Wanita yang memakai sweeter hitam seleher, topi beanie pink dan celana jeans yang selaras dengan warna topinya. Aku tidak menyangka dia memakai kaca mata bulat. Punya rambut abu – abu gelap yang lurus dengan bola mata hijau. Ia mengenakan tas selempang hitam kecil biasa.
Bila melihat penampilan wajahnya yang kalem saat ni disandingkan dengan pekerjaan yang ia lakukan agak kurang cocok. Tutur kata dan suaranya yang meski serak sesaat, ia tidak berdeham tiba – tiba sehingga barangkali dapat menyebabkan aku tersentak. Dia ini wanita yang sopan kalau aku boleh jujur.
Yah, sungguh disayangkan. Bila dunia ini lebih adil daripada sebuah neraca yang kiri kanannya memuat satu kilogram, maka mademoiselle yang baik hatinya itu akan bekerja di taman kanak – kanak, atau perawat rumah sakit atau bahkan pemandu wisata. Karir yang lebih baik, untuk pembagian waktu yang cukup dikatakan sehat.
“Nona, kau mengenal kami?” kekasih wanita itu, tampaknya terganggu dengan pernyataan Feline barusan. Yah, mau bagaimana lagi? Feline ini polos dan kurang cerdik. Bagaimana bisa dia menutup mulutnya dengan lengan kanan seolah melindungi nada bicaranya agar tidak keluar, sementara ia mengatakan itu dengan nada heboh?
Sesaat ketika pria itu memposisikan pandangannya terhadap Feline, aku mencoba membaca mimik wajahnya.
Pria itu…
Dia punya wajah yang mencerminkan sikap tenang, sementara ia terganggu hanya dengan perkataan Feline tadi? Instingku mengatakan seseorang yang tenang seharusnya melakukan pemilihan kata yang lebih tenang daripada ‘kau mengenal kami?’-misalnya menjadi ‘Apa yang bisa saya bantu?’
“Erm… sa-saya hanya-“
“Seperti yang nona ini katakan, monsieur. Kita selalu bertemu disela antrian. Dari mengantri karcis… sampai ke wooden coaster,” Aku mewakili Feline yang kini tengah tergagap. Pria itu menoleh ke arah kekasihnya lalu kembali ke kami dengan bingung. Pria itu hanya mencoba terlihat tenang karena kulihat ada sedikit sekat urat dekat lehernya.
“Dengan saya yang bernasib ambruk setelah naik wooden coaster, lalu bertemu nona ini di kursi dekat toko permen-nona ini dan anda punya peran yang sama seperti-jadi… bisa diasumsikan bahwa, ini kebetulan yang unik, monsieur,”
Ya…. Benar – benar kebetulan yang unik….
“O-oke… baik….” Kini mulutnya mulai terbuka senyuman setelah dua kali sentakan tawa kecil. Dua kali menoleh ke arah kami dan kekasihnya.
Seolah terlihat lega, tapi aku merasakan ia sedikit terganggu.
Pria itu, memakai blazer coklat dan mengenakan sweeter yang sama warnanya dengan celana panjang kainnya, berwarna hitam.
Pria dengan rambut pirang pendek yang memiliki poni menjuntai di kedua sisinya, kulitnya pucat terang, bermata ungu seperti velvet blue.
Harus kukatakan bahwa orang ini cukup pintar dalam memainkan suasana ekspresi di wajahnya. Dia seolah menampakkan semua citra wajah dari kekasihnya. Seolah menduplikat, walau tidak bisa dikatakan tidak mungkin kalau perangainya juga identik. Yang jelas nadanya tampak fasih dan lembut walau aku merasakan sedikit ketegangan darinya, walau aku merasakan sedikit keanehan yang aku belum tahu pasti apa itu.
“Apa sih masalahnya, hon? Ada apa?”
Pria itu, kemudian terbatuk – batuk juga. Yah, bisa dipahami, cepat atau lambat ia juga akan tertular. Apalagi pertama kali bertemu sudah suap – suapan permen kapas.
“Ah, sudah tidak apa, sweetheart.”Dari lengan kanan pria itu, memberikan botol yang amat familiar bagiku, sambil menyerahkan sesuatu dalam kresek. “Donatmu, barangkali?”
“Yeay! Ya ampun, kamu perhatian sekali, Nick!” dengan romantis, wanita itu mencubit ringan hidung kekasihnya.
“Apa yang tidak untukmu sih?” balas pria itu dengan lembut.
Sungguh, bahkan dari dekatpun aura keromantisan mereka membuatku eneg. Jangan salah, aku tak membenci nona itu. Aku hanya agak kurang nyaman dengan kedua mata mereka yang saling memandang seperti kristal yang mengkilat. Seperti sesuatu yang ditonton Feline.
Setelah meneguk isi botol itu secukupnya, wanita itu membuka kotak donat sambil memeriksa isinya. Sedangkan aku, masih melongo dengan botol yang dibawanya.
“Ah, ngomong – ngomong, terima kasih, sir.” Pria itu mengambil duduk di sebelah kiri kekasihnya. “Saya hanya terlalu khawatir…. Karena Alwen, bekerja di tempat yang banyak pria daripada wanita,” ucapnya.
Yeah cukup mengejutkan mendengar nadanya halus, namun bukankah dia barusan menuduhku dengan tipikal pria buruk yang ada dalam isi kepalanya? Pernyataan yang menusuk tiba – tiba.
“Ah, anda mungkin akan memanggil saya Keymark di kemudian hari,” Aku bergeser ke kanan mendekat padanya sembari bersalaman tangan. Feline duduk tepat di sebelahku. “Dan… ini adalah asisten saya, Feline,”
“Halo, maaf atas perilaku saya tadi membuat tuan dan nona curiga,” Feline berusaha untuk sopan.
“Sama halnya dengan saya yang menaruh curiga terlebih dahulu,”
Kami mengobrol sedikit. Mereka memperkenalkan diri. Si pria bernama Nick Gill, seorang teknisi mesin lepas. Sedangkan nona yang baik hatinya tadi, yang juga seorang kurir, adalah Alwen Howell. Meskipun pekerjaannya keras, Nona Howell menjaga wajahnya agar tetap lembut tanpa kerutan. Bukan karena perihal khusus semacam perawatan wajah atau kosmetik, namun karena murah senyum dan tampaknya orang yang mudah diajak pergi kemanapun.
Mereka mengatakan bahwa sebenarnya ada dua orang teman lagi. Sebenarnya mereka berempat melakukan kencan ganda. Walau, pria yang bernama Nick Gill itu tidak yakin dengan teman prianya yang tidak terlihat serius dengan kekasihnya.
“Ah, Monsieur Gill, mengenai yang anda katakan tadi-Nona Howell tadi ada bilang bahwa sebagai kurir kebanyakan temannya adalah pria-uhm…. Alors, apakah ini aman untuk sebuah asumsi bahwa anda khawatir soal itu?”
“Eh? Apa itu benar, Nick? Awwwwhhh~ so sweet!” Nona Howell mengapresiasi usaha pria itu.
“Y-ya mau bagaimana lagi? Mereka semua perhatian pada kekasih saya. Kalau kekasih adalah seseorang yang perhatian dengan orang lain, maka itu aman untuk sebuah asumsi bahwa mereka semua seperti kekasih Alwen. Bagaimana m-menurut anda, Tn. Keymark?” Ia menggaruk – nggaruk kepalanya dengan malu, sembari kekasihnya, Mademoiselle Howell, yang disaat bersamaan menjahili dan peduli padanya. Ia mencuilkan donat coklat dan menyuapi M. Gill, seolah sang ratu dan raja ketika di malam pertama mereka menikah.
Ya ampun! Mereka ini manis sekali! Saking manisnya, bisa – bisa setiap kali aku bertemu mereka, gula darahku meninggi dan berakhir diabetes melitus, pikirku saat itu
“Ayolah, hon? Kalau tidak ada mereka kita tidak bisa berkencan seperti saat ini, ingat?”
“Yah itu juga benar. Tapi apa kamu memanfaatkan kebaikan mereka?”
Melihat percakapan mereka, kami seolah tidak bisa masuk menyelonong pembicaraan itu. Spasi kursi kayu itu seolah hanya ada untuk mereka. Sementara aku dan Feline, hanyalah karakter pengganti.
“Tetot, salah! Kita memanfaatkan kebaikan mereka! Bila tidak, mereka akan sedih!”
“Ah, benar juga,”
Mereka semakin tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Dan kami-ehh… hanya berada di panggung penonton. Ingat? Mereka ini lebih romantis dari tontonan apapun.
Namun, sesaat aku mendengar langkah kaki mendekat diantara langkah kaki keramaian. Itu karena tempat kami tergolong cukup tenang. Mereka, seperti penonton yang melakukan aksi yang sangat jarang dilakukan oleh penonton pada umumnya.
Misal, seseorang tiba – tiba berdiri dan memprotes adegan mereka?
“Hah…. Kalian ini- benar – benar tidak habis pikir. Apakah kalian tidak khawatir dengan orang sekitar dengan perilaku cinta monyet begitu, hah?”
Suara sindiran yang awalnya terdengar letih namun berakhir meninggi bernada protes. Tipikal yang begitu sangat sering kutemui, terutama yang punya aura mirip Countess Madelaine atau bahkan Tuan rumah dari ruko yang kusewa, Toko Moncake, milik Mademoiselle Flemming.
“Hahaha…. Sudahlah jangan kasar – kasar pada mereka. Ya begini kalau Romeo dan Juliet dilahirkan kembali!”
Aku menoleh ke samping kiri yang takjub dengan nada dalam dan terdengar dewasa itu. Tapi aku sadar bahwa Feline telah mendahuluiku.
“Tn. Cake, siapa mereka?” bisik Feline padaku. “Siapa nona itu? Kok seperti ibu tiri?”
Sudah kuduga, tontonan Feline perlu diperbaiki. Ketika ia bilang ibu tiri aku mulai tahu bahwa dia ini keseringan nonton Cinderella atau semacamnya.
“Entahlah, kau kira aku ini teman mereka?” balasku singkat. Yang jelas, pria di sampingnya seperti paman yang senang melihat kebahagian kecil. Paman yang legawa, ringan dan melumrahkan segalanya.
Tapi yang pasti, mereka ini terlihat tidak asing bagiku. Aku mungkin tidak punya mata di bagian belakang pada tubuhku. Aman diasumsikan kalau Feline hanya mengingat – ingat apa yang dia lihat dengan mata kepalanya, terutama menangkap hal yang menarik baginya.
Kecuali diriku. Semua hal tak menarik. Saking tak menariknya, aku terpaksa memperhatikan hal yang sebenarnya bukan urusanku dan tidak ingin kuperhatikan.
Terutama memantau bagian belakang.
Atau, aman diasumsikan bahwa dua orang di belakang kami, baik mengantri karcis maupun wooden coaster, adalah seseorang yang menurut Feline tampak seperti ibu tiri, dan seseorang yang menurutku tampak mirip paman yang legawa.
ns 172.69.7.42da2