Selasa 14 Juni…
Sedan menerpa hijaunya dedaunan. Dari kaca mobil depan tampak dua orang berbeda gender, berbeda pula suasana hatinya. Seorang pria bersandar pada sofa mobil memasang wajah skeptis.
“Hantu? Kukira kau salah mengajak orang, Mademoiselle Madelaine?” Tangannya memecet tombol lalu punggungnya mendorong jok mobil hingga berotasi seratus depalan puluh derajat.
Sementara wanita yang memegang kendali roda stir, menyempatkan lengan kirinya menyerahkan beberapa lembar kertas HVS bercetakkan informasi.
Pria itu sedang berusaha memaksakan suasana hatinya agar tertarik. Bahkan mata malasanya sedikit muak melihat ketikan yang dicetak.
“Tidak kusangka si hebat ini malah tampak seperti lembu? Tidakkah kau merasa spesial seorang wanita menjemputmu pagi – pagi untuk jalan – jalan, Cake?” nadanya dipoles menawan untuk menyemangati pria di sebelahnya.
“Entah berapa kali aku harus menerima klise yang repetitif dan menjengkelkan. Jemputan tanpa rencana alih – alih jalan – jalan… wanita cantik sebagai supir meski aku tak pernah meminta sejak awal… sikap yang tanpa sebab halus ada maunya… mengejekku agar aku terpancing, well, apa poinnya?” Pria bermata koala mengungkapkan protes sambil memaksa dirinya sendiri membaca isi kertas tersebut.
“Oh, janganlah begitu, kau membuatku tidak enak! Lagipula kau terlihat menganggur, apakah aku salah?”
Dengan segera ia melipat kertas tersebut dan dilemparnya ke belakang.
“Well, kesimpulanmu terlalu cepat. Tidak ada pemilik toko yang menganggur kecuali mereka sakit dan harus beristirahat. Masalahnya adalah dirimu. Apa semua countess di perancis tak ada kegiatan sampai – sampai bergabung Scotland Yard?”
Wanita yang tampak percaya diri akan penampilannya, sengaja mengganti sampo sekitar 300 pound, bahkan rela membiarkan rambut panjang hitamnya diurus tangan salon profesional, ironisnya kurang mempan.
“Oh? Sopan sekali….” Nadanya kalem mengandung sindiran, Madelaine menginjak rem tiba – tiba dengan perasaan sebal..
#Duuuug!
Kepala pria yang dipanggil Cake itu terbentur dasbor mobil.
“Duh, apa yang kau lakukan wanita viking?!” Tangannya segera mengelus dahinya, rintihannya seakan dibalas senyuman tipis bertanda ejekkan.
“Apa kau selalu memperlakukan teman wanitamu seperti ini?” Ditariknya rem mobil seolah tak menggubris lebih jauh, Madelaine membuka pintu mobil. “Kita sudah sampai, turunlah.”
Mobil berhenti di tengah tempat semi hutan dan padang rumput di samping kiri. Seorang constable menunggu di pagar kecil. Tatapannya agak mematung saat memandang wanita berkaos leher panjang putih ketat dengan jaket kulit hitam yang baru saja keluar dari mobil. Namun saat pandangannya di alihkan pada pria yang memegangi dahinya, wajahnya tampak bingung.
“Jangan khawatir, dia asisten pribadiku, Moncef Carmel Keymark,” Ia menyerahkan tanda pengenal dari jaket kulit hitamnya.
“Silahkan, Nona Madelaine.” Balasnya sambil mengembalikan tanda pengenal itu, sebelum pergi.
Wanita bernama Madelaine itu menoleh ke belakang, ia heran mengapa pria itu hanya diam saja berdiri di dekat mobil.
“Bukannya kau punya kaki, Cake?” katanya sambil melepas kacamata merah transparannya.
“Memang. Tapi aku tidak punya niatan untuk melangkah,” balas Cake meski ia melakukan sebaliknya.
Mereka melangkah pada lajur alam, ditemani rerumputan yang tingginya sebadan berusaha ditangkis. Sebuah bangunan terbelengkai dan megah, memandang mereka penuh mistis. Garis kuning polisi yang terpasang membelit statis, seolah menjadi nilai jual wartawan menyebar dinamis. Masalahnya, Cake si pria malas itu, sama sekali menolak kritis, bahwa hantu hanyalah hasil akhir, bukanlah pelaku kejadian tragis.
Wanita berpostur tubuh pendek menyapa mereka dengan senyuman tipis namun tatapan matanya setajam bilah pisau.
“Selamat sore.” Tangannya mengajak salaman, kepalanya menoleh dengan cepat. “Terima kasih telah merespon permintaan kami dengan hadir langsung. Inspektur Coslett senang bertemu dengan anda, Miss Madelaine.”
Mereka menuju gerombolan dekat beberapa mobil polisi yang diparkir.
Lipstiknya semerah darah mencolok memantul kilauan cahaya sore, wanita dipanggil Coslett itu memperkenalkan ajudannya, Sersan Collins yang manik matanya senada dengan Cake, berdayun dan pipinya tembem.
“Ah, anda sendiri?”
“Moncef Carmel Keymark, asisten pribadi Mademoiselle Madelaine. Anda boleh memanggil-“ Cake yang tidak tuntas memperkenalkan diri segera diselanya.
“Kenapa mata anda terlihat mengantuk? Lalu pakaian anda rapi sekali?” Kepalanya bagai kamera keamanan yang detil sampai mengelilingi Cake seakan melucutinya.
“Mendengar nama anda yang mirip bangsawan dari entah daerah mana, saya pikir orang ini pelayan anda. Hm… anda memang cukup sentimental, tapi apakah ini pilihan terbaik?” ucapnya pada Madelaine.
Nadanya sopran dengan tempo cepat singkat, mengucap terlalu banyak hingga Cake bagai makanan yang dikritik habis. Ekspresi pria itu kian menegang, sedikit melunturkan wajah malasnya. Sementara Madelaine kesusahan menahan tawa.
“Eh-ehem… Saya yakin Tn. Cake lebih bisa diandalkan daripada nilai tampangnya, saya jamin,” balas singkat Madelaine.
“O-ow, bila anda berpikir begitu?” wajahnya kembali dipenuhi senyuman sambil menepuk ringan pundak Cake. “Well, saya tak boleh menyepelekan pilihan orang – orang Scotland Yard. Baiklah ikuti aku, lad!”
Inspektur Coslett yang langkahnya kecil jeda singkat, mirip rusa kecil, berjalan memutar mengabaikan pintu depan, diikuti oleh Cake dan Madeleine.
“Anu, Mademoiselle Coslett, bukannya lebih cepat lewat pintu depan?” tanya Cake.
Ia pun berhenti.
“Ah, pintu depan memang terkunci. Kita akan lewat jalur belakang,” tambahnya memberikan senyuman yang singkat pula. “Oh satu lagi, tanpa selle. Saya punya anak satu, Bobby namanya.”
Suasana menjadi agak canggung dalam beberapa detik.
“Well, s-saya akan ingat itu Mme. Coslett,”
Mereka kembali melangkah sampai pada belakang gedung. Beberapa jendela ditutupi kayu dan seng tipis. Sama sekali belum terlihat pintu belakang, namun Cake dan Madelaine dikejutkan hal lain. Sebuah gambar pentagram warna putih pada tanah dengan lima lilin merah berdiri di tiap sudutnya dalam kondisi mati. Tepat di tengah pentagram itu terdapat sebuah balok tua kecil dilapisi merah tebal dan terlihat tua.
Pandangan mereka sesaat berganti pada sketsa korban yang sedikit menyisakan bekas darah.
“Pria kelas 3 SMA, Erwin Bevans terjatuh dari jendela bolong itu, Ms. Madelaine.” Tunjuk Inspektur Corsett pada deretan ke empat jendela yang tidak ditutupi kayu maupun seng. “Aku dan Sersan Collins sepakat kalau kepalanya juga terkena luka benturan. Dugaan kami adalah ia dipukul tepat berdiri di dekat jendela tersebut.”
“Apakah korban jatuhnya menelungkup?” tanya Cake.
“Yeah, dahinya bersimpah darah,”
Madelaine menjawil gambar pentagram tersebut yang tampak seperti pasir.
“Garam?” Ia menjilat tipis jari tengahnya.
“Saya tidak tahu apa yang dilakukan bocah – bocah zaman sekarang, mereka selalu bertindak sesukanya. Entah apa yang ada dipikiran mereka menggambar sesuatu berbau okultis begini,” nada Inspektur Corsett naik tinggi melengking lalu mendengus. “Ini hanya menambah beban pekerjaan polisi.”
“Apa anda tahu kotak ini?” Cake mengangkat kotak tersebut lalu dikocok ringan sambil telinganya didekatkan.
“Sersan Collins bilang itu adalah Dybbuk box. Katanya itu sangat populer di whytube. Saya tak tahu secara detil, nanti coba tanyakan padanya,”
Kotak tersebut tidak berhenti membuat mata Cake menatap sambil dibolak – balikkan. Hidungnya mengendus pada bagian yang tampak mirip lelehan mengeras bewarna merah.
“Lilin?”
“Apa itu dari lilin merah itu?” tanya Madelaine.
“Tidak mungkin,” Tangan Cake mencoba mencuil bekas lilin yang sudah keras dan berkerak di kotak itu. “Warna merahnya lebih pucat. Mungkin mereka membeli benda ini untuk tujuan tertentu dan memang datangnya sudah begini,”
Mereka terus berjalan melewati celah sempit dari tembok bangunan yang melingkar dan mencolok. Langkah kaki diangkat, mereka masuk ke kiri melalui jendela yang telah hilang kacanya dan banyak ditumbuhi tanaman liar yang merambat. Kini berada pada ruangan samping yang menghubungkan gedung utama. Tergambar sebuah sketsa kamera di sudut tembok dekat jendela mereka masuk. Mereka kemudian berjalan sedikit menuju pintu penghubung bangunan utama.
Inspektur Collett menunjuk tepat pada belakang pintu penghubung gedung utama. “Ah, Gadis bernama Dilys Bierce dicekik sampai wajahnya membiru,” tambahnya sambil menunjuk sketsa kotak kecil di tengah – tengah. “Di sana juga ada benda mirip handy talky. Nanti tim kami akan berikan semua datanya. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan tempat ini dulunya adalah apotik.”
Cake berjongkok pada sketsa korban dan mencoba mensimulasikan kematian gadis tersebut lewat kepalanya. Sementara Madelaine tertarik pada sketsa kamera. “Mereka sedang merekam sesuatu, Inspektur Coslett?”
“Mirip seperti itu. Hm… mendokumentasikan paranormal?”
“Ah, para pemburu hantu?” tanya Madelaine menebak.
“Yeah, persis! Mereka dari sebuah klub sekolah, penelitian supernatural, asal Cardiff. Begitu kejadian itu terjadi, kami menyuruh mereka pulang, lalu melaporkan pada Kepolisian Wales Selatan. Sisanya hanya menunggu hasil,”
“Oh jadi begitu,” Madelaine menoleh ke belakang. “Kau sudah dapatkan gambaran, Cake?”
“Oui.” Cake menghampiri Inspektur Coslett. “Sebentar, ada pertanyaan lain, berapakah jumlah mereka sebenarnya? Mereka melakukan ini dibagi kelompok?”
“12 orang,” tambahnya. “Dua kelompok enam orang. Enam sisanya ke bangunan pondok sebelah, sisanya ke sisa gedung utama,”
“Merci,”
Di sana, terdapat pintu ke arah kiri yang menghubungkan jalan koridor menuju bagian tengah, tepat di belakang pintu masuk depan yang terkunci. Terlihat interior yang memang lapuk, tapi bekas desain panel kayu dan dinding yang dihiasi tersebut tampak mewah. Bahkan dua tangga kayu yang diukir rumit berbahan kayu ek tidak bisa dikatakan menghemat biaya pembangunan.
Mereka memilih menuju aula yang luas lalu lurus paling ujung dan berbelok ke kanan masuk ke salah satu ruangan. Di sana terdapat pula sebuah sketsa kamera tepat di depan pintu masuk dan benda yang mirip handy talky sedikit berada di depannya. Sketsa korban berada belakang kamera
Inspektur Coslett mengatakan bahwa korban gadis, Luned Eiriol, mati tragis kedua matanya ditusuk hingga buta diakhiri dengan menggorok lehernya. Di dekat korban ditemukan kacamata retak.
Lebih lanjut menaiki tangga, terdapat dua arah pilihan mereka berbelok ke kanan, sempat memasuki ruangan pria bernama Bevans itu jatuh. Di dalam ruangan yang jendelanya tak bertutup itu terdapat sketsa berbentuk mirip handy talky juga.
Kemudian mereka berbalik arah atau tepatnya mengambil ke kiri dari dua pilihan, kemudian masuk ke ruangan yang paling pojok, di sanalah kata Inspektur Coslett mayat yang terakhir.
“Tenggorokannya juga digorok. Kejinya lagi, kedua lengannya dipotong. Naas sekali bocah bernama Cadell Gethin ini,” jelas Inspektur Coslett berwajah sedih.
Setelah mengetahui empat mayat itu, Cake dan Madelaine menuju ke arah pondok rumah sakit Pool. Ada enam bangunan. Dari yang paling dekat dengan apotik, yaitu tempat tunggu, kamar khusus, gudang obat – obatan, ruangan generator, kamar mayat dan terakhir insinerator.
Kini mereka berada pada bangunan paling pojok, Kepala Cake memunculkan sebuah lampu.
“Madame Coslett, bisakah saya minta tolong?”
Cake ingin agar beberapa bawahannya masuk ke semua bagian Pool Park Asylum.
“Untuk apa melakukan itu?”
“Tn. Cake ingin mencoba sesuatu. Saya kira itu tidak akan sia – sia, Inspektur Colett.”
Roman muka Inspektur Colett sempat ragu, tapi karena pihak Scotland Yard setuju, maka tidak ada alasan menolak. Cake segera memberitahu apa yang ia butuhkan.
Inspektur Collet memerintahkan tujuh constable. Dua dari mereka menempati gedung utama di aula dan lantai atas. Kemudian satu per satu dari gedung utama disuruh berteriak sebanyak lima kali.
Cake segera mengambil coretan pada buku catatan kecilnya. Madelaine tidak tahu menahu apa yang rekannya lakukan, tapi setidaknya bisa mengira dari informasi yang diberikan Inspektur Coslett pada Cake.
“Ah, terima kasih, itu sangat – sangat membantu InspekturCoslett,” tambah Madelaine. “Lalu bagaimana awal kondisi TKP ditemukan? Siapa saja yang selamat?”
“Saat kami ke dalam, dua orang gadis ditemukan masih hidup, satunya luka di lengan kiri dan paha kanan sedangkan satunya lagi pingsan membawa pisau yang berlumuran darah,” katanya dengan ekspresi wajah agak terganggu. “Kami mungkin akan melakukan penyelidikan ini berhari – hari sampai menemukan beberapa barang bukti lainnya,”
Kira – kira setengah jam sebelum matahari terbenam, mereka kembali dan mendapat beberapa data informasi termasuk rekaman dari Sersan Collins. Mereka segera bubar, tidak hanya Cake dan Madelaine, tapi juga para polisi. Malam bukanlah rekan yang menyenangkan bila bercengkrama terlalu lama di sekitar gedung kosong dan terbelengkai.
Kini Cake dan Madelaine masuk ke dalam mobil dari luar pagar yang dijaga satu constable sejak tadi.
“Nanti kita cek rekaman ini,” tambah Cake. “Sementara itu aku ingin kau mencari penginapan yang layak, Mlle. Madelaine,”
“Tentu, tentu. Aku selalu mengurus rekanku sebaik – baiknya.” Ia segera menyalakan mesin sedan hitam benz necisnya.
Cake hendak bersandar ingin menatap kelopak matanya.
“Pengamatanmu selalu membuatku terkesan. Well, aku mulai punya banyak pertanyaan sekarang. Terutama soal percobaan suara tadi,” kata Madelaine meringis.
“Diamlah cerewet! Aku tak pernah cocok dengan reporter. Berhentilah mencoba jadi salah satunya.”
ns 172.70.130.160da2