Dua orang yang sebelum mereka, M. Gill dan Mlle. Howell, sempat mengatakan bahwa melakukan kencan ganda, adalah wanita karir bernama Eira Voyles dan seorang pria bernama Billy Marsh.
Eira Voyles, atau Feline bilang seperti ibu tiri, sebenarnya adalah tipikal wanita yang hanya bicara soal penting saja. Mlle. Voyles punya aura bijaksana dan wibawa. Bahkan berbekal itu, ia sudah boleh mengomentari seseorang tanpa takut disalahkan. Kalau aku boleh berasumsi, dia ini boleh jadi adalah seorang yang punya jabatan tinggi. Barangkali seorang bos?
Ngomong – ngomong kalau Mlle. Howell berbekal menawan soal keramahan hati dan sikapnya, Mlle. Voyles sangat memperhatikan detil penampilannya.
Rambut hitam dengan ombre biru hijau tosca sedikit bergelombang dan dikuncir sederhana, sementara poni depan membingkai wajahnya. Punya hidung mancung, tatapan tajam serba mengoreksi apapun yang menurutnya patut dikomentari, lipstik tipis, dan anting salip silver bergelantungan suci di dua telinganya.
Dia mengambil permen dari tas putih selempangnya yang terlihat mahal dan glamour barangkali, lalu menyodorkan tangannya memberi. “Lebih baik daripada tidak?”
Permen batuk dengan rasa madu.
“Ah, Eira, sungguh perhatian!” Mlle. Howell menerima itu dengan senang dan lega.
“Meskipun lebih baik kau mengurangi manis – manis, kupikir.” Mlle. Voyless melipat tangannya dan menoleh ke arahku. “Maaf anda harus repot – repot melihat dua burung yang lagi mesra – mesranya. Saya kira itu pemandangan yang menganggu karena ini tempat umum, jadi rasanya aman – aman saja bila anda ingin menegur mereka, bila itu yang anda mau?”
“Mau bagaimana lagi, mademoiselle. Memang sepanas musim panas,” Aku mengangguk – angguk sambil tersenyum kecil. Aku sependapat.
Sejujurnya, tidak ada yang lebih panas di musim panas ini selain melihat Mlle. Howell dan M. Gill mesra – mesraan.
“Memang absolut. Tidak ada yang lebih panas dari musim panas ini selain melihat mereka berdua,” kata pria necis yang bernama Billy Marsh, dengan suara cenderung bas.
Penampilannya memancarkan aura gagah dan berwibawa. Ada kalanya rambut hitam licin nan disisir ke belakang itu menganut prinsip kerapian. Mengenakan jaket double breast merah gelap dengan empat kancing mengkilat kuningan yang dibagian kerah leher dan pergelangan tangannya terdapat bulu wol. Dia tipikal orang yang pragmatis namun punya selera humor yang tidak buruk juga.
Kalau melihat M. Gill dan Mlle. Howell, siapapun bisa menilai sekurang – kurangnya mereka ini itu seperti magnet beda kutub, menempel setiap saat dan perlu usaha untuk dipisahkan. Sedangkan M. Marsh dan Mlle. Voyles… entahlah bagaimana mendeskripsikannya?
Terkadang pasangan yang punya aura kewibawaan yang sama, justru kurang cocok. Mereka sama – sama tenang, seolah mereka seperti hubungan antara klien dan sales, lebih dekat tapi tidak sedekat api romantis. Mereka mungkin saling pengertian, tapi aku tidak melihat adanya asmara di antara mereka. Walaupun satu diantaranya atau baik keduanya mengakui kalau mereka saling cinta, bagiku itu hanya tidak lebih daripada sekedar kata. Tapi yang jelas, bukan berarti mereka bermusuhan atau saling benci. Mereka hanya punya batas masing – masing.
“Ah, anda berempat memang berencana berlibur, M. Marsh?”
“Well, begitulah. Meskipun kami semua lebih setuju kalau Alwen-erhm, maksudku Howell, lebih baik beristirahat, sih,” M. Marsh mengangkat bahunya.
“Kendati si wajah lucu ini terlalu banyak mengambil waktu lembur, agak mengejutkan malah mengajak ke taman bermain…. Karena harus membawa rasa khawatir, rasanya tidak benar kalau kami tidak ikut memantau-well dalam hal ini Alwen Howell, benar begitu Nona nakal?” Tangannya mengulurkan kembali memasukan permen itu ke dalam tas saat Mlle. Howell menolak untuk mengambil sepenuhnya.
Kukira apa, meskipun seperti ibu tiri, Mlle. Voyles hanya kurang bisa jujur menyampaikan kepeduliannya.
“Hey, hentikan, dong! Kalian hanya membuatku seperti orang bersalah di sini!” Ia memutar mulutnnya sambil masih menghisap permen batuk itu. “Habisnya… Nick kelihatan sedih begitu kalau tahu aku membatalkan rencana ini….”
“….” Pria bernama Nick Gill itu hanya diam saja. Ia membuka isi donat itu namun seolah ada sesuatu yang membuatnya tidak jadi mengambil. Tampaknya ia sedang memikirkan hal lain. Yang jelas, wajahnya seketika lebih sedih daripada sebelumnya.
“Oh ya? Berarti Nick-mu ini hanyalah pria yang egois, benar begitu, Tn. Gill?” sahut Mlle. Voyles menaikkan salah satu alisnya yang bibirnya juga seperuh meringis.
Entah hanya perasaanku saja atau bukan, tapi pria bernama Nick Gill itu menelisik sesaat pada Mlle. Voyles. Lalu kembali ke Mlle. Howell.
“Aku tahu kamu selalu memikirkanku, Sweetheart. Tapi benar kalanya bila yang nomor satu adalah kesehatanmu. Kalau saja sesuatu terjadi denganmu, mana bisa aku hidup?”
“Awwhhhh, Nick!” Mereka berpelukan selayaknya sepasang kekasih. Hanya Mlle. Voyles yang memutar bola matanya seolah sudah ribuan kali melihat adegan itu.
Aku memandang M. Marsh, “Ehhmm…”
“Well, mereka selalu begitu, Tn. Keymark. Tidak ada yang bisa kami lakukan soal itu.” Ia mengangkat bahunya.
“Hanya maut yang memisahkan kami, benar begitu, hon?”
“Begitulah, sweetheart!”
Mereka berdansa kecil sesaat setelah melontarkan kalimat itu.
Aku menaruh senyum bahagia terhadap mereka meski agar kubumbui dengan perasaan masam. Aku tidak terlalu suka kata – kata ‘maut’ itu. Itu terdengar sangat jumawa namun bisa dipahami karena Mlle. Howell merasa cinta mereka dua tidak terpisahkan. Ada baiknya aku tidak melontarkan komentar lebih jauh. Lagipula, kritikku ini sedang tidak dibutuhkan dan boleh jadi merusak suasana muda – mudi di depanku ini.
Perbincangan itu terjadi singkat dan sedikit. Sesingkat Mlle. Howell mengistirahatkan kondisinya setelah naik wooden coaster, dan sesingkat itu obrolan kami. Mengenai singkatnya cerita tentang dirinya, Mlle. Howell yang ingin menghabiskan waktu dengan kekasihnya. Walau sedikit sekali yang kumengerti, bagaimanapun juga ada beberapa hal yang ditaruh tidak tepat.
Mlle. Howell dan kekasihnya, Monsieur Nick Gill, beranjak dari kursi kayu yang sesaat kami berempat duduki.
“Alwen, sayangku, apa kau yakin sudah tidak apa?” Mlle. Voyles menagihnya dengan tatapan penuh curiga.
“Sedikit pusing sih…. Aku aman kalau naik yang-tidak terlalu mengguncang?”
“Ehmm- M-Maaf menyela, tapi bagaimana kalau wahana seperti sinema 4 dimensi? Rumah hantu juga tersedia? Atau-uh… Dodgems?” Feline mengangkat mulutnya setelah sekian lama hanya memperhatikan. Ia sok seolah menjadi pemandu wisata.
“Hm…” tambah Mlle. Howell. “Bagaimana denganmu, Honey?”
“Yah, apapun yang penting kau suka,”
Kedua insan itu masih tidak yakin walau M. Gill menyetujui apapun yang kekasihnya pilih.
“Sinema 4 dimensi bagaimana? Aku rasa-itu… cocok untuk pergantian suasana sesaat?” M. Marsh mengangguk yakin lalu menoleh ke arah Mlle. Voyles. “Kau keberatan?
“Tidak ada yang lebih memberatkan ketimbang melihat Alwen ambruk lagi,”
Titik terang dari keempat insan itu pada akhirnya datang. Meski yang mereka bicarakan entah bagaimana pendapat itu berakhir pada rumah hantu. Mlle. Howell ingin merasakan ketegangan pada suatu wahana yang selain mengguncang, itu berarti ketakutan.
“Uhm… sir, apa anda ikut?” tawarnya dengan senyuman menyejukkan dan ramahnya wanita berambut lurus abu – abu tua dan mata hijau itu. Mlle. Howell, seolah telah menganggap kami sebagai kisah seperjalanan mereka.
“Lain kali bila bertemu, barangkali,”
“Begitukah? Ah, sayang sekali,”
Senyuman itu menciut dan terasa masam. Mlle. Howell setelah melambaikan tangan, keempat orang itu melebur dengan arak – arakan. Yah mau bagaimana lagi? Aku tak mau mencampuri kisah seseorang. Biarkan kertas putih itu menulis perjalanan mereka dengan adil.
Sementara itu untuk Feline, aku harus memikirkan bagaimana cara menghukumnya karena membelikan teh apel daripada yang versi biasa. Dia tidak mungkin punya opsi mengelak, karena aku dengan jelas memperhatikan botol yang dibawa Mlle. Howell.
“Kukang, cepat berikan alasan yang bisa diterima oleh aspek logis, apa yang kau sembunyikan dariku?” Aku beranjak dari kursi kayu itu dan mendekatkan wajahku padanya seolah benar – benar menatapnya serius.
“Ya ampun, anda ini curiga sekali, sih?” ucapnya, sambil melirik ke arah lain.. Lagipula aku tahu bahwa ketika aku menyuruhmu membeli sesuatu pasti kau tak akan membeli hanya untukku. Tapi dua sampai empat kali lipatnya adalah sesuatu yang kau beli.
“Misalnya, kau tadi beli apa saja?”
Ia berhenti sejenak, melirik kanan dan kiri bola matanya menggambarkan tak ada jalan keluar. Aku tahu Feline tidak terlalu pintar soal itu.
“Hah… ketahuan ya….” Ia membuka tas selempang beruangnya dengan perlahan dan wajah pasrahnya. Aku melihat beberapa snack coklat dan sekotak donat seperti milik Mlle. Howell namun lebih kecil ukuran kotaknya.
Hm, apa hanya ini? Apakah ini tidak membunyikan bel?
“Feline, jangan berlagak bodoh. Berikan alasan terbaikmu mengapa daripada teh biasa kau malah memberiku teh apel?” sebenarnya aku tidak terlalu masalah dengan teh, walau lebih baik yang tanpa perasa apapun. Aku hanya ingin apa yang kumau tidak untuk dibelikan variasi lain kecuali memang tidak ada!”
“Hah? Karena memang tidak ada, Tn. Cake!?”
ns 172.69.7.5da2