama puluhan tahun sebagai polisi tentu sangat mempengaruhi caranya bersikap dalam menanggapi keadaan. Hayden yang sejak memasuki pintu ruang interogasi itu memilih berdiri bersandar pada dinding disamping pintu yang telah tertutup melirik kaca besar di sampingnya, tahu bahwa dibalik kaca itu Rick dan beberapa orang polisi lain tengah mengamati keadaan di dalam.
"Aku tidak suka bermain 'Polisi baik, Polisi buruk' sekarang ini. Jadi kuharap kau bisa menjawab pertanyaan tanpa perlu repot mengulur waktumu yang tidak lama." Suara berat Marcus mengalirkan getaran dalam ruangan berukuran enam kali empat meter itu.
Pria itu, pria botak yang duduk di seberang meja kecil di hadapan Marcus tampak tidak peduli. Dia sibuk memutar pergelangannya, menatap borgol yang terpasang disana.
Marcus bergerak kedepan, menyodorkan dua lembar foto padanya. "Kau pemilik mobil pick up hitam ini?"
Mata pria itu bergerak malas, melirik sekilas dua gambar di depannya, kemudian kembali menatap borgolnya.
"Aku tidak perlu repot membuatmu mengakuinya. Sidik jarimu serta sisa darahmu yang menempel di sekitar kemudi dan sisi dalam pintu mobil akibat tabrakan dengan mobil lain di persimpangan itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan keberadaanmu sebelumnya disana. Hanya perlu sedikit desakan penyelidikan dan kami akan tahu atas nama siapa mobil itu. Meski aku yakin mobil itu mungkin tidak terdaftar atas namamu."
Marcus menyodorkan gambar lain. Kali ini, Scott Nicholson, pria botak itu menunjukkan reaksi yang diharapkan Hayden. Dia terlihat terkejut, namun hanya sesaat sebelum akhirnya tatapannya berubah. Hayden merasa tidak salah mengartikan tatapan sedih di matanya saat menatap wajah salah satu gadis dalam foto ketiga. Foto itu merupakan foto sebuah keluarga yang tampak bahagia. Sang ibu duduk pada sebuah kursi bergaya vintage saat suaminya berdiri di belakangnya dan kedua putrinya tepat berada disisi kanan dan kirinya. Foto keluarga Mason.
Hayden tidak ingin bicara, Marcus memintanya disana untuk mengamati sementara dia yang melakukan interogasi. Dan karena Marcus diam saja, Hayden hanya bisa mengarahkan matanya pada ekspresi wajah Scott.
Beberapa menit berlalu sebelum Hayden melihat jemari Scott perlahan bergerak mengelus gambar gadis di sebelah kanan. Tatapannya sendu, bibirnya menyunggingkan senyum sedih. Scott mengangkat matanya dan tatapannya jatuh pada kalung berlian berlumuran darah kering, pisau daging, buku catatan bersampul kulit warna cokelat dengan nama Amy terukir di sana serta tumpukan dokumen yang diyakininya menjelaskan bukti-bukti kejahatannya. Merasa tak bisa lagi mengelak, dia berujar,"Sudah lama aku tidak melihatnya."
"Siapa yang kau maksud? Ada empat orang di foto itu. Salah satunya baru saja kau temui saat memutuskan untuk menggorok lehernya," ucap Marcus dingin.
Scott mendesah panjang kemudian balas menatap Marcus. "Anna," katanya lembut, "Bukankah dia cantik? Bahkan dalam foto usang inipun dia tetap terihat cantik."
"Bagaimana kau mengenal Anna?"
"Kami teman di kampus. Dia gadis yang baik, sebelum bertemu pria itu." Scott tampak menerawang mengingat masa lalu.
"Siapa pria itu?"
"Kekasihnya. Yah, setidaknya begitu menurut Anna. Bagiku, pria itu hanya bajingan beruntung. Hanya karena terlahir dalam kekayaan berlimpah, pria itu bisa berbuat sesukanya. Dan Anna melihat itu sebagai poin plus." Tatapan sedih tadi sudah hilang berganti dengan amarah. Hayden menangkap kisah cinta segitiga disana.
"Kau menyukai Anna." Kalimat Marcus itu lebih seperti pernyataan, bukan pertanyaan. "Jadi apa yang terjadi selanjutnya? Persaanmu tidak berbalas dan kau membunuh Amy, adik Anna karena sakit hati pada kakaknya?"
Scott memandangnya datar. "Menurutku kau sudah tahu alasannya bukan?" jawabnya sambil mengedikkan kepala menunjuk buku catatan Amy. Buku itu seharusnya berada di dalam brankas penyimpanan rahasia Amy. Kalau sekarang buku itu ada disini, pastilah para polisi itu juga sudah tahu benda apa lagi yang tersimpan dalam brankas Amy. Kenyataan itu membuatnya sadar bahwa waktunya tidak lama lagi. Orang yang mempekerjakannya pasti akan meminta pembayaran atas kegagalannya dengan harga mahal. Sayangnya, nyawanya bahkan tidak cukup mahal di mata mereka.
"Dia melibatkan diri pada sesuatu yang tidak seharusnya dia campuri."
"Dan apakah itu?"
Scott mendengus. Dia baru saja akan membuka mulutnya untuk menjawab saat tatapannya jatuh pada sosok diam di belakang Marcus. Awalnya hanya sekilas, namun kemudian sepasang mata hitam itu kembali menatap Hayden. Scott menatapnya hingga ke ujung kaki kemudian matanya bergerak lagi keatas. Saat pandangannya tiba di wajah Hayden, pria itu bergeming cukup lama.
Hayden merakan firasat buruk, tapi berusaha menjaga ketenangan di wajahnya.
"Kau bekerja pada siapa?"
"Nah, Pak Polisi, itulah yang harus kau cari tahu."
"Dan itulah yang sedang kulakukan sekarang."
"Kalau hanya begitu saja upayamu, maka sebaiknya kau mulai belajar kreatif, Sir."
Pintu ruang interogasi terbuka dan Rick berdiri ragu-ragu disana.
"Sebaiknya ini hal penting, Rick," tegur Marcus. Kalau dia kesal sesi interogasinya diganggu, maka pria itu jelas tidak menunjukkannya.
"Jaksa Lee menelepon. Dia mendapat perintah dari pengadilan yang menyatakan bahwa proses interogasi harus dilakukan dengan memastikan kondisi kesehatan tersangka."
"Dokter bilang kita sudah bisa menginterogasinya. Dan surat pernyataan tertulis dari dokter itu juga sudah kita sampaikan, bukan?"
"Menurut Jaksa Lee, perintah pengadilan yang dia diterima agak lebih spesifik."
Satu alis Marcus terangkat menunggu kelanjutan apa yang akan disampaikan oleh anak buahnya itu.
"Well... Jaksa Lee menyebutkan bahwa proses interogasi bisa ditunda sampai setidaknya lima hari lagi mempertimbnagkan kondisi medis tersangka. Dokter yang ditunjuk pengadilan akan memantau kesehatannya selama itu. Pengadilan menolak dokter yang kita pilih sebelumnya."
"Apa-apaan ini? Bagaimana mungkin? Siapa orang dari pengadilan yang mengeluarkan lelucon itu?"
"Hakim Agung, Sir." Jawab Rick cepat dan jelas.
Marcus berdiri dengan marah. "Aku akan ke ruanganku. Aku mau teleponku siap tersambung pada asisten Hakim Agung saat aku tiba disana."
Tak lama kemudian dua orang polisi memaksa Scott berdiri untuk mengeluarkannya dari ruangn itu.
"Kau tahu tidak ada gunanya mengulur waktu. Semakin cepat kau menjelaskannya, semakin baik untukmu," ucap Hayden saat Scott hampir tiba di dekatnya. Pria botak itu berhenti, membuat dua polisi yang mengawalnya menatap heran.
"Beri aku waktu sebentar," katanya sambil melangkah tepat ke hadapan Hayden. "Entah aku mengatakan sesuatu atau aku hanya diam rasanya tidak ada hal baik yang menungguku."
"Menurutku tidak begitu. Menurutku, kau dapat memberikan ketenangan bagi jiwa seorang ibu yang putrinya kau bunuh."
Scott masih menatapnya dengan ekspresi yang sama saat dia mengucapkan sesuatu yang menghantam Hayden dengan keras.
"Dan menurutku kau sangat mirip dengan ayahmu. Apa saudara laki-lakimu juga mirip dengan ayahmu? Kau juga mewarisi mata cokelat ibumu."
Hayden terhenyak. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya yang masih berdiri diam di dalam ruang interogasi. Bahkan setelah Scott dibawa pergi.
Apa dia mengenaliku? Seberapa jauh dia mengenalku? Apa mungkin dia tahu tentang keluargaku?
Hayden berjuang keras hidup sendirian demi menghindari keluarganya. Demi terlepas dari kungkungan ayahnya. Dia merelakan banyak hal saat memutuskan melangkahkan kaki meninggalkan tempat tinggalnya. Dia baru saja merasa nyaman dengan hidupnya. Tapi apa? Tiba-tiba secara kebetulan pria itu muncul dan melemparkan kembali fakta itu. Fakta tentang identitasnya. Identitas yang ingin dikuburnya jauh-jauh. Dia sudah memilih tinggal jauh dari kehidupannya dulu.
Bagaimana Scott mengenal ayah? Dimana pria itu pernah melihatku? Tapi bukankah bisa saja dia salah orang?
Hayden ingat cara Scott tersenyum sesaat sebelum melewati pintu. Seketika Hayden menyadarinya.
Scott, pria itu benar-benar tahu.
***
Irina mendesah kesal lagi. Claire dan Edward yang sejak pagi berada di dekatnya sepenuhnya menyadari aura hazardous yang di ciptakan Irina. Oke, gadis itu tidak sedang dalam mood yang menyenangkan hari ini, begitu juga dengan hari-hari sebelumnya selama seminggu terakhir, jadi Claire bersikap bijak dengan menjaga jarak.
Irina baru saja menyelesaikan pembayaran salah seorang pelanggan ketika ponselnya berbunyi.
"Yah? Oh hai Nancy. Ya... oh really? Oke aku akan mampir ke sana setelah selesai bekerja. Kurasa sore ini sebelum makan malam... Apa kau yakin? Yah tentu. Oke, thanks..."
Kerutan di dahinya semakin dalam. Claire meringis saat menyaksikan bagaimana Irina meletakkan ponselnya dengan menimbulkan bunyi yang membuat beberapa pelanggan menoleh.
Claire penasaran. Tapi kesadarannya untuk mempertahankan jarak aman masih bercokol kuat. Jadi dia pura-pura tidak meliihat. Sayangnya, Edward cukup bodoh untuk menyadarinya.186Please respect copyright.PENANAEzvYRGh1QZ
186Please respect copyright.PENANAIfq1ZHk3dT
"Apa salah ponselmu?" tegurnya.
Tatapan tajam Irina menjawab pertanyaan Edward.
Melihat bagaimana reaksi Edward yang terlihat tidak nyaman, Claire memutuskan memberanikan diri menghadapi rasa ingin tahunya.
"Kenapa Nancy menelepon?"
Irina mendesah kembali sebelum menjawab. "Dia hanya bilang bahwa pakaian yang kutinggalkan sudah selesai."
"Pakaian?"
"Pakaiannya."
Tentu saja Irina tidak akan menyebut nama pria itu. Setelah memperlakukannya tidak sopan minggu lalu, rasanya nama itu semacam kasus tutup buku yang seharusnya tidak disebut lagi. Hampir satu minggu lamanya dia nyaris berhasil mengenyahkan pikiran apapun tentang pria itu. Tentang bagaimana rasanya berada dalam pelukannya, segala perhatian yang ditunjukkan olehnya dan cara pria itu merengkuhnya saat melumat bibirnya.
Oh God! Kenapa sulit sekali melupakan bagian yang itu??
Irina mengacak rambutnya frustasi. Hal itu justru membuatnya semakin mengingat detail kebersamaan terakhirnya di apartemen pria itu. Pria itu menyusupkan salah satu tangannya dan sukses membuat rambut panjangnya berantakan.
"Jadi aku hanya harus menjadikanmu milikku, kan?"
Wajahnya merona mengingat tatapan pria itu saat pertanyaannya terucap. Dia hanya berdiri kaku disana dan sebelum selesai mencerna maksud kata-kata tadi, bibir pria itu sudah berada di bibirnya, melumatnya dengan cara yang membuat Irina lupa bernapas. Irina belum pernah berciuman sebelumnya, jadi dia hanya menurut saja ketika lengan kekar pria itu merengkuh pinggangnya, membawa tubuhnya menempel erat padanya. Segala hal yang dirasakannya saat itu seperti sihir yang membuatnya tidak mampu berpikir atau bahkan mengendalikan reaksi tubuhnya sendiri. Darahnya berdesir, jantungnya berpacu cepat dan kedua kakinya seperti lumer begitu saja. Satu-satunya hal yang dirasakannya hanyalah sentuhan di bibirnya. Beberapa menit berlalu dan Irina masih bingung harus bagaimana. Tepat ketika Irina hendak menggerakkan bibirnya, pria itu menarik diri. Mengambil langkah mundur dan membalikkan badan.
That's it.
Irina merasa tidak perlu memandang pria itu untuk tahu bagaimana reaksinya. Pastilah dia menganggap Irina tidak menarik.
Beberapa saat berlalu, tapi pria itu masih belum beranjak atau mengatakan sesuatu.
Bersikap sesukanya, merampas ciuman pertamanya lalu berpaling dan apa? Menolaknya? Mencampakkannya?
Bagi pria itu mungkin ciuman itu tak ubahnya seperti ciuman lainnya. Irina tahu pria itu berpengalaman.
Oke, mungkin Irina bukan sekedar tidak menarik. Tapi benar-benar tidak menarik. Sama sekali.
Jadi dia memilih kembali ke kamar, mengambil pakaian dokter Candice yang belum sempat dia kembalikan, lalu menerobos pintu keluar dengan setengah berlari. Kalau setengah jam kemudian Claire terkejut mendapatinya menunggu di pinggir jalan di luar apartemen, sahabatnya itu jelas tidak menunjukkannya.
Claire masih belum tahu tentang Robert. Tapi dia memutuskan menemani Irina dan menerima tawaran Edward untuk tinggal di apartemen pria itu. Irina terkejut melihat luasnya apartemen Edward. Pada malam pertama menginap disana, pacar pria Edward datang berkunjung dan mereka memutuskan makan malam bersama. Saat itulah Irina tahu bahwa Edward sebenarnya berasal dari keluarga kaya. Dia memilih meninggalkan semuanya dan memulai hidupnya sendiri saat tak satupun keluarganya memberikan dukungan ketika dia mengakui bahwa dia seorang gay. Irina jelas menangkap pesan bahwa Edward merasa nyaman dengan Irina dan Claire sehingga begitu yakin membuka diri pada mereka.
Claire juga bercerita banyak tentang dirinya. Claire meringis saat menyebutkan kunjungan Andrew, mantan kekasihnya yang kini menjabat sebagai CEO Clark Victory, pada malam yang sama ketika Irina melarikan diri dari Robert. Kalau saat itu Irina heran kenapa lampu apartemen Claire masih gelap hingga tengah malam, sekarang dia tahu alasannya. Andrew pasti menyabotase waktu Claire malam itu.
Kehidupan baru bersama Edward dan Claire sangat membantu mengokohkan tembok yang dibangunnya. Tembok yang mengelilingi hatinya, untuk melindungi hatinya agar tidak hancur lebih dari ini. Penolakan pria itu akan meninggalkan rasa sakit yang cukup lama di hatinya. Jadi lebih baik hatinya terlindungi dulu, sebelum hal lain terjadi dan menambah rasa sakitnya.
Dan setelah hampir satu minggu, telepon biasa dari Nancy, ibu dua anak yang membuka usaha laundry dekat Watson Hill seketika menghancurkan tembok itu. Nancy mengatakan pakaian yang dia tinggalkan minggu lalu sudah selesai dikerjakan dan wanita berkulit cokelat itu menanyakan kapan Irina akan mengambilnya. Pakaian yang terakhir kali dia gunakan saat Claire menjemputnya. Pakaian pria itu.
Sejujurnya, jika diberikan pilihan, Irina lebih suka membakarnya saja. Tapi bukan seperti itu yang ibunya ajarkan tentang balas budi. Jadi ketika Nancy menawarkan untuk membawa pakaian itu dan mampir ke Black Russo setelah menjemput kedua putrinya, Irina tidak memiliki alasan untuk menolak.
"Oh yah. Kau meninggalkannya di tempat Nancy karena tidak mau mencucinya sendiri. Apa kau bermaksud mengembalikannya hari ini?"
"Entahlah. Aku lebih suka membakarnya."
"Apa yang terjadi, Irina?" Claire menatapnya penuh perhatian. "Aku tahu ada sesuatu. Kau sudah tinggal disana beberapa hari."
"Aku tidak tinggal disana. Aku hanya menginap tiga hari atas kemurahan hati pria itu. Itu bahkan bukan apartemen miliknya."
Claire memilih tidak mengomentari hal itu. Irina masih sibuk menemukan ide terbaik untuk mengembalikannya tanpa perlu melihat pria itu lagi saat Claire berujar, "Bagaimana kalau kau berikan padanya saja?"
Irina mengikuti arah pandangan Claire dan menemukan Hayden sedang berdiri bersandar pada mobil hitamnya yang terparkir dekat pohon maple. Irina mulai berpikir mungkin lokasi itu memang dikhususkan untuk Hayden mengingat dia selalu memarkir mobilnya disana.
"Bukankah dia temannya? Mereka sarapan bersama disini beberapa waktu lalu," lanjut Claire.
"Mereka bersaudara."
Pintu cafe terbuka menampilkan seorang wanita bertubuh gempal diikuti dua orang gadis cilik dibelakangnya.
"Irina!"
"Oh hai, Nancy."
"Oh Claire. Kau disini juga rupanya." Claire membalas senyum Nancy dan melanjutkan obrolan sedangkan Irina mencuri waktu menemui Hayden sebelum bosnya datang.
***
Hayden menatap selembar foto keluarga yang nampak usang. Tatapannya terkunci pada salah satu gadis berambut pirang dalam foto itu.
Hatinya terasa kelu. Jika benar Smith Corp terlibat dalam perkumpulan The Angels yang diduga menjadi penyebab kematian Anna Mason, dan mungkin juga Amy Marlon, maka mungkin dia masih bisa berharap dapat menemukan petunjuk, sekecil apapun peluangnya, untuk menyelidiki kasus kematian adiknya sendiri. Tapi itu berarti dia harus mengungkap seluruh fakta dibalik Smith Corp. Dan Hayden belum siap untuk itu. Mungkinkah ada cara lain agar dia bisa melanjutkan kasus ini tanpa perlu membongkar Smith Corp?
Benar-benar jalan buntu. Bukti-buktinya kurang dan kasus Anna sudah terjadi cukup lama. Akan sangat memakan waktu bahkan untuk sekedar meminta kembali berkas-berkas penyelidikan yang sudah ditutup itu. Tapi kematian Amy jelas berhubungan dengan kematian kakaknya, Anna.
Hayden baru saja akan melangkah saat menyadari keberadaan seseorang di sisinya. Terlalu banyak berpikir membuatnya lengah sejenak. Hayden menatap Irina terkejut kemudian tersenyum ringan.
"Aku tidak mendengarmu datang."
"Kau sedang melamun."
"Yah, sorry."
"Hmm, Mr. Hawthorne-"
"Hayden," ucapnya, memotong apapun yang ingin dikatakan Irina.
Irina menghela napas. "Hayden... Bisakah kau membantuku memberikan ini padanya?"
Hayden memiringkan kepalanya, sedikit menunduk melihat bungkusan yang disodorkan Irina. Hayden bertaruh dalam hati dia tahu apa isinya.
"Pada siapa?"
"Padanya."
"Maksudmu?"
"Pria yang tinggal denganmu."
Hayden sengaja. Irina menyadari itu. Rasa sakit hatinya membuatnya jengah. Tapi mau bagaimana lagi.
"Aiden." Akhirnya Irina terpaksa menyebut lagi kasus tutup buku itu.
Hayden mengulurkan tangan sambil menahan senyum gelinya. Jelas terjadi sesuatu hingga Irina tiba-tiba pergi. Aiden dan Irina sama-sama menghindari satu sama lain dan sama-sama tidak mengatakan alasannya.
Foto itu terlepas dari cengkeramannya saat Hayden menerima bungkusan Irina. Refleks, gadis itu membungkuk memungutnya. Tapi gadis itu tidak lantas mengembalikannya. Irina justru mendekatkan foto itu ke wajahnya, mengamatinya dengan intensitas yang membuat Hayden heran.
"Itu hanya foto usang. Foto keluarga salah seorang korban," kata Hayden datar.
Irina bergeming sesaat kemudian berkata lirih, "Korban pembunuhan."
Hayden melupakan bungkusan tadi, kedua tangannya mencengkeram bahu Irina dan menatap tajam sepasang mata hijau gadis itu. "Kau mengenalnya?"
"Mungkin. Aku merasa pernah melihat gadis ini." Irina menggerakkan jarinya menyentuh potret Anna.
"Dimana?" sergah Hayden.
Irina tampak berpikir sebentar. "Sepertinya di LA. Beberapa tahun lalu. Entahlah... aku tidak begitu ingat. Saat itu aku masih remaja."
LA? Memang disanalah Anna Mason terbunuh.
"Coba kau pastikan lagi, Irina. Kasus ini sangat penting bagiku. Cobalah mengingat dimana kau melihatnya!"
"Aku tidak begitu mengingatnya. Itu sudah sangat lama. Tapi sepertinya itu memang Adria."
Cengkraman Hayden melunak. Lokasinya sama, tapi namanya berbeda. Mungkin Irina salah mengenali orang. Lagipula foto itu sudah cukup usang.
"Aku ingat jaket yang dia kenakan. Itu salah satu edisi terbatas yang dulu kukagumi seperti gadis bodoh. Aku bahkan ingat ada semacam noda gelap di bagian kiri jaketnya, dekat pinggulnya. Tapi aku benar-benar tidak ingat dimana melihatnya."
Irina mengembalikan foto itu dengan tatapan menyesal.
Dalam foto itu Anna mengenakan dress selutut berwarna putih dipadukan dengan jaket cokelat kulit bergaris merah hijau melintang di dada. Anna terlihat cantik, mempesona dan sangat modis. Tidak terlihat noda apapun pada jaket itu.
Hayden memaksa menyimpan kembali harapan yang sesaat tadi membuncah di hatinya.
"Akan kupastikan Aiden menerima ini," kata Hayden sambil menenteng kembali pakaian Aiden. Hayden baru bergerak beberapa langkah ketika Irina berkata pelan, "Kalau memang gadis itu orang yang kutahu, Hayden, maka dia benar korban pembunuhan di LA. Dan pembunuhnya seorang pria."
"Bagaimana bisa kau mengira dia seorang pria?" tanya Hayden.
"Hei Lily, kenapa kau berpikir pembunuhnya seorang pria?"
Kalimat Damon bertahun-tahun lalu terngiang kembali di kepalanya.
Irina melemparkan tatapan kosong pada Hayden. "Aku tidak mengiranya. Aku tahu."
Hayden bahkan belum sempat melontarkan pertanyaan lain saat melihat Irina melesat menyeberangi jalan seperti dikejar sesuatu.
Irina memang berlari dari sesuatu. Dia berlari dari ingatan tiba-tiba yang menyeruak kembali. Ingatan tentang pria yang pernah menggetarkan hati remajanya. Pria pertama yang tidak menganggapnya aneh. Pria yang dengan tidak disadarinya masih memiliki eksistensi besar dalam hatinya, otaknya dan ingatannya. Sakit hatinya atas perlakuan Aiden seperti cubitan kecil di lengannya jika dibandingkan dengan luka karena kepergian Damon bertahun-tahun lalu.
Tapi sekeras apapun dia berlari, Irina sadar dia tidak akan bisa melepaskan diri dari kenangan masa lalunya dengan Damon Keith.
***
Sorry for the typos.
If you want to read a chapter ahead, you can read it free on my wattpad (The Black Angel by ghian7st).
Versi wattpad agak berbeda yaa chapternya, tapi keseluruhan isi cerita sama.
ns216.73.216.227da2