Dengan terkesiap, pria itu berpaling pada Ren, mengangkat topi bowler hitamnya rendah dan balik sapa tersenyum.
“Anda juga akan menginap, sir?” tanya Ren. Ia penasaran mengapa pria necis itu tampak kebingungan. Maksud hati Ren adalah orang kaya seharusnya tak perlu terlihat senewen, lagipula menginap di manapun selama punya uang tak akan jadi masalah.
Sementara Grunt dan Sistine lebih tertarik dengan mata malas pria itu. Ditambah senyumannya yang sederhana membuat pandangan mereka sedikit berharap, bahwa orang necis ini adalah pria baik hati. Tampak lugu, dermawan dan mungkin saja mereka bisa sedikit minta tolong padanya.
“Oui, tapi….” Ia mengeluarkan sepucuk kertas itu dari jasnya. Pria itu mengerutkan keningnya. “Apakah daerah sini masuk Kenmore?”
Ren sebenarnya sadar kalau pria itu salah lokasi. Ia membaca sepucuk kertas tersebut tertulis, A827, Tathiana Kenmore Houses. Sementara kedua temannya sedikit kecewa karena pria necis itu tampaknya salah tempat, buta arah. Sistine berpikir di zaman teknologi dan peta online dari ponsel, masih saja orang tersesat?
“Ow, saya khawatir anda turun dari taksi terlalu cepat, sir?” tambah Ren. “Seharusnya anda masih lurus sampai danau Loch Tay tak terlihat, baru masuk wilayah Kenmore,”
Mereka kemudian melangkah ringan, mendekati vila besar itu sambil mengobrol sedikit.
“Non, non, non. Saya yakin diberitahu bahwa sebaiknya turun setelah melewati tiga penginapan. Di samping terdapat danau dan samping lainnya pohon dan…. Apakah ada kesalahan, mademoiselle?” tanya pria itu heran.
Tiga orang itu merasa heran saat Ren dipanggil sesuatu yang asing, mademoiselle. Apakah orang ini dari inggris? pikir Ren. Namun Ren lebih bingung dari keterangan pria itu yang tampak benar.
“W-Well, sejujurnya, setelah tiga penginapan, sepanjang jalan anda hanya akan menemui vila besar ini. Juga, benar kalau di samping kanan ada Danau Loch Tay…. Samping lainnya ada pohon…, itu juga benar. Dataran tinggi Perthsire…. Tapi kenapa alamatnya ditulis Kenmore…?” Jelas Ren ragu – ragu sambil menggaruk kepalanya.
Sepucuk kertas itu segera dikembalikannya, alis pria itu nyaris bersalaman. Ia kehabisan jejak.
“Well sir, mungkin saja teman anda keliru menuliskan alamat?” Grunt angkat bicara.
“Hm… katakanlah apakah seorang dokter bedah yang telah pernah bolak – balik di seluruh Scotland karena urusan pekerjaan, kemudian ia menuliskan alamat dengan salah fatal?” ucap pria itu dengan curiga.
Mereka berhenti sesaat, tepat di perut tengah pekarangan yang jembar itu.
“Agaknya memang mustahil, sir,”
“Ketelitian adalah kemampuan dasar alami pada gelar dokter bedahnya, tapi yang membuatnya mustahil adalah Scotland sudah seperti rumah keduanya,” celoteh pria itu.
“Hey, paman. Saya ragu mengatakan ini tapi, bukankah itu mungkin kalau teman anda saat ini tertawa di belakang?” ucap Sistine meringis, ia hanya berkelakar.
“Maksud anda, dia sengaja melakukan hal ini?”
Pria itu kemudian melangkah duluan dengan wajah kecewa dan sebal. Urat – urat di lehernya menghiasai kulit kepalanya yang merah padam.
Ren berpikir Sistine agak keterlaluan.
“Sis, kenapa kau bicara begitu?” seru Ren kecewa, lalu berpaling pada Sistine. Sementara Grunt mendahului dua wanita itu, menggeleng sebentar menatap Sistine, lalu menyusul pria necis yang tampak marah itu.
“Ma-maaf…” ucap Sistine menyesal.
Ren segera menyusul Grunt, sementara Sistine mengekor di belakangnya.
“S-sir, tunggu sebentar, teman saya tidak bermaksud. Ia hanya bertanya seenak jidat.” Grunt seolah mengabaikan beban di pundaknya, lesat berada di belakang pria itu.
“Oh, non. Saya hanya marah pada kemungkinannya. Padahal dia sendiri yang mengajak,”
“Kalau boleh tahu, apakah teman anda wanita?” tanya Grunt penasaran. Seolah menyamakan nasib dirinya dan pria itu.
“Oui, kenapa anda bertanya seperti itu?”
“Sudah saya duga, wanita memang begitu…” Grunt tiba – tiba sekejap mengakrabkan diri pada pria itu. Sebuah hubungan yang terbentuk singkat karena sebuah pengalaman yang sama dari dua pria. Percakapan mereka sedikit terdengar oleh dua wanita itu. Ren dan Sistine seolah merasa bersalah, ia tidak punya alasan mengkritik Grunt.
Mereka akhirnya telah berada di teras bangunan megah itu, menghadap ke kusen dua pintu. Pintu warna coklat kokoh dengan ukiran rumit dan dua buah kaca yang tidak tembus pandang dengan gambar bunga.
Pria itu memencet bel dekat pintu. Sedikit lebih lama sekitar semenit, seseorang membukakan pintu namun hanya seperempatnya. Seorang wanita berambut pendek keriting coklat dan manik matanya kuning hijau, pandangannya berkesan kurang ramah. Kepalanya mengintip dari celah pintu.
“Ya, ada yang bisa saya bantu?” Wanita itu bersuara pelan, menatap mereka dengan tatapan kosong. Grunt berpikir bahwa kehadiran mereka berada hanya pada dua hal, tidak disambut atau mereka salah paham.
“Pardon, kami hendak menginap di tempat ini, apakah masih ada kamar yang tersisa?” tanya pria necis itu, sambil mengangkat rendah topi bowler hitamnya.
Wanita itu bergumam sebentar, lirikan matanya tampak mengarah ke kiri. Sebenarnya wanita itu melirik ke belakang, seolah ia butuh izin dari seseorang. Mulutnya susah menolah saat melirik pada koper hitam beroda milik pria necis itu, juga pada tiga orang yang membawa tas masing – masing.
“Maaf, sebenarnya… kalian sedikit salah paham…. Ini rumah milik Lady De Polcester, bukannya penginapan. Anu…,” ucapnya sedikit lebih memanjang dan terdengar agak kurang yakin. Cahaya oranye bersembunyi dari pohon – pohon sesaat menyinari mata wanita, itulah penyebabnya. Lanjutnya, “Tapi kami… tak keberatan bila kalian menunggu… di teras untuk taksi…?”
Ren dan Sistine sedikit merasa terganggu dengan cara wanita itu berbicara yang memanjang tak berarti. Ditambah penampilannya yang datar, ia mirip sebuah robot.
“Eeeee, ayolah. Masa iya vila sebesar ini tidak disewakan? Kami tak keberatan kalaupun Bnb, sih. Lagipula tempat ini punya delapan kamar, saya kira?” ucap Grunt sedikit lancang. Itu sah – sah saja, karena pria itu harus mengistirahatkan tangannya.
“Salah, enam belas. Um… kira – kira itu adalah keputusan final. Ada lagi?”
“E-enam belas?!” Grunt terkejut.
Pria necis itu sedikit memasang wajah masam, namun ia sepertinya mengerti posisi wanita itu. Ren dan Sistine tampak khawatir.
“Sangat baik, mademoiselle. Bila itu diizinkan, bolehkah kami dipertemukan dengan pemiliknya?” tanya pria necis itu dengan sopan.
Grunt dan Sistine kompak mengangguk, sementara Ren sedikit terkejut. Ia pikir wanita yang tatapannya kosong itu adalah pemilik mansion megah ini.
“Maaf, tidak bisa,” Wanita itu menjawab yakin, terdengar sedikit lebih tegas. Sorotan matanya menajam, Ren sedikit merasa ngeri.
“Agnes!” Tiba - tiba suara wanita terdengar memanggil – manggil, menggema dari dalam.
Suara langkah kaki terdengar semakin mendekat. Hingga wanita itu berbalik ke belakang.
“Ya…, mam?”
“Bukalah pintunya sebentar, blimey gadis ini!”
Kusen dua pintu itu akhirnya dibuka lebar, seakan mereka mempertimbangkan lagi empat orang tamunya. Tampak dua orang memakai pakaian yang sama, pakaian dress one piece hitam dan apron putih sampai kaki. Yang satunya berada di umur sekitar dua puluhan, sedangkan yang berumur sekitar enam puluhan rambutnya dikuncir simpel dan pendek.
“Ow, selamat petang!” Wanita itu tersenyum lebar, manik matanya bulat biru abu – abu memandang ramah. “Ada yang bisa kami bantu?”
“Kami pikir mansion besar ini penginapan, Nyonya,” ucap Ren mendahului.
Ren memperkenalkan diri, mereka bertiga adalah mahasiswa universitas seni di daerah Aberdeen. Ia mengatakan bahwa tujuannya mereka bertiga saat ini adalah berlibur dan ingin melukis pemandangan sekitar hutan dan danau Loch Tay. Masalahnya karena kurang memperhatikan waktu dan perkiraan, hingga berjalan selama tiga jam dan sama sekali belum mendapat penginapan.
“Ohoho, berarti pria ini adalah…,” Wanita lansia itu menebak – nebak pikirannya, menyorot pria necis itu dengan heran.
“Ah, non, bukan pengajar. Saya hanya pria yang tersesat,” pria itu tersenyum agak dipaksakan.
“Tersesat? Anda turis asing?”
“Dari Cambridge. Saya hanya kebetulan bertemu mereka,”
Wanita lansia itu mempersilahkan mereka masuk. Sambutnya sambil menjelaskan bahwa tempat ini memang bukan penginapan, tapi kedepannya berencana untuk memulai bnb. Bnb (bed & breakfast) adalah layanan penginapan. Bedanya adalah, pemilik bangunan tinggal seatap dengan pelanggan.
Tampak lantainya terbuat dari keramik mahal bermotif mosaic, begitu pula dengan temboknya yang berwarna biru muda penuh kilatan. Pria necis itu sedikit terkejut saat katanya rumah itu menggunakan dinding dengan material baja. Ketiga orang itu tampak tertarik dan tidak sabar menunggu kamar – kamar mereka.
Kecuali Ren. Ia merasakan tatapan yang membuatnya tak nyaman dari belakang. Saat ren memalingkan ke belakang, wanita yang meratap kosong itu memandangi mereka tanpa berkedip.
ns216.73.216.237da2