“Jadi, anda pernah dipenjara?” tanyaku sambil memasukkan adonan pada oven.
Aku memencet tombol yang diinstruksikan Tn. Cake. Sementara ia agak susah menyelipkan kancing yang aneh seperti kancing hitamnya. Well, agak aneh sih padahal kancingnya tidak rusak ataupun copot.
“Yeah, pengalaman sekali seumur hidup. Tidak terlalu buruk. Paling tidak dapat jatah makanan.”
Ia mengusap bekas cipratan adonan di dekat oven yang tidak sengaja kubuat.
“Ups, maaf.”
“Tak apa,” katanya sambil membalik – balikkan ikan pada mesin panggangan. “Jadi, apa yang kau pelajari hari ini, Feline?”
“Well, memanggang kue. Bahan yang diperhatikan harus tepat, perhatikan saat mencampur adonan biar tidak ada lubang, dan tetap menghafalkan resep.”
“Sangat bagus,” katanya sambil menunjuk rak piring.
Aku mengambilkan beberapa piring untuknya.
“Hm… aku masih tidak mengerti pada bagian akhir.”
Ia menyajikan satu per satu ikan yang telah di panggang pada piring yang kutaruh di dekatnya.
“Maksudmu?”
“Menghafalkan resep? Maksud saya, anda pernah bilang-“
“Melakukan banyak percobaan dan bereksperimen?”
Aku mengangguk yakin.
Setelah piring itu sudah siap, aku membantunya menaruh pada meja yang telah diatur rapi. Bahkan sebelum tutup tadi, kami mengepel lantai terlebih dahulu.
“Itu karena aku sudah bisa mengira – ngira bahan pembentuknya dan beberapa hal yang perlu dihindari. Tentu saja aku juga menghafal. Lagipula itu eksperimen dilakukan bila mencoba resep baru, bukan?” tambahnya. “Tolong ambil kan gelas, Feline.”
Kami menata gelas dengan rapi beserta dispenser kaca untuk sirup sebesar dua liter. Lalu menutup makanan itu dengan Cloche..
Hari ini Tuan Cake akan kedatangan tamu. Aku bisa mengerti ia agak gugup tadi pagi. Tapi saat kutanya apakah ini mengenai Nona Flemming, ia menggelengkan kepalanya sangat yakin. Mungkin agak berkaitan dengan ceritanya tadi.
“Anda akan bereuni?”
Ia tersenyum kecil.
“Pembahasan kecil, rindu, dan sedikit merevisi sesuatu.”
Tuan Cake menyuruhku duduk dan menunggu pintu, sementara ia membersihkan peralatan dapur yang telah dipakai tadi. Kubuka selembar koran hari ini. Beberapa berita yang membosankan. Aku tidak terlalu tertarik urusan politik yang selalu memenuhi judul di koran. Masalahnya butuh pemahaman lebih dalam. Biasanya aku berdebat dengan Tn. Cake tapi selalu berujung kalah. Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan.
Kubalik halaman lagi, mengenai fashion. Jujur saja aku tidak tertarik dengan glamour, tapi pakaian – pakaian klasik ala medieval selalu membuatku penasaran. Maksudku mereka punya desain khas yang tidak monoton, lebih rapi dan tertutup.
Kemudian kubalik lagi halaman itu, mataku sedikit kupicingkan pada hal yang sedikit membuatku tertarik. Ukuran pada judulnya lumayan mencolok, tapi penempatan beritanya agak pojok.
‘Pusscat?’ kataku dalam hati. Nama itu selalu membuat perutku tergelitik dari kemarin. Apalagi disandingkan dengan ‘Pussett’. Maksudku kenapa harus diawali ‘Puss’? Apakah mereka pecinta kucing? Well, paling tidak berita ini agak mengkhawatirkan. Paling tidak bagi Tn. Cake.
“Anda sudah boleh khawatir, Tn. Cake.”
“Soal apa?”
“Detektif Pusscat, telah memecahkan seratus kasus di berbagai tempat. Bisa saja itu mengambil alih pekerjaan anda. Akhir – akhir ini beritanya agak menarik.” Kataku sambil tertawa kecil.
“Benarkah? Bagian apanya yang membuatmu tertarik?”
“Well itu…”
Aku bingung. Masalahnya nama itu sedikit mengingatkanku pada film kartun.
“Namanya konyol. Kukira serial puss in boots.” Tambahnya sambil menghela nafas. “Aku tahu mereka berusaha untuk menarik pasarnya.”
Mendengar Tn. Cake bilang konyol membuat tawaku sedikit mengeras.
“Yeah, saya kira mereka pecinta kucing,” tambahku sambil melipat kembali koran itu. “Anda harus mengencangkan ikat pinggang, menurutku.”
“Mengapa? Lebih banyak orang yang detail seperti mereka, lebih sedikit kriminal, bukan?.”
“Yeah, itu benar sih.”
Suara lonceng berbunyi saat pintu terbuka. Aku bergegas menyapa tamu. Masalahnya aku tak yakin, apakah nenek tua ini benar – benar tamu Tn. Cake.
“A-aku melihat lampunya masih menyala, masih buka?” Tanya wanita tua itu mengenakan mantel dan topi bonet putih agak tersengal – sengal.
“Maaf, apakah anda tamu Tn. Cake?”
“Apakah itu nama pemilik tempat ini?”
Sebenarnya aku bisa saja mengizinkan, tapi masalahnya kami sudah tutup. Bahkan bahan – bahan pun menipis. Itu karena besok adalah jadwalnya aku dan Tn. Cake menyiapkan bahan – bahan.
Tn. Cake mendekat. Aku menjelaskan padanya. Tn. Cake yang melihat wanita tua ini tersengal – sengal dan agak berkeringat kemudian memegang tangannya. Wanita tua itu menjelaskan kepada kami. Aku agak kurang mengerti penyakit apa itu. Mungkin nanti bisa kutanyakan soal gula rendah pada Tn. Cake.
“Anda punya Hyperglycemia? Silahkan!”
Wanita tua itu masuk, Tn. Cake mengarahkan ke agak pojok.
“Tapi Tn. Cake, bukannya-“
Jarinya menutup mulutku.
“Ssstt! Potongkan roti itu dan buatkan teh hangat.” Katanya lirih.
Tanpa pikir panjang, kulakukan apa yang Tn.Cake katakan. Aku memotong kue yang rencananya untuk tamu Tn. Cake. Well kadang – kadang memang ada hal tak terduga. Lagipula nenek itu terlihat butuh cepat dan ini kuenya pun masih hangat.
“Silahkan.”
Kuletakkan satu potong kue vanila, beserta teko hangat dan satu cangkir. Aku juga mengambilkan ponselnya yang kehabisan baterai untuk dicas.
“Bagaimana bisa anda lupa bawa insulin?”
“Ye-yeah, aku sedang ada urusan bertemu teman lama. Saat tiba di stasiun, aku baru sadar tidak bawa insulin. Jadi untungnya ada toko kue.”
Tn. Cake mengangguk sopan.
“Berapa umur anda?”
“81 tahun.”
Aku merasa kasihan padanya. Aku bersyukur kami masih belum tutup.
Sesaat tidak lama dari lima menit, bel itu berbunyi lagi. Kali ini mungkin saja seperti yang diharapkan. Salah seorang berambut botak mewakili dalam menjelaskan bahwa mereka akan bertemu dengan Tn. Cake.
“Silahkan,”
Ternyata lumayan banyak yang diundang.
“Ah! Tn. Fischelich,” tambahnya. “Kau juga James! Darrent! Silahkan!”
“Tidak buruk, nak,” tambah pria botak agak tua itu sambil melihat – lihat sekitar sebelum duduk.
“Keren dan menenangkan, uh huh.” tambahnya. “Benar, Darrent?”
“Yeah, minimalis tapi moderen.”
“Kau berpikir begitu?”
Kemudian masuklah beberapa wanita. Seperti yang diceritakan Tn. Cake, ada wanita yang wajahnya agak kaku dan satunya lagi seperti tipe – tipe pencair suasana.
“Winfred! Ephey! Silahkan!” sambut Tn. Cake dengan wajah semringah.
“Kau tumbuh jadi pria yang baik, Mark!” kata wanita yang dipanggil winfred itu sambil menepuk – nepuk punggungnya.
“Memang, sangat Mark sekali.”
“Hey, hey apa maksudnya itu, Ephey?”
Setelah itu ada wanita berdasarkan cerita Tn. Cake, wanita rambut bor, dengan pakaian cotehardie hitam kerah putih seperti yang kulihat di koran. Namun aku sama sekali tidak tahu pria di sebelahnya. Kemudian lewat wanita yang mengingatkanku dengan Nona Flemming, sangat glamour, muda dan berintelektual.
“Ciao!” sapanya sambil memegang pundakku dengan santai.
Aku hanya tersenyum gugup.
Kemudian yang tak diduga – duga, orang yang kubilang lucu namanya. Tubuhnya bahkan sama pendeknya dengan yang di koran.
“Eh? Miss Pusscat?” kataku sangat gugup.
Ia tersenyum manis. Begitu pula wanita yang dikuncir samping dengan tubuh yang berbanding terbalik. Paling tidak aku menilai seperti penjaganya.
Setelah semuanya masuk, Tn. Cake membuka acara tersebut. Namun Nona Pusscat sempat bertanya dengan satu orang yang belum hadir.
Tn. Cake membuka ponselnya.
“Dia terlambat.”
“Siapa nenek itu, Mark?”
Tn. Cake menjelaskan pada mereka. Sementara aku menemani wanita tua itu.
“A-apakah aku menganggu?” tanya nenek tua melankolis itu padaku.
“Tidak sama sekali, nek. Anda boleh mengobrol dengan saya.”
Lalu Tn. Cake membuka satu per satu cloche itu.
Semua orang terkejut kecuali pria botak itu.
“Apa ini maksudnya, Mark?”
ns 172.69.59.70da2