......
Miya telah berdiri di depan tempat tidur yang dikelilingi oleh kain gorden berwarna biru langit yang berada tepat paling ujung kiri, tempat dimana manusia itu berada. Tangannya tetap saja gemetaran walaupun suhu di dalam ruangan itu terasa hangat. Sepertinya telah diatur sedemikian rupa untuk menjaga suhu tubuh manusia itu. Miya menarik nafas pelan, berusaha tenang. Inilah saat-saat yang telah ia tunggu, inilah saat saat yang telah ia persiapkan sebelumnya.
Ia lalu berjalan pelan, menyingkap gorden biru langit itu menampakkan seorang manusia dengan tubuh kecil di atas tempat tidur. Hampir seluruh tubuhnya tertutupi oleh selimut, menyisakan tangan kanannya di luar untuk menancapkan selang infus. Di sekitar tempat tidur itu muncul beberapa proyeksi yang masing-masingnya menunjukkan kondisi manusia tersebut entah itu detak jantungnya, suhu tubuh dan beberapa lainnya. Miya menatap sekilas proyeksi yang menunjukkan detak jantung manusia itu, bentuk zig zag di antara garis, yang tak lama lagi hanya akan menyisakan garis datar.
Miya berjalan ke sisi kiri tempat tidur, menatap wajah manusia yang masih tak sadarkan itu. Jantungnya berdebar kencang, lebih kencang dari sebelumnya. Tangan kirinya semakin erat memegangi telinga kirinya, sementara tangan kanannya mengangkat tinggi pisau di tangannya. Cukup satu ayunan saja, satu saja, maka mimpi buruknya akan hilang, akan hilang selama-lamanya.
Namun itu semua tak semudah yang ia pikirkan. Tangan kanannya yang sedari tadi berada di udara tak dapat ayunkan turun ke arah manusia itu. Sesuatu menahannya, entah itu akal sehatnya atau hati nuraninya, Miya tak tahu. Namun ia telah berada disini, tak mungkin ia akan mundur. Ini demi keluarganya, demi orang-orang yang ia sayangi, pikirannya masih mendorongnya.
Nafas Miya memburu, detak jantungnya semakin kencang, tangan kanannya semakin tinggi ke udara. Miya menahan nafas, tangan kanannya meluncur turun ke arah manusia itu. Inilah akhirnya.....
INILAH AKHIRNYA!!!
..........
....
Sebuah kilatan cahaya membias ke arah Miya, mengaburkan penglihatannya. Tangan kanannya berhenti hanya beberapa senti dari tubuh manusia itu. Miya menatap sumber kilatan cahaya itu, sebuah cermin tua berwarna pink milik Ella yang ia sembunyikan beberapa hari yang lalu.
Miya terpaku. Matanya membulat tak percaya. Bukan karena cermin itu, melainkan sosok pantulan dari cermin itu. Miya melihat dirinya nampak ganas dan beringas, tak ubahnya dengan manusia-manusia yang menyerang membabi buta keluarganya dulu. Apakah ini yang ia inginkan? Menjadi sesosok yang bahkan lebih beringas dari manusia yang menyerangnya dulu?
Tangannya gemetaran. Ia melempar pisau di tangannya itu jauh ke seberang ruangan. Kakinya lemas membuatnya terduduk di samping tempat tidur itu. Tak terasa bulir demi bulir air mata jatuh dari pelupuk matanya, membasahi bulu putih di pipinya. Miya menangis keras, sekeras mungkin. Ia mengutuk dirinya yang tak ubahnya mahluk ganas nan beringas. Ia hampir saja melakukan sesuatu yang akan ia sesali selama hidupnya.
Tangisannya semakin keras dan keras, meluapkan segala emosi yang terpendam dalam dirinya. Mengapa roda takdir begitu kejam menguji dirinya!? Kalau begitu mengapa ia tidak mati saja bersama dengan keluarganya!?!!
"I....bu..."
Suara pelan nan halus menggema disela tangisan Miya. Suara itu berasal bukan dari Miya. Suara itu berasal dari depan Miya, dari mahluk yang Miya hampir tikam itu. Matanya terbuak pelan, menatap Miya lemah. Manusia itu mencoba mengangkat tangan kirinya pelan namun berhenti di tengah-tengah, kemudian beralih mengangkat tangan kanannya mencoba meraih jauh ke arah Miya.
Miya menutup mata, pasrah akan hidupnya. Ia sudah tak perduli lagi dengan dirinya, jika memang ini adalah waktu terakhirnya maka biarlah. Biarlah ia pergi berkumpul dengan keluarganya di langit.
Tangan manusia itu menyentuh wajah Miya pelan, membuat beast man kucing itu sedikit tersentak, walau begitu ia tak bergerak dari tempatnya. Tangan manusia itu mulsi mengusap pelan pipi Miya yang basah itu, kemudian menyeka pelan air mata di pelupuk matanya.
"Ja...ngan...me...nangis.......I........bu......"
Ucapnya lemah dengan penuh kehangatan. Tubuh Miya yang sedari tadi menggigil perlahan mulai menghangat. Tangan kiri Miya perlahan melepas genggamannya di telinga kirinya, kemudian beralih menyentuh pelan tangan kecil manusia di pipinya itu.
Tanpa Miya sadari, ia mulai mendengkur pelan. Dengkuran yang sama seperti kala orang tuanya membelainya pelan, perasaan hangat di setiap belaiannya. Tangan kecil manusia itu terus membelai pelan pipi Miya, hingga akhirnya ia kembali terlelap. Miya menahan tangan kecilnya agar tak jatuh ke lantai, dengan pelan ia menaruh nya kembali ke tempatnya semula. Miya menyadari tak adanya benjolan dari selimut yang berada di tangan kiri dari siku hingga jari manusia itu. Dibandingkan dirinya yang hanya kehilangan 1/3 dari telinganya, manusia itu pasti memiliki hidup yang lebih sulit darinya.
Ia mengecup pelan kening manusia itu, memberikan ucapan selamat tidur padanya, kemudian berdiri dari tempatnya. Ia kembali menatap pelan cermin pink milik Ella di dinding itu, menatap kembali sosok rupanya sekarang. Menatap pantulan wajahnya yang kini nampak tenang, nyaman, ceria seperti dirinya sebelumnya.
Sebuah perasaan baru muncul dalam dirinya, mengubah rasa benci dan ketakutannya terhadap manusia menjadi perasaan yang ingin melindungi manusia itu, anak itu. Bukan sebagai permintaan maaf, melainkan karna ia melihat dirinya dulu dalam anak itu. Seorang anak kecil biasa yang terjebak dalam roda takdir yang begitu kejam. Layaknya ayah angkatnya, Professor Eros menyelamatkannya dulu, kali ini ia yang akan melakukan itu. Ia yang akan melindungi anak itu dari kejamnya takdir yang kelak akan datang. Miya berjanji pada dirinya.
..................
Pintu ruang perawatan terbuka pelan. Eros, Dana, Ella dan beast man lainnya mendongakkan kepala, harap-harap cemas dengan apa yang ada di dalam.
Dari balik pintu, Miya berjalan pelan. Pakaiannya berantakan, kusut sana dan sini, matanya sembab dan merah, pipinya basah bekas air mata, namun ekspresi wajahnya nampak tenang dan sedikit lebih ceria.
"Mi-Miya..... a-apa kau....." Dana bertanya sedikit patah-patah.
Miya menggelengkan kepalanya pelan.
"Tidak...." Jawab Miya singkat. Ia menundukkan kepalanya pelan.
"Aku ingin meminta maaf atas kekacauan yang aku buat. Aku minta maaf..." Ucapnya dengan kepala tertunduk.
"UWAAAHH!! MIYA!!!" Beast man badak yang hampir 2 meter itu berlari ke arah Miya kemudian memeluknya erat, membuat beast man kucing putih itu hampir saja terjatuh dan tertimpa oleh tubuh besar ayah angkatnya itu. Untung saja Ella dan Dana tepat waktu menahan tubuh Eros itu.
Setelah bebas dari pelukan ayah angkatnya itu, giliran Miya yang berlari ke arah Dana dan Ella lalu memeluk mereka berdua erat. Tak terasa air mata Miya kembali menetes. Setelah pelukan itu Miya mundur perlahan kemudian menarik perhatian semua yang ada.
"Manusia itu, tidak, maksudku anak itu, pasti akan memiliki hidup yang akan sangat sulit di kemudian hari. Mewarisi sejarah ras yang telah memulai perang ke tiga, sebagai ras yang telah menyebabkan begitu banyak korban jiwa, tentu banyak yang menyimpan dendam terhadap ras nya. Namun bagiku, ia hanyalah anak kecil biasa yang saat ini terjebak dalam roda takdir yang kejam. Maka dari itu, mulai saat ini, Aku ingin melindunginya. Aku akan melindunginya..." Ucapan Miya menggema. Matanya menunjukkan kesungguhan diri. Tak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya.
.........
32Please respect copyright.PENANAJilM2q0aYj
32Please respect copyright.PENANAHgNBAcny2P