Aku menggengam barang, yang mengundang seribu pertanyaan lebih banyak daripada dongeng kisah seribu satu malam. Pandangan mereka, tidak hanya kawanan bodohku biasanya, gadis – gadis jenaka dan culun, tokoh – tokoh yang hanya ikut campur saat aku berurusan ala melodramatis dengan Mademoiselle Beagle, pandangan penuh curiga.
Sebutkan saja alasan paling tidak masuk akal, dari bocah ingusan, pendiam yang mesum, penimbun majalah porno, tukang perayu, sok pintar, dan sebagainya. Well, mereka memang teman – teman tolol yang sedikit munafik. Paling tidak di bagian majalah model. Sungguh tidak elegan menyebutnya porno, padahal itu adalah tentang seni, pemasaran, dan keindahan. Meski kuakui itu cukup menarik daya tarik sexual pria seumuranku. Apalagi menyimpannya di tempat yang lebih aman dari campur tangan brankas bank. Benar, bantal tidur. Kau tahu? Telingaku sudah siap akan ocehan – ocehan tidak bermartabat itu.
“Tch! Aku tahu kau pemenang, Woofwoof! Caramu hampir mengesankan. Itu sempurna bila kau membagi cara – caranya!”
Aku memasang kuda – kuda semenjak itu kutaruh di meja kantin, meja bundar tidak istimewa, namun seperti disidak oleh sekawanan kera.
“Eh? jadi julukanku bertambah?” tambahku agak grogi sambil melihat mata – mata yang tajam seolah segerombolan serigala. “Ka-kadang – kadang aku harus memanjakan lidahku, kau tahu? Seleraku tidak pernah seburuk itu. Benar kan, Verdamant sang ratu keindahan?”
Aksenku kubuat sedikit terlihat membanggakan diri.
“Sudah kuduga, Keymark, seorang aktor. Aku tahu kau berpotensi. Ratu Verdamant mengakuimu, ahohohoho!” tambahnya, “Aku tidak tertarik dengan yang berlemak, tapi susu kotak itu bagus untuk diet.”
Verdamant tidak menjadi kartu as ku sekarang. Hidangan pada piring mereka seperti tidak ada gunanya, sebagai gantinya, aku memperketat kuda – kudaku.
“Ti-tidak mau, loh! I-ini uangku yang kusimpan demi tidak membeli majalah!” kakiku agak mundur, tanganku mengamankan sepaket harta karun itu. Nadaku khawatir. Aku tidak biasanya dengan sifat yang lebih condong plegmatis.
“Letnan Rodriguez, silahkan melapor!”
“Siap, Komandan Roddy! Pukul 15.00, terdakwa di korridor D, bagian depan. Laporan prediksi sebab akibat, pak!. Romantisme, Keymark, chien renifleur, pernah menggendong gadis tidak bersalah itu. Status bersalah!”167Please respect copyright.PENANAiDl5HLFNab
167Please respect copyright.PENANAKvunx8UJnZ
“Anak iblis kau, Rodry!”
Sialnya aku tak pernah ingin terlibat dengan drama konyol atas nama kesetiakawanan yang tolol ini. Alarm – alarm kecemburuan bahkan melebar pada gadis – gadis. Masalahnya sebaik apa mata – mata mereka, huh? Atau Elysa yang kurang berpengalaman mencari tempat yang kurang sepi?
“Nah, nah, bagaimana ini, Keymark si chien renifleur? Kau ingat kata – kata yang sangat menginspirasi kesetiakawanan? Satu untuk semua?”
Aku tahu, Sonia gadis tolol.
Kutimpali dengan sikap kepercayaan diriku.
“Tidak – tidak, Roddyku sayang. Kau tahu? Semakin besar hadiahnya dihitung dari seberapa besar usahamu, kan?” tambahku menambahkan aksen puitis ala memelas, “Kau tahu, kan? bagaimana usahaku merayu, Beagle? Tidak hanya sepatu, aku dipukul tas kecilnya yang menyimpan sekitar lima kilogram. Memar sebulan sudah cukup membuatku susah makan, bukan?”
Mereka melihat satu sama lain. Mata mereka terlihat iba. Aku tahu meskipun mereka ini tolol, tapi pikirannya cukup dalam untuk memahami orang lain.
“Kau benar, teman kita, Keymark, menjalani hal – hal yang sulit.” Kata Roddy pada semua yang terlihat seperti siluet serigala itu.
Tidak dipungkiri, hari ini ia seperti pahlawan. Mungkin.
“Jadi, kau mengertikan, Roddy?”
Ia mengangguk. Perasaanku mengatakan mereka adalah pemaaf.
“Satu untuk semua!” Teriaknya memerintah.
Baik, aku ulangi, aku menyesali, mereka pendendam.
Mereka seperti semut – semut yang bergerombol dan terstruktur, sementara aku dikerubung bak sisa hidangan di pojokan lantai.
Masalahnya mereka ini binatang. Langkahku masih memprediksi, untungnya gerak reflek tangan dan mulutku yang cepat dan saling berhubungan. Salah satu dari isi paket tersebut kulempar, siasat mengurangi musuh yang tidak perlu. Sisanya para pecundang ini.
“Awaghbelugebegebeg,” mulutku melahap semua roti isi itu dengan paksa, sampai pipiku terlihat seperti babi rakus, sebelum akhirnya mereka menarik dan mendorongku. Masalahnya dua hal. Yang pertama itu adalah pemberian gadis, yang kedua itu seperti emas. Itu seperti mimpi mereka yang kulewati sedemikian langkah.
Sisanya kau pasti bisa simpulkan. Insiden langka yang tidak disangka. Kadang – kadang kawanan tolol ini tidak bisa kau permainkan.
-------------------- 15 MINUTES LATER -------------------
“Baiklah, kita sepakat untuk hadiah pertama!”
“Well, setidaknya itu membantu visi dan misi. Lagipula, itu seperti benda yang mendatangkan kemudahan dan mobilitas.” Kata Pebble dengan bijak walaupun tidak sering.
Aku dari kejauhan mendengarkan hal itu samar - samar, lagipula mereka mengikatku di pohon apel. Bercandaan mereka sudah kelewatan, tapi mereka ini masih kawan. Untungnya pohon apel itu dekat dengan kios makanan. Pemiliknya adalah Nyonya Edelweiss. Wanita parubaya, sekitar 50-an, dengan celemek putih, dan daster biru muda ala sebayanya, menjual burger dengan harga murah. Bukan berarti dengan harganya yang murah kami yang selalu menolak dengan jatah makanan harian yang rasanya cukup jelas, menyedihkan. Lalu uang harus dilarikan ke kios Nyonya Edelweiss. Lebih seperti merayakan kecil – kecilan , seperti weekend, kami biasanya berdiskusi mampir di kiosnya. Harganya lebih murah, tapi soal rasa satu tingkat diatas roti isi yang kumakan dengan paksaan tadi.
“Mereka memang teman yang baik, eh?” Bibi Edelweiss melepas ikat tali dari kawan bodoh yang membelitku.
Setidaknya setelah mereka pergi, tentu saja Bibi tidak termakan kata – kata bocah tengik. Dan mungkin aku memanggilnya bibi, karena melarangku menyebut nyonya. Katanya itu seperti masih memisahkan jarak. Beliau orang yang supel dan sangat ramah bagi anak – anak muda.
“Entahlah, aku tidak merasa demikian. Mereka hanya menyetandarkan berdasarkan apa yang mereka rasakan. Kadang – kadang usaha lebih tidak dipandang daripada hasil.”
Aku merasa lega. Karena itu orang ini sepertinya menjadi titik amanku saat ini.
“Usaha? Sesuatu yang tidak pernah kupikirkan, lagipula itu tidak jelas bentuknya. Yang mereka irikan adalah garis keberuntunganmu,” tambahnya setelah menyembunyikan tali itu di dalam kiosnya. “Nah, setidaknya kau cukup beruntung di umuranmu, nak.”
“Yeah? Tempat yang setidaknya replika dari sebuah penjara kriminal kelas atas? Apa yang kau temui dari sesuatu yang dikucilkan, bahkan secara dilegalkan untuk mengubur aib?”
Aku duduk di salah satu, dari dua set berisi satu meja melingkar dan lima kursi kayu. Well, bangku warna hijau enak dipandang, kupilih itu.
“Tidak seburuk itu kurasa. Oh, oh, tunggu sebentar,” wanita itu bergegas mengambil sesuatu dari kiosnya.
Aku sebenarnya merasa tidak sungkan.
“Tidak usah repot – repot, bibi Ed.”
“Apa? tidak, tidak!”
Ia menuangkan the dan memberiku biskuit coklat.
“Tidak maksudku, burgermu saja, itu lebih baik.”
Candaku padanya.
“Heh, kau bisa bercanda juga, nak?” tambahnya sambil duduk.”Ngomong – ngomong, kau tidak berbuat sampai senakal itu, kan?”
Aku menceritakan sejelas – jelasnya.
“Berarti ini tentang keberuntunganmu, nak!’ tambahnya, dengan seru mengobrol. “Bila aku pria seumuranmu, aku juga melakukan hal yang sama. Bagaimana aku mendeskripsikannya? Seperti statusmu sama, tapi kau terlihat lebih baik sedikit. Ahahaha wajar sih!”
“Hey tidak ada yang lucu bila aku terikat sampai malam! Itu akan terdengar lebih menyedihkan ceritanya bila yang melepasku si anjing galak itu!”
Kata – kata seumuranku memang tidak terkontrol, perilaku yang tidak stabil, di umuranku yang segini.
“Caulburn, huh? Sebenarnya dia tipikal wanita yang saat ini kusesali karena dulu aku membencinya. Kau tahu? Kadang ketika membenci seseorang hanya karena keegoisan, itu justru tidak baik. Karena saat kau mencapai umur tertentu, mulai punya keluarga, kau akan merasakan betapa bodohnya dan perilaku saat itu kau sesali. Bahkan kau tidak akan menyangkal kalau itu adalah salahmu sepenuhnya. Jatuhnya? Karma. Biasanya bila tidak anak keturunanmu yang membalas, berarti cucumu.”
Aku membalik – balikan sendok setelah mendengar sedikit ceramahnya. Kira – kira ada benarnya, pepatah lama, semakin tua semakin menelan garamnya kehidupan.
“Well, setidaknya Caulburn tidak usah terlalu ketat. Aku sangat setuju kalau itu anak SMP. Tapi kalian ini SMA. Beda zaman, beda cara, benar? Masa SMA katanya yang paling indah, kan?”
Itulah yang kusuka dari Bibi Edelweiss. Setelah melakukan fakta tabunya, ia juga melontarkan pengalaman murni. Kesannya tidak terlalu menggurui, cukup adil bagi seorang penasihat. Mungkin itu adalah pengertian dari kata bijak?
“Tidak sepenuhnya tepat. Tapi itu akan terdengar lebih realistis,” lalu tambahku mengucap terima kasih dan kembali ke asrama kamarku.
--------------------- A MOMENT LATER --------------------
Kembali ke kamarku, setelah aku bertemu Verdamant dan Pebble yang meminta maaf atas kegaduhan yang mereka ikut serta. Mereka menungguku di depan pintu kamarku, cukup melegakan. Sejujurnya aku tak mengambil itu dalam – dalam atau hal yang seserius itu, tidak membuatku sentimen. Tapi kamar ini, sama sekali tidak memiliki nilai sentimental.
Sebuah pintu, Tembok putih, Tempat tidur, Jendela yang baru saja diperbaiki, dan lemari yang mungkin saja lupa kusebutkan. Hari itu rasanya tidak bisa dibangunkan lagi kepalaku yang telah menyentuh kasur dengan bantalan standar. Entah kenapa, aku masih kepikiran beberapa hal, namun tidak menyadari apa yang penting.
“Sebuah hari yang… cukup bervariasi, eh?” tangan kanan kuangkat, jariku membuka. “Elysa… bantuan… Roti isi… Kata – kata bodoh untuk orang tolol… Kalimat bijak… Bibi Edelweiss….”
Setelah itu kupejamkan mataku erat – erat, tanganku pun diturunkan dengan lemas. Ah seperti katanya, ‘Masa muda adalah masa yang terindah.’
Bila itu memang merupakan klise pada catatan ini, aku dengan senang menerimanya.
Atau?
Itu awal ditulisnya bab baru.
Yang berarti, ini adalah batas yang tak terbatas.
***
ns 172.69.59.183da2