Ini sangat buruk. Yang mana hal ini tidak boleh terjadi yang kedua kalinya. Melindungi sesuatu selalu membutuhkan pengorbanan yang berdarah – darah. Misalnya, image-ku sendiri.
Disko yang kami naiki beberapa saat yang lalu tidak jauh lebih buruk dari tiga wahana yang kami naiki setelahnya.
Setelah wahana dengan rel menyerupai huruf “U” dengan kursi memutar, Disko, Feline kembali mengajakku naik ke mimpi buruk pertama.
Mimpi buruk pertama adalah Flying Dumbo. Penampilannya cukup menipu seperti wahana anak – anak, kartun gajah lucu dengan warna - warni. Tempat duduknya hanya cukup dua orang, sebanyak dua belas gajah warna – warni.
Cukuplah dengan gajah warna – warni itu, wahana itu sendiri bila dilihat dari fasadnya menyerupai tangan gurita. Dua belas tangan yang menyerupai tangan gurita terhubung dengan gajah warna – warni sebagai kursi penumpangnya. Wahana itu berputar dengan cepat sembari ketinggiannya bertambah dan menurun. Seolah kami naik di baling – baling helikopter daripada pesawat terbang.
Kemudian tidak berhenti sampai di sana, lanjut lagi kami naik wahana yang sempat aku berpikir negosiasi untuk tidak naik. Ingat Disko? Adalah hasil negosiasinya. Sehingga menuju ke mimpi buruk kedua.
Meski antrian cukup panjang, aku seperti menunggu kematianku sendiri. Grogi dan dag dig dug lebih tepatnya. Begitu sampai di leher antrian pos masuk, rasanya mau pingsan. Besar – besar dan gagah tertulis di leher besi tengah, “Pendulum”, yang menjanjikan membawa penumpangnya dalam atraksi yang kelewat mengguncang. Aku lebih suka menafsikarnnya, wahana gila dan mimpi buruk.
Kau mendapatkan putaran paksaan, Olang aling dari langit, serta teriakan – teriakan seru padahal aku bisa tahu kalau mereka itu ketakutan, dan-momen yang susah dilupakan. Momen indah, atau aku lebih suka orang medis menyebut itu dengan Trauma. Mengapa begitu? Karena dari itu semua dilakukan di ketinggian 15,5 meter.
Trauma dari mengantri dan trauma setelah menumpang. Trauma ketika naik seolah perutku seperti blender yang terus dinyalakan. Jantung rasanya mau melompat duluan, bahkan imajinasiku mengatakan bahwa aku akan jatuh. Meski pengamannya terbilang aman dan memenuhi standar, orang sepertiku tetap mempercayai diri sendiri. Kesempatan untuk jatuh selalu ada, begitulah pikiranku berpikir.
Apakah sudah berhenti sampai di situ? Ya itu lah yang kutanyakan dalam benakku saat itu. Apakah ini akan berakhir? Tentu belum.
Wahana bernama “Pendulum”, seperti jarum pendulum yang penumpangnya duduk melingkar, wahana yang gerakannya mengayun ke kanan-kiri dan memutar lalu tepat di tengah tulisan “Pendulum” terdapat engsel yang tiangnya bisa bergerak seperti kincir ria atau Ferris Wheel namun dengan kecepatan yang sangat cepat.
Wahana Pendulum itu sebenarnya ada kesamaan dari wahana yang sebelumnya. Itu punya sensasi seperti Disko karena kursinya dibuat melingkar dan bergerak memuntar, serta pengalaman mengambang di udara layaknya Flying Dumbo. Sebenarnya itu memberikan pengalaman seolah atraksi di udara. Ketika wahana bernama Pendulum itu yang begitu kompleks, masih ada yang jauh lebih buruk?
Well, ucapkan selamat pada “Sky Drop”. Yang sebelumnya pernah kusebutkan saat hendak menuju wooden coaster, wahana setinggi 22 meter. Percayalah padaku, ucapkan selamat pada Sky Drop, dan semoga selamat atas keselamatan siapapun.
Kalau Disko memberikan pengalaman yang tidak terlalu menegangkan dengan memangkas fitur dari Pendulum. Dan Flying Dumbo, pengalaman seolah mengambang di udara karena tangan gurita besar yang memutar dan menaik turunkan ketinggian. Secara halus, mirip naik pesawat terbang era klasik atau baling – baling helikopter. Sementara Pendulum gabungan dari keduanya, maka Sky Drop tidak seperti mereka.
Sky Drop, membawa penumpangnya naik perlahan sampai puncak tiang dengan tulisan “Sky Drop” setinggi 22 meter. Di puncak kami memang diberkati dengan pemandangan indah Great Yarmouth dari ketinggian ideal. Meskipun, setelahnya adalah bagian dari mimpi buruk itu. Yang teramat buruk.
Sky Drop, membawa pengalaman penumpangnya seolah terjun bebas dari ketinggian 22 meter. Dari puncak, seolah pegas penahan dibuat tidak menahan sehingga tempat duduk penumpang yang dibuat memanjang sekitar 16 orang, tiba – tiba terjun dengan kecepatan kilat. Berlakunya hukum gaya gravitasi memang menyeramkan bila di ketinggian itu, 22 meter.
Ketika nyaris sampai dasar, seolah pegas dan penahan tiang itu dibuat erat lagi. Sehingga terjadi tekanan dahsyat yang membuat semua organ dalamku kehebohan entah girang dalam kepanikan, atau menangis dalam kegembiraan.
Dengan begitulah, barangkali tidak ada salahnya, fisik ini harus lebih lama mengandalkan kursi. Menyandar dengan lemas dan lesu. Kursi yang sama kududuki sebelumnya di dekat toko permen, namun bedanya saat ini kursi itu berhadapan dan terdapat meja persegi panjang dekat Food Court. Aku dan Feline hendak makan siang.
Padahal di hadapanku sudah ada kentang goreng dan ikan herrings tepung yang nikmat. Ditambah, Feline telah memesan milk shake. Semua yang menggiurkan seolah ditepis oleh rasa lesuku, perut mual, rasanya ingin tidur saja.
“Mau kusuapin, Tn. Cake?”
“Tidak usah, Feline.”
Feline mengambil dua suapan daging ikan tersebut. Aku bisa menyadari ekspresinya wajahnya yang begitu menikmati hidangan itu yang menjelaskan bagaimana kualitas makanan yang kami beli.
Well, karena Great Yarmouth ini terkenal dengan Ikan Herringnya. Jadi bisa disimpulkan Fish & Chips di sini semuanya segar.
“Ini enak loh!” #Munchmunch “Ayo, mau kusuapin?” Ia lontarkan pertanyaan itu lagi sambil nyengar – nyengir.
“Dengar kukang, ini akibat dari reseptor dalam perut bereaksi terhadap beberapa wahana tadi. Apa yang kau ketahui ketika asam lambung sedang naik – naiknya akibat terlalu banyak berputar, maka yang terjadi adalah zat kimia dalam perut harus dikeluarkan?” tuturku seolah aku guru sains. Well, aku memang mengerti sains, tapi tidak sekelas pengajar juga. Atau bahkan seorang tim ahli peneliti dan semacamnya.
“Ya, anda hanya ingin mual,”
“Jadi, untuk apa aku harus memakan sesuatu bila pada akhirnya ikut dikeluarkan?”
Feline menaruh garpu dan sendok, lalu menyedot susu kocok rasa strawberry.
“Ya, ya, ya saya minta maaf. Lagipula sampai kapan anda menunda makan? Kata Nona flemming, orang yang telat makan juga beresiko melukai lambung, loh,” katanya sambil memutar bola matanya, ia kurang serius meminta maaf.
Seseorang yang kami kenal, tiba – tiba ikut duduk dan menimbrung percakapan kami.
“Kalau anda merasa tidak enak bukankah sebaiknya ke klinik, Monsieur Keymark?” Pria itu duduk di hadapan kami sambil menaruh plater yang lagi – lagi pesanan yang sama, Fish & chips, namun bersanding dengan soda cola. “ Boleh saya duduk di sini?”
“Tidak ada alasan untuk menolak. Lagipula, platter anda sudah duduk lebih dulu, monsieur? Silahkan,” Aku memaksakan senyumanku di tengah kondisiku yang menyulitkan ini.
M. Marsh, pria berkepala licin yang rambutnya disisir belakang. Sebenarnya dari beberapa wahana sebelumnya, kami masih berpapasan dengan empat orang yang sama. Walaupun, kami naik di wahana yang berbeda, tapi sesekali saat di Skydrop, kami naik bersama – sama.
Setelah aku lemas naik Sky Drop, yang kulihat terakhir sebelum kami terpisah sekitar 15 menit, Mlle. Howell berada di pelukan M. Gill dengan lemas dan terengah – engah. Tampaknya kondisiku dengannya tidak jauh berbeda. Sementara M. Marsh dan Mlle. Voyless, seolah tak terpengaruh dengan wahana itu mereka tetap sediakala tak bergeming.
Aku tak menyangka bertemu M. Marsh di sini. Tapi tidak mengagetkan sih, waktunya makan siang. Hanya saja, daripada sepaket, kini M. Marsh sendirian.
“Ah, saya selalu menomorduakan pilihan itu. Ini hanya butuh beberapa waktu dan tidak akan lama.” Walau agak ngeri, aku mencoba menyeruput sedotan susu kocok coklat untuk mengecek apakah ini akan menganggu lambung atau tidak.
“Kemana Nona Voyles dan lainnya, Tn. Marsh?”
Seperti biasa, Feline selalu mengajukan pertanyaan to the point. Tidak biasanya seseorang mau menjawab hal itu, terutama tipikal yang penuh curiga, seperti Mlle. Howell kepadaku pada awalnya.
M. Marsh meneguk soda kola miliknya yang berukuran besar.
“Tiga orang itu punya jiwa muda yang membara dan lumayan tak kenal waktu.” Pria berambut sisir belakang dan tampak licin itu meraih kentang goreng meraih suapan pertamanya. “Kalau saya, semuanya harus serba konservatif. Jam makan siang, berarti harus makan,”
“Sekiranya anda punya penyakit lambung barangkali, monsieur?”
Ia menghelas nafas sesaat, sebelum mengambil potongan ikan dengan garpu dan pisau di hadapannya.
“Kiranya seperti itu. Saya juga tidak suka terlalu lama menghabiskan waktu untuk mengantri klinik,”
Kami mulai mengobrol. Sementara Feline tengah mengembalikan Platter miliknya karena dia makan sangat cepat. M. Marshal mengatakan bahwa ia adalah manajer di perusahaan jasa pembasmian hama seperti tikus, kecoak, dan urusan kebersihan yang bertempatkan di Norfolk. Entah mengapa, mulai ketika ia hendak makan siang, auranya sedikit berubah.
Aku bisa mengerti dengan ekspresi mukanya ketika makan. Kedua tangannya yang bergerak membiarkan pisau berdenting cukup keras pada piring, serta bola matanya yang amat tidak serius memandang hidangan yang terlihat nikmat itu.
Lebih tepatnya setelah M. Marshal mengatakan bahwa sebenarnya dirinya berada di tempat ini untuk sebuah negosiasi pada pihak taman bermain untuk urusan bisnis. Sore ini, M. Marshal akan menemui pemilik taman bermain The Great Yarmouth Joy Beach.
“Lalu tiga sahabat anda itu juga, Monsieur?”
“Ah, Nick dan Alwen tentu mereka ini murni sedang berlibur. Kami tidak satu tempat kerja,”
Aku mengangguk – angguk kecil tapi belum tentu paham. Aku hanya mengira – ngira, apakah mereka ini teman kuliah? Begitulah yang kutanyakan selanjutnya.
M. Marshal segera mempercepat tempo makan siangnya. Lalu, Feline datang dan duduk di sebelahku kembali.
“Kami kenal melalui hubungan yang unik….”
***
ns 172.69.59.44da2