Shift kali ini dimulai dari toilet pria. Karakteristiknya mirip yang tadi, masih dengan dua wastafel dengan keramik hitam di bagian depan. Sedangkan lantainya masih menggunakan marmer putih. Biliknya dua kali lipat, ada 10, yang masing – masing punya shower untuk mandi. Seperti biasa kami mulai dari bilik paling ujung.
Kami benar – benar mengaplikasikan saran Ny. Strangle untuk tidak terlalu ramai. Atau… mungkin karena membicarakan Tn. Wonocino sehingga suasana agak melodramatis sepi daripada ramai pecicilan.
“Yah, mau bagaimana lagi. Pak tua Wonocino memang terlalu mencintai putrinya…,” ujar Rodeo seolah menyambung penjelasan Kapten Thatch tadi. Suaranya diiringi gesekkan sikat. pada lantai dalam bilik.
Aku berpaling ke kiri.
(Eh? Ma-maksudnya hubungan terlarang?)
“Incest?”
“Huh? Maksudmu bagaimana?” Rodeo bertanya balik seolah pertanyaanku tidak ada sambungannya.
“Ma-ka-nya…. Terlalu mencintai putrinya tadi loh! Yang terpikir di kepalaku hanyalah itu. Hubungan terlarang, hubungan sedarah ayah dengan putrinya, well….” Aku mengangkat bahuku.
Saat mengatakan itu, aku menganggap bahwa Rodeo mengatakan arti secara eksplisitnya, karena memang wanita itu agak pecicilan. Jadi, aku selalu memaknai kata Rodeo secara gamblang.
Hingga aku menyadari betapa bodohnya diriku.
“Dih, tolol! Bisa – bisanya mikir ke situ loh!” Seolah percikan bensin terciprat sedikit, api dalam diri Rodeo menyulut karena kedunguanku.
Nadanya tidak beraturan seperti tingkahnya. Toh, aku tahu tontonannya juga drama yang menyerupai itu. Drama romantis dengan kisah cinta sedarah, orang – orang yang sakit.
Rodeo kemudian membenarkan perkataannya, bahwa Tn. Wonocino terlalu mencintai putrinya sendiri karena ia sangat sayang dan penuh perhatian. Tn. Wonocino selalu mengarahkan putrinya menuju masa depan yang lebih baik.
“Apa? Bukannya itu adalah hal bagus?” Alis kiriku terangkat. Maksudku, aku tidak menemukan kejanggalan sedikitpun sehingga mengakibatkan nestapa. “Lagipula orang tua perhatian dengan anaknya adalah hal wajar. Begitu pula ayah dan ibuku. Mereka selalu mengusahakanku tumbuh dengan baik. Lalu, apa masalahnya?”
“Ketika isi kepala sama parahnya dengan tampangmu, Mar?” ujar Kapten Thatch dengan kecewa. Lantas aku mendengarkan hembusan angin penuh kasihan darinya. Salah apa lagi aku? Lagipula bila aku berada di posisi Tn. Wonocino, pasti akan melakukan hal yang sama.
“Pfft, ganteng begini dibilang parah?” sahutku membanggakan diri. Tentu aku membela dong? Memang rupawan begini kok!
“Hoekkkk!” Rodeo berlagak seakan muntah. Aku tahu wanita ini memang sedikit kurang ajar. Tentu saja, sebagai pemikir yang bijak, aku jelas tidak terpengaruh. Tapi… cih, kuharap ia muntah sungguhan.
Suara flush terdengar dari arah kanan. Kemudian pintu terbuka dengan lirihnya, Kapten Thatch telah menyelesaikan satu bilik.
“Begini… terlalu banyak perhatian… sepertinya juga nggak baik. Kurasa… itulah yang kuyakini,” terang singkat Kapten Thatch dengan nada agak tertahan.
(Meh… lagi – lagi kata – kata yang sulit dimengerti.)
Mungkin ia harus memposisikan kalimatnya agar tidak terlalu perfeksionis. Well, mungkin Kapten Thatch tidak ingin seperti menggurui atau apapun itu.
“Oke, oke. Aku… masih belum menangkap apa maksudnya itu?” balasku tidak yakin. Ini hanya seperti Kapten Thatch tidak berbicara to the point.
“Maksudku… well, sudahlah. Tidak penting juga, ” ungkapnya singkat. Begitulah kurangnya Kapten Thatch, mudah lesu dalam menjelaskan sesuatu.
“Hey, jangan menyerah begitu saja dong!” tuntutku pada potongan penjelasan Kapten Thatch.
“Dia hanya menyerah pada isi kepalamu yang lemot! Hihihihi!” Rodeo terpingkal – pingkal, cengigikkan tawanya mirip bloody mary. Hobinya yang terus menerus mengejekku, tentu menjengkelkan.
Aku merasa seolah – olah mereka ini selalu kompak mejahiliku. Padahal aku hanya seorang pria polos pengaggum cerita – cerita sendu.
Karena sedikit terpancing, aku menghadapkan tangan kananku ke atas kiri sambil memencet selang pistol pispot hingga menembakkan air. Begitulah, Rodeo telah menandatangani kontrak peperangan untuk yang kedua kalinya hari ini.
#Splash
#Kyaaahh!
“H-hey! Untuk apa ini?!” Rodeo memekik kaget.
“Ma-maaf…. A-aku… nggak sengaja…?” ujarku menghaluskan nada suaraku. Sehalus membeo suara Rodeo saat ia terkena api amarah dari Ny. Strangle pekan lalu.
Aku tahu tak ada yang namanya tak sengaja karena selang pistol pispot air menghadap ke atas, apalagi semprotannya menyasar tepat di bilik Rodeo.
“Huh? Orang bodoh macam mana yang melakukan itu, Mar?” katanya seolah tidak terpancing. Agak terdengar juga suara gerakan cepat dari bilik Rodeo.
“Orang yang otaknya lemot?”
“Bagus! Orang berotak lemot itu akan membayar mahal untuk ini!”
Dengan begitulah, seperti kata – kataku sebelumnya. Perang tak akan pernah berhenti sebelum ada pemenang.
ns 172.70.126.96da2