“Hey, Rod!” aku berusaha mengatur nafas. “Plan B…. Bukannya tadi… kau belum jelaskan?”
“Lakukan apapun itu.”
“Apa kau tolol?”
Aku menoleh ke belakang. Rasanya agak sedikit lega mengingat kami telah jauh pergi. Kira – kira telah melewati jalan – jalan kecil, perempatan yang bila belok kiri kau bisa temukan kedai kue murah, dan baru saja kami melewati kuburan.
Aku bisa tahu keringat yang bercucuran itu, wajahnya menandakan ketidaksanggupannya. Ia mulai mengurangi kecepatan.
“Dengar, tidak ada yang lebih tolol dari tanpa rencana?”
“Jadi ini kau anggap rencana?” protesku.
Ia terdiam sesaat.
“Tepat sekali. Inilah yang terbaik.”
Roddy temanku, hanyalah pria asal – asalan. Bila kau mendengarkan Plan A nya dari awal, itu lumayan mengesankan. Tapi aku bisa mengerti ambisinya, lebih tepatnya ambisi satu kelas, sepeda delapan pedal dan empat kursi itu masih tetap tidak tergantikan.
Kami berjalan pelan di gang – gang kecil, nafasku tak terlalu kuat.
“Kau tahu anak gondrong itu? Dua kelas di sebelah kiri kita?”
“Kelas C?”
“Yeah. Anak yang terlihat agak compang – camping itu, larinya super cepat!” Jelasnya dengan heboh.
Aku mulai mengira anak mana yang ia maksudkan. Ini tidak seperti aku mudah mengingat siapapun, lagipula berpikir jarang kulakukan. Well, setidaknya aku mulai mengerti bagian ‘compang – camping’ nya ini, kira – kira tingginya sama dengan Roddy. Hanya saja, wajahnya agak feminim.
Kelas kami adalah D, yang terburuk kurasa. Sedikit saja tentang Widehope, kami berada pada bagian belakang. Jadi bila kau melihat tampilan depan gedungnya di internet yang super megah, itu sisi depan. Tempat kami? Well, kau berjalan lurus melewati lapangan dan masuk ke ke koridor penghubung, keluar dari sana terdapat sebuah infrastruktur dilengkapi kaca dan kadang orang berbaju hazmat keluar dari sana. Lupakan dan lurus saja. Kalian akan menemukan gedung lagi, lebih tepatnya sebuah kawasan kecil. Gedung kelasnya dibagi menjadi dua, untuk kelas pengetahuan dan keterampilan. Mereka dua tingkat, namun hanya dipakai yang bawah. Pada akhirnya agak terbelengkai. Well, wajar saja, mereka hanya punya kelas 11, yaitu kami.
Di sana juga terdapat asrama yang mirip flat kecil dan agak kumuh, lapangan yang tidak terlalu lalu luas, koridor, dan lima toko kecil.
“Ah, Darent!” Ucapku bersemangat karena tidak biasanya otakku bekerja cepat tanpa menguras energi terlalu banyak.
“Nah, bingo!”
“Tolol sekali kau bilang compang – camping! Itu hanya sedikit berlumur cat. Dia ini pelukis!” sanggahku pada pernyataannya yang sedikit kurang sopan.
“Oh aku baru tahu dia pelukis. Tahu darimana kau?”
“Apa maksudnya itu? Mengingat kawan adalah motoku!” kataku merajuk.
Dia menggeleng jelas dengan ekspresinya wajahnya yang meledek tanda tak setuju sama sekali.
“Well, well aku tebak itu pasti perempuan dari kelasnya memberitahumu saat kau minta. Kau selalu menambah teman gadis, Mark! Kau ini populer sekali! Bahkan Verdamant pun kau ambil meski tidak ada yang memperebutkannya!” Celotehnya yang sedikit membuatku naik pitam
Aku meraih kepalanya namun tidak mengenai sama sekali. Langkah kakinya dipercepat.
“Nah begitu, aku tahu kau pasti bisa kalau mau. Masalahnya untuk permintaan seorang pria, kau ini tidak pernah mengusahakan.” Ejeknya.
Lariku semakin kencang setelah Roddy melontarkan omong kosongnya. Well, itu sedikit benar tapi terlalu vulgar bila itu diucapkan. Lagipula aku pengejar klise romantis.
Kupandangi sekeliling adalah wilayah hehijauan, rumput, pohon, dan kira – kira agak posisi menyamping itu adalah Sungai. Kucocokan peta yang ada di kepalaku, seharusnya kira – kira kami telah menempuh hampir separuhnya. Dari jarak yang ditentukan sekitar 10 Km, kami masih berada sekitar 4,8 Kmnya.
Sialan, tubuhku melemas, nafasku semakin sesak…
“Rod… Roddy… kita akan duduk sebentar!”
“Huh? Serius?”
Aku duduk bersandar di salah satu pohon yang tidak terlalu tinggi. Sambil mengusap keringat dan mengatur ritme nafasku.
“Hey, Rod, kukira aku melupakannya tapi kita sudah menempuh setengahnya, tak terlihat satupun pos untuk minum. Apa kita salah arah?”
Dia menggeleng tapi hanya diam saja. Perasaanku agak tidak enak. Tenggorokan rasanya sangat kering karena tidak mampir di satu pos pun. Masalahnya adalah si kawan tolol ini tiba – tiba memasang wajah konyol meminta maaf. Aku sangat mengerti makna wajahnya ini, dan mengapa terasa aneh. Wajah yang tidak tampak atas penyesalannya. Di otakku mulai tergambar hal yang sedari tadi kuingin sekali tanyakan tapi terlupakan.
“Jadi, sebenarnya peta tadi adalah Rute B?” Tanyaku nada merajuk.
“Hey ayolah, Mark! Ini untuk menjaga tiket kemenangan! Aku sudah mencari tahu semua kemampuan mereka. Ini mengejutkan mereka diatas rata – rata, kita tak pernah mendapatkan kesempatan sedari awal. Masalahnya adalah mengenai rasa antusias, tidak ada yang lebih baik dari kita! Itu pasti!” jelasnya dengan nada agak sombong.
“Kau tahu dari mana?”
“Rute B adalah yang tercepat, tapi tidak ada orang bodoh yang mau lewat bila tidak ada pos minumannya.”
Aku terperanjat, dia ini memang tolol.
“Demi tuhan, kau tolol Rod!”
“Plan B untuk Rute B? Itulah jawabannya,” katanya sambil ia mengangkat badannya untuk mulai lari. “Kau boleh istirahat kalau kau mau.”
Tapi tak disangka aku pun juga mengikutinya.
“Baiklah, baiklah. Aku tahu akan menyesali ini,” rintihku sambil memegang pinggangku.
Setelahnya, aku mengikuti dari belakang dengan energi yang seadanya. Kecepatanku juga tak sekencang itu, setidaknya aku merasakan hal yang sama pada Roddy. Jarak kami tidak terlalu berbeda, bahkan telinganya masih sanggup menangkap suaraku. Aku pikir dia ini juga mulai lelah.
“Biasanya pria jantan kadang tahu saatnya jujur.” Celotehku dari belakang.
Ia tidak menengok sama sekali.
“Huh? Oh… jangan khawatir, itu tidak benar.”
“Memangnya kau tahu apa yang hendak kupikirkan?”
Ia mengangkat bahunya.
“Menafsirkan isi otakmu tidak perlu menggunakan kemampuan Esper!” sahutnya dengan nada congkak. “Kalau peraturannya tidak dua orang, aku pasti sudah meninggalkanmu dari tadi!”
“Jika itu memang benar?”
Aku merasakan sedikit kekesalannya dari belakang, well, biarlah. Bukan berarti aku agak jahat, tapi pada kenyataannya ia menjahiliku terlebih dahulu. Roddy sudah seperti rivalku, dalam artian baik, dia ini selalu mencari muka dihadapanku. Kalau soal fisik, aku jelas tidak ada tandingannya. Begitupun juga soal otak, walaupun begini, aku tidak bisa diremehkan.
Kami mulai melewati kios – kios kecil dan lapangan yang menghubungkan dua jalur. Dari kejauhan jalur yang selain dilewati oleh kami, terlihat empat orang.
“Hey Rod, kukira kita jauh di penghujung?”
Ia juga menoleh dan memandang yang aku lihat.
“Posisi mereka masih terlalu jauh mengejar kita. Tenanglah, kita masih aman!”
Dari wajahnya yang sesaat itu, aku bisa merasakan ambisinya. Aku hanya menduga bila kami gagal, ia merasa jatuh. Itulah sebabnya selama dua tahun, rencana tololnya selalu kuusahakan berhasil. Aku terpaksa mengetuk pintu otakku, lalu memohon ide – idenya. Kalau kau tanya aku apakah lomba ini begitu berarti? Demi tuhan tidak! Dari 10 sekolah yang diundang, hanya dua dari mereka yang ikutan.
Lagipula kami hidup di zaman modern, daripada sepeda tolol delapan pedal, mereka akan antusias bila itu skuter elektrik untuk delapan orang. Maka dari itu, tidak salah bila kau menyebut Roddy terlalu bodoh dan memuakkan. Padahal bila hanya untuk sepeda itu, tentu dengan bantuan yang lainnya, mengorbankan jatah sebulan kami bisa membeli lima buah delapan pedal sepeda. Lagipula mengorbankan jatah tidak seperti kau kelaparan, hanya dipaksa memakan makanan menyedihkan itu.
Lalu apa masalahnya? Itu yang masih kucari tahu artinya sampai sekarang. Kenapa harus terlalu capek untuk hal yang bisa diselesaikan dari jalan yang lainnya, kan? Well, perdebatan seperti pernah terjadi dan itu sama sekali tidak baik. Aku bahkan tidak ingin membahasnya.
Kami akhirnya masuk di kota kecil yang berbilik – bilik kecil, garis menangnya adalah di tengah yang menyerupai luasnya aula. Aku mulai melihat banyak orang bersorak – sorak, entah dari guru kami, tapi aku tak menemukan Beagle. Yang jelas mereka seragam putih dan hazmat tidak di sini.
“Sudah dekat, Rod!”
Lariku semakin aneh, keringatku terus bercucuran dan nafasku terengah – engah.
“Yeah, paling tidak pertahankan ritmenya. Aku tahu kita pasti menang!”
Kejadian tak terduga, aku terjatuh. Itu lumayan menyakitkan, meninggalkan bekas yang cukup panjang. Mengingat jatuhnya dalam kondisi gerak.
Roddy berbalik arah dan merangkulku. Kami masih berlari.
“Tenang kita pasti menang!”
Aku melihat benang putih yang tinggal sejengkal.
Tiba – tiba dua orang melakukan lari sprint. Aku tahu pasti bakal terjadi hal seklise ini, strateginya adalah 500 meter sebelumnya tersimpan energi untuk 500 meter setelahnya.
Dengan bantuan sebuah ide dari isi kepalaku, kuusahakan posisiku lebih memanjang agar lebih mudah meraih.
Suara belakang kami semakin terdengar langkahnya bak kereta api yang akan melintas.
Kami sama – sama berteriak.
“SIALANNN!!!”
ns 172.70.179.98da2