Kusebut – sebut sebuah kenyataan yang sama sekali tidak bisa dibilang kenyataan. Pikiranku masih saja berkecamuk selama dua tahun, bukan waktu yang singkat, masih bisa belum menerima.
“Kau tahu, Roddy? Kita tidak berada pada zaman hitler menyerang, kan?” ucapku sambil menikmati makan siang.
“Tenanglah, Caramel! Kau pikir tubuhku yang tinggi juga menopang otak yang tinggi?” tambahnya setelah sendoknya mengangkut mash potato untuk ditaruh ke piringku setelah dua kali dari piringnya. “Well, tapi kau benar soal itu. Mereka bilang, ‘Bukalah matamu dan hiruplah udaranya perlahan – lahan. Pasti kau akan merasakan yang sebenarnya’. Yang sebenarnya? Menyedihkan, tempat yang kuno.”
“Aku hanya berpikir tempat ini setidaknya butuh warna. Atau paling tidak seperti Lumière de la ville la nuit! Nah, paling tidak Nona Verdamant memprediksi tempat ini masih ada harapan! Ahohohoho-”
“Uhuek~ Uhuk! Uhuk!”
Gadis berambut seperti bor dua arah tiba - tiba itu tersedak.
“Ha-hati – hati, Verdamant!” kata Pebble yang menegukkan segelas air pada mulut yang penuh tawa kebanggaan itu.
“Ah, maaf sayang.”
Pria pendiam dengan rambut coklat dikuncir itu berdiri.
“Inilah realitas,” ia sambil membawa piringku, Roddy, dan Pebble yang telah habis. “Awal meneguk pahit, lama – lama juga terbiasa. Walaupun masih pahit.”
“Ah, itu lumayan membantu,” kataku sambil mengacunginya jempol meskipun wajahnya datar, tapi aku tahu alisnya naik, tanda ia setuju.
Mereka berbisik dari belakang.
“Dia ini puitis sekali, benar?”
Aku mengangguk setuju.
“Heh. Bocah itu boleh juga!” Kata Verdamant dengan sedikit angkuh.
“Tapi, kadang – kadang aku cukup kasihan dengannya.”
“Huh? Apalagi Sonia?”
Sebenarnya aku juga penasaran dari pria penyendiri itu. Entahlah, ia hanya terlihat sedikit kurus dan agak lebih berotot.
“Aku tahu James anak yang pintar, apalagi sudah seperti anak emas Madame Caulburn!”
“Eh? dia penjinak si tua serigala itu? Serius?”
Sonia mengangguk.
“Aku mengakui orang yang pintar dengan angka termasuk yang jenius! Well, pasti ada yang tidak suka padanya. Tentu saja aku tidak termasuk, tapi kuharap ia mau mengerjakan PRku kalau mengenalnya! Ahohohoho!”
Pebble menghentikan candaannya.
“Ver-verdamant, itu tidak baik!”
Gadis berambut bor itu minta maaf lagi.
“Lalu apa masalahnya?” Tanyaku penasaran.
“Saat itu ia berpapasan dengan Madame Caulburn. Aku tidak sengaja melihatnya dari belakang. Mereka beradu mulut. James terlihat tak terima, namun siapa yang berani berargumen lebih lanjut dengan Caulburn?”
Aku dan mereka kompak mengangguk. Masalahnya adalah siapa yang mau menerima serangan batin bertubi – tubi dari mulut macannya?
“Kasihan si James.”
Sonia mengangguk, “Setelah waktu pelajaran berakhir, aku menemui Madame Caulburn.”
“Eh? Kenapa repot – repot?”
“Entahlah, aku hanya merasa tidak bisa membiarkan teman sekelasku terkena masalah begitu saja. Tentu aku sudah tanya padanya, tapi usahaku tampaknya sia – sia pada Madame Caulburn.”
“Tidak mengagetkan, mengingat kau bukan aktris. Tangisan, rengekan, bujukan…” tambah Verdamant menunjuk – nunjuk kecil telinganya. “Bahkan kata – kata itu bukannya masuk, malah mantul dari telinganya.”
Perkataan yang bagus, setidaknya kami semua cekikikan. Satu yang kurang, bila kau punya anjing bulldog, maka pipi keriputnya yang membentuk seperti gelambir akan mirip, plus ekstra matanya yang agak menghitam.
Sebenarnya Madame Caulburn tidak seburuk itu, kecuali saat ia menegurku yang tidak sengaja menggendong Elysa yang saat itu terjatuh di sekitar jalan kecil dekat laboratorium. Saat itu aku merasa, bahwa Caulburn agak berat sebelah. Bagaikan memegang sebuah besi berkarat bila berurusan dengan siswa, atau seperti berlian yang dijaga dengan ketat bila itu siswi. Well, setidaknya kau bisa menilai Caulburn tetap saja anjing pemarah, masih menyebalkan bagi siapapun. Tapi entah kenapa, ini tidak seperti biasanya, aku seorang yang plegmatis, tiba – tiba saja memegang dagu sambil mengerutkan dahi di sela – sela jenaka Verdamant yang katanya Belle et charmante femme.
Suara bel berbunyi, tanpa irama, memekakkan telinga, tidak menyenangkan toh aku sedikit tidak peduli, harus terpaksa menggerakan kaki kembali ke kelas. Bukan sebuah alasan khusus untuk gedung yang tua, karena murid memiliki kamarnya sendiri – sendiri. Jangan berpikiran salah, jauhkan fantasimu bila sekolahan berasrama akan tampak indah seperti drama romantis yang diagungkan gadis bor itu. Teman abadimu selama tiga tahun adalah, tempat tidur, pintu, meja untuk belajar, jendela yang kadang rusak, selimut dan tembok putih yang dibuat monoton. Penjara? Oh tidak, jangan bercanda seperti itu. Di penjara tidak ada jendela.
Seperti halnya fasilitas pendidikan pada umumnya, murid dituntut meraih impiannya. Aku tidak sedikitpun membuang usiaku menjadi anak bodoh, tapi tidak seambisius Sonia si gadis sempurna dari kelas sebelah. Bila dirata - rata, aku salah satu yang terbaik. Meskipun pada faktanya, aku, Roddy, Rodriguez, Beckey dan Foscow dicap sebagai bocah nakal di kelas. Ah, bila ditanya hal itu lebih lanjut aku sedikit keberatan, tapi yang jelas aku tidak seburuk itu.
Tidak seperti Roddy yang selalu sebagai pemicu kelas kami menjadi agak ramai sehingga kelas agak celometan dengan guru, Rodriguez yang kakinya ditakdirkan bukan untuk mencetak gol, namun malah membuat jendela ruang meeting guru berganti sudah lima kalinya. Kali ini itu terbuat dari anti peluru, cukup lucu bila diingat.
Beckey yang seolah partner komedian dari Verdamant, membuat guru tata rias, Madame Shendelzare, mempunyai titik buta yang selalu tertuju kepada mereka berdua. Ini tidak seperti mereka selalu membuat olah, malahan kali ini berusaha sedang memperbaiki hubungan tersebut, hanya saja insiden itu cukup membuatku tertawa seharian. Insiden wajah petarung, wanita samurai parubaya.
Ceritanya singkat, aku yang iseng mengintip kelas tata rias, kelas yang sunyi dengan anak – anak perempuan memperhatikan Madame Shendelzare dirias oleh Verdamant yang terlalu percaya diri. Kukira itu direncanakan, namun saat pintu terbuka dengan cepat, seisi kelas kaget, tak lupa tangan Verdamant yang memegang lipstik menggeser hingga ke arah mata. Aku tahu mirip pendekar samurai. Tapi itu bodoh untuk seorang gadis, pertanyaan konyol itu seharusnya tidak dilontarkan. Momen yang tidak tepat, sehingga seisi kelas seakan menertawakan Shendelzare. Walaupun keadaan baru – baru ini seperti berbalik, mereka seperti anak emasnya. Mereka berdua yang punya nilai selalu yang terbaik. Kata – kata mutiaraku adalah, awal dari pintu kedekatan adalah melewati jalan saling memahami atau kontradiksi.
Atau Foscow, pria bertubuh agak gemuk, sangat terobsesi dengan kue donat, atas keluguannya, menanyakan pada Pak Dunsfold bahwa apakah ia sedang menggunakan rambut palsu. Sebenarnya itu bisa kutanyakan kapanpun, bahkan semenjak awal menjejalkan di Widehope, tepatnya angin musim gugur yang cukup frontal terkadang. Lumayan kurang ajar untuk hal yang dilakukan dengan rasa penasaran dengan penempatannya yang amat tidak tepat. Alhasil guru tersebut keluar dan pindah ke sekolah lain.
Kalau aku? Aku tidak tertarik pada guru – guru tua itu. Mereka adalah manik – manik yang telah kehilangan nilainya di mataku. Lagipula itu manik – manik, kan? Beda sekali dengan permata asli, yang terhormat, la plus belle femme, Nona Beagle, umur 32 tahun, rambutnya panjang sebahu dan hitam, parfumnya berbau coklat, namun tidak ada guru disini yang lembut, minimal sikap tegas. Bahkan nilaiku tidak pernah merah di pelajaran biologi.
Itu tidak seperti saat kami punya orang tua yang dipanggil apabila anaknya punya nilai merah untuk sebuah teguran, tapi kadang – kadang lelaki diumur 18 tahunan memutuskan bersikap seperti pria keren, penuh keputusan singkat untuk rendahnya kebijaksanaan. Saat jam pelajaran selesai, aku selalu mencium tangannya, tidak ada yang salah untuk predikat terbaik mencari perhatian. Mudah saja beralasan, budaya untuk penghormatan. Masalahnya adalah tangan itu kupegang terlalu lama. Wajar saja waktu agak terhenti bila itu seseorang yang kau sukai, kan? Well, tangan itu lama – lama berpapasan dengan pipiku. Dalam artian buruk, itu membekas. Mungkin aku harus memperhatikan batas itu? Yang terjadi biarlah berlalu.
Lagi – lagi bel itu berbunyi dengan kesan buruk di telingaku, dan di jantungku. Tapi polanya berbunyi justru yang menjadi favorit kami. Empat kali suara seperti bel keras dari sebuah kendaraan bus, artinya waktu pelajaran berakhir. Kami seperti empat serangkai, yang berencana memenangkan lomba festival lari, demi sepeda konyol, berkumpul dulu bersama.
Namun tiba – tiba seseorang mencegatku. Tanda kutip dalam hal baik, tidak untuk dilebihkan, tapi sejujurnya kadang aku berpikir fase kepopuleranku meningkat. Aku tahu banyak kelebihan dari seorang pria yang sering berbicara melalui pikirannya, kadang menjadi pendiam adalah emas.
“Ah, Elysa. Ada apa?”
“Aku ingin mengucapkan terima kasih atas hal kemarin,” ia memberikanku sebungkus paket makanan.
Ini bukan hal yang mewah, untuk orang yang berkecukupan dan sangat umum. Namun untuk kami? Ini jauh lebih baik dari mash potato hambar yang tolol dengan kombinasi sayuran yang direbus dengan perasaan tergesa - gesa. Oh semua tahu apapun bila dimasak tergesa – gesa tidak menghasilkan hal yang baik.
Roti isi dan susu adalah emas di tempat ini. Elysa adalah gadis dengan mata yang lembut bewarna biru langit, rambutnya coklat muda dengan bando pink, tipe yang lurus tanpa malu – malu. Ia satu tahun di atasku, benar – benar kakak kelas yang baik.
Setahuku ini dua minggu yang lalu. Ini tidak seperti perlakuanku terhadap Beagle yang penuh gerak – gerik idaman seorang pria. Pada Elysa, hanya sebatas insting, bukan bermaksud seperti tokoh utama dalam kartun – kartun fanstasi. Sebenarnya cukup malu mengakui, tapi predikatku dicap sebagai anak nakal tidak berhenti pada Beagle.
Aku menggendong Elysa yang saat itu dalam keadaan tidak bisa berjalan, kakinya berdarah. Sepertinya ia mempersiapkan lomba lari. Seantusias kami, eh? Masalahnya adalah saat itu kami berpapasan dengan Caulburn. Kau tahu maksudnya, kan? Anjing selalu menggongong lebih dulu. Di matanya itu seperti hubungan berpotensi buruk di umur – umur kami? Well, aku setuju bila itu seperti drama yang dibicarakan Verdamant setidaknya.
“Eh? kau yakin? Bahkan dengan jatah beasiswa, membeli makanan seperti ini sekali, aku bisa mengobankan jatahku lima hari.” Tanyaku kembali.
Dia menggeleng kepalanya dengan yakin.
“Aku dari sisi depan. Aku juga termasuk siswadengan beasiswa, lagiula orang tuaku juga menyuplai.”
Ah, mendengar itu entah kenapa sedikit menggelitik perutku dengan jarum pentul yang di gosokkan ringan. Masalahnya adalah prinsipku tetap menjadi keren pada setiap gadis. Gambarannya adalah seperti sebuah kue pada piring. Bahkan tidak secuil kue pun, bahkan piringnya pun tidak. Kami seperti garpu plastik kecil yang setelah makan baru dibuang.
Paket itu kuterima saja.
“Kedepannya aku butuh bantuanmu.” Katanya dengan ekspresi memohon.
Aku menjadi bingung pada dua hal. Masalahnya menerima makanan mewah ini cukup membuat temanku mengusiliku, apalagi seorang gadis bisa dibilang terhormat. Tidak seperti kasus Beagle, yang temanku terpuaskan melihatku tersiksa mental, walaupun karena ulahku sendiri. Batas – batas kecemburuan umur 17 an, apalagi soal klise mendekati romantis begini, aku bisa jadi bulan – bulanan.
Yang kedua, adalah mengapa aku? Dimana pilihan itu muncul? Siapa yang merefrensikan? Untuk apa gadis terhormat meminta bantuan pada pria sepertiku dengan setiap harinya menciptakan mata malas yang tak termotivasi begini. Fase populer? Bila itu dalam mimpi dan angan – angan. Kau harus setidaknya menelan pil pahit dulu baru bisa mengerti yang mana mimpi dan yang mana kenyataan.
“Hey, hey, kalau ini bercanda maka itu menyedihkan. Tapi setidaknya aku tidak terlalu termotivasi menolong orang lain. Apalagi yang terlihat rumit?”
Gadis itu menarikku menuju sebuah koridor, yang sedikit sepi dari orang melewatinya. Matanya penuh waspada menoleh dengan hati – hati. Gerak – geriknya aneh.
“Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Bila waktunya tepat, surat itu akan sampai di kamarmu! Bila itu tiba, kumohon!”
Dari pandanganku seperti seekor tupai yang dikejar pemangsa. Bola matanya tidak statis dan cenderung bergetar, memandang mataku dengan serius. Kedua tangannya menggengam erat seolah mencubit. Keringatnya menjatuhi di area – area tertentu. Tidak sempat terpikirkan hal erotis, pikiranku dengan pragmatis dua hal. Menerimanya dengan setengah – setengah, atau menolaknya dengan merendah, menjelek – jelekan sifatku, tidak lupa menaruh simpati. Situasi yang paling ingin kuhindari, berada pada tingkat yang paling merepotkan, datangnya selalu tiba – tiba dalam kondisi sulit mengelak bahkan menolak.
“Baiklah, tapi kau harus menerima bila cara satu – satunya tidak masuk akal nantinya.”
Ia mengangguk lega. Aku bisa melihat beban itu seperti dicabut dari sekujur tubuhnya. Sedikit melemas, tapi tidak pada titik yang paling rendah. Setelah itu ia pergi. Bahkan lebih mengejutkan, itu adalah opsi ketiga yang tidak terpikirkan. Permainan yang adil, pertanyaan yang tiba – tiba untuk jawaban yang tidak terpikirkan, tidak satupun dalam pilihan.
Sebelum aku kembali, langkahku terhenti. Sejujurnya aku cukup familiar dengan hal – hal rinci, tapi belum tertarik untuk menjadi tokoh fiksi dengan karakteristik paman pendek berkumis era 90-an. Masalahnya adalah aku tidak mau menginjakkan garis milik orang lain. Karena garis itu adalah batasan, seperti yang kubilang sebelumnya.
Seperti halnya tamu – tamu seragam putih? Eh tidak juga. Kadang mereka ada yang berdasi dan jas hitam, topi yang terlihat mahal. Mobil – mobil mereka sebelumnya dihentikan oleh palang pembatas yang menyuruh mereka menunjukkan tanda pengenal sebelum masuk ke tempat ini. Kalau itu aku, aku tidak akan melewati palang pembatas itu dan pergi. Masa bodoh dan sama sekali tidak tertarik.
Lebih baik sama sekali tidak tahu, daripada mendengarkan lalu tidak bisa membiarkan. Batas egoisme mutlak dan absolut.
***
ns 172.70.131.115da2